Kumpulan Puisi 3 Penyair
BUKAN TANPA ALASAN
Lendra Dipraja - Riyadi Dharma Sagara - Ni Gusti Rahayu
Pengantar Kurator
Membaca Kumpulan Puisi 3 Penyair
BUKAN TANPA ALASAN
oleh : Irvan Mulyadie
Tapi semua pertanyaan di atas sebenarnya tak membutuhkan jawaban secara verbal. Hanya saja sedikit perlu direnungkan mengingat puisi itu sendiri sudah tak lagi menjadi bagian yang terlalu penting bagi kebanyakan orang belakangan ini. Sangat berbeda ketika puisi itu diposisikan pada zaman perjuangan merebut kemerdekaan di waktu lampau. Kecuali bagi para pecinta sastra dan pelaku (penulis) sastranya saja. Meskipun pada kenyataannya, posisi puisi selalu saja mendapatkan tempat yang istimewa di masyarakat. Dan saking istimewanya bahkan terkesan ekslusif, kaku, mapan, independen, juga lebih sering ditinggalkan begitu saja. Aneh memang. Tapi nyata. Tak percaya? Ya, sudah…..
***
Membaca puisi-puisi karya tiga penyair yang tergabung dalam kumpulan Bukan Tanpa Alasan ini, sepertinya saya terbawa kembali pada nuansa muram kegelisahan. Dan mengingatkan lagi pada type puisi pada era tahun 80-90an. Dimana tidak dapat dipungkiri lagi, gaya dan pengucapan penyairnya lebih cenderung ‘ngamar’. Dalam arti, bahasa serta penuangannya dalam karya cenderung masih menitik beratkan pada komposisi kata-kata yang lebih mendalam ke arah hati sang penyairnya sendiri. Intuitif dalam merekam segala bentuk peristiwa yang di hadapinya. Cenderung lebih membathin. Mengandung imajinasi liar meskipun masih terkendali. Multi interpretasi, tapi cukup terang benderang.
Saya merasa tak perlu membahas satu persatu puisi dan orang per-orang dalam buku ini. Apalagi menilai dan merekomendasikannya untuk anda. Sebab, biasanya pengantar yang membahas terlalu dalam mengenai karya-karya yang dimaksud, justeru hanya akan mengaburkan penafsiran pembaca terhadap karya yang sedang dibacanya. Dan itu tak perlu. Saya akan membiarkan pembaca sendiri yang menilainya. Mengkritisi, bahkan memberikan teror sekalipun. Sebab pembaca adalah raja (pencicip), sedangkan penulis hanyalah seorang koki yang menyodorkan berbagai menu masakan berdasar resep, trik dan tips yang ia miliki.
Hanya yang perlu saya garis bawahi dengan tebal adalah, bahwa ternyata masih ada sedikit orang dari kebanyakan orang lainnya yang masih merasa perlu mempublikasikan keresahannya. Apalagi lewat karya puisi. Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.
Dipublikasikan dalam bentuk buku berarti (mungkin) menjadikan karya-karyanya sebagai aspek komoditi ekonomis. Dan itu berarti pula buku tersebut pastilah akan dijual. Dan kalau pun itu dijual maka untung rugilah perhitungannya.
Namun saya berpikir, terlalu naif juga rasa-rasanya kalau bisnis adalah alasan utama dari penerbitan buku ini. Selain nama tenar yang selalu diidentikan dengan daya jual dan bentuk promosi, posisi strategis seseorang juga mempunyai nilai lebih yang selalu diperhitungkan oleh para calon pembaca (pembeli-red). Tapi tentu saja kualitas karya itu sendiri juga yang akan bicara.
Intinya adalah bahwa suatu karya seni dipublikasikan memang sudah jadi keharusan yang fundamental. Setidaknya menjadi semacam sunah muakad daripada dipendam dan dinikmati sendirian. Bahaya kalau begitu. Karena hanya akan memberikan efek negative berupa narsisme dan kepengecutan bagi sang kreatornya.
Dan saya berharap, puisi-puisi ini tak hanya terkubur dalam suatu lembah bernama buku dan berhias nisan antologi. Publikasi di media massa juga penting. Tak hanya Koran atau media cetak lainnya saja, tapi media elektronik seperti radio dan internet pun bisa diperguna-kan dengan sebaik-baiknya. Tak perlu alergi terhadap kritikan. Sebab kritikan hanyalah jamu pahit yang menyehatkan.
Karena ada banyak faktor pendukung dan penghambat dalam rangka menerbitkan buku ini, saya melihat judul Bukan Tanpa Alasan ini memang sangat beralasan.
SAJAK-SAJAK LENDRA DIPRAJA
Lendra Dipraja lahir di Tasikmalaya, aktif di beberapa komunitas kesenian (Teater Dongkrak Tasikmalaya, FoRKKIS, Komunitas Pesantren Hikam, BPKD Tasikmalaya)
KEPADA YANG DIKENANG
“Sampaikah kiranya kepergianku?”
: Malam hening setelah peninggalanku
Meski ada pesta di utara
Para penyihir dan penari
Memilihmu adalah pengingkaranku
Saat Musa berlayar dengan dzikir laut sepi, lalu mewariskan kehampaan
Dengan cara apa kurindukan puisiku yang menderu-deru
Saat lelah terbaca di garis wajah, menggeliat
Nyelinap dalam mimpi-mimpiku yang kurang ajar
Di rumahmu kekasih, kesepian kita amatlah sederhana
: Malam tetap hening setelah kedatanganku
Tak ada wangi kembang
Tak ada tembang
Sementara kau dan aku menyepakati segala penghianatan-penghianatan luar biasa
Berlalu lalang dalam tiap sepersepuluh ingatan
Ooo… Waktu yang datang dan pergi
Biarkanlah kupahami kenyataan ini
Sebab telah kupilih hidup dari kisah lalu yang teramat gila berabad waktu
2008
OBITURA TSUNAMI
Menyisir semenanjung, teluk dan pelabuhan
Saat darat jadi pijak-pijak basah
Angin marapat, merayap di jalan-jalan
Ketika orang-orang tengah bercerita tentang syair di tegalan
Mari kita rendah diri mengenang sebukit duka
Hingga gelombang lintang pukang saling berkejaran
Pada ujung hari yang berkilau
Di atas awan perak
Lhok nga, aceh kah serambimu?
Lhok nga, adakah perahu dan nelayan yang mampu menceritakan kisah lalu laut bisu?
Sementara Izroil sibuk memilih ruh
Dan jasad-jasad kaku tenggelam sebagian tafakur di bentang nafas yang mengalun tengadah, berdendang dengan gendering
Tak henti meniup seruling
Menjalarlah perih kabut sepi
Betapa keadaan ini adalah ungkapan Tuhan yang teramat bijaksana
Pahamilah gelombang meski dengan tunas bakau dan gurindam
2008
DALAM BIRU PULAU BULAN MADU
RIE, berkali-kali aku bergerak mengisyaratkan gerak cintaku pada batu, tanah, dan air
Berkali-kali pula keraguan malah membakar kita menjadi satu-satunya penyesalan, lalu lenyaplah kita di musim kering
Udara semakin runcing, nusuk kalbu
Apakah kelak ada sekantung rindu membungkus detak jantung?
Lalu pada cermin aku ingin menyuntingmu
Saat ledakan merajalela, begitulah kiranya
Hingga aku ingin kembali menepi pada setiap makna sajak
Denting waktu juga biru bulan madu
Saat engkau betah melayari setiap jengkal resah dadaku
Mendayung, betahun-tahun melagu
Kubiarkan saja semuanya menepi pada subuh yang kukayuh di sepertiga malam
Menyusun setiap gerak tak beraturan
Hingga ada yang kupahami, dari bentuk kau dan aku
Jalan-jalan bagitu panjang sayang, sebagian nyungsang di selangkangan
Ada pohon, putus-putus menjadi asing
Daun-daun gelisah,
Lalu rebah dalam purwa tanah-tanah
Berdoalah dan tawakal sebab akan datang
Peristiwa dengan banyak bahasa rahasia
Dari kata-kata purba yang diwariskan Nabi
Jalan kita nyaris sepi,
Jadi lorong, jadi mimpi, jadi persimpangan
Menara terlahir tiba-tiba
Dan pasir tak lagi memberi petunjuk arah,
Hanya kaku dan bisu
Sampaikanlah sajak kita
Pada setiap kelapak, saat mengangkasa
Mengembara, tak bosan melepas rindu
Mematunglah diriku di semak lambang
Rindu perjalanan
Cahaya-cahaya kosmo
Elegi siang hari, nyanyian-nyanyian ringan…
2008
MENEPI RUANG DAN WAKTU
Yang kita tuju
Lembah biru
Air tanah bebatu
Ragam warna juga anak-anak
Ada cahaya di kaca
Dalam pasang purnama berderakan
Adalah sunyi yang tiba-tiba datang
Saat kelam menyangkar di ranjang
Jauh menjauh sepi langkah
Tak adakah yang mengurai mimpi?
Menepi batas ruang
Menuju ke waktu?
2006
LA NAUSE
Mencuri puisi dari setiap peristiwa
Di antara gerak lambat nyanyian risau, menahan segala kerinduan
Langit merah jingga di keningmu, bekas pertemuan
Tak taulah kemana langkah menapak jejak
Dalam sahwat paling dosa
Semestinya ada puisi malam ini, kenangan kau dan aku
Di belantara yang dipenuhi wewangian
Kotamu bercahaya, bau arak, nafasku jadi nyala api
Malam benar-benar tenggelam, kekasih
Sementara gairah berguguran dari kelamin lelakiku,
Sebab aku mencintaimu saat jalan lenggang
Aku lelah menjadi elang, menyerang di lorong cakrawala selalu luka
Cintai aku sebutir pasir di kaki
Saat mencari kiblat dalam batas rekaat
Yang tak pernah sampai ke Sidhrat paling mulia
2008
RUMAH SINGGAH
Awalnya hanya rumah singgah,
Dinding kaca dan bunga-bunga plastik
Kau mengaji aku, dalam kisah serba rahasia
Pesona mutakhir, lampu-lampu berlarian,
Melayang-layang di angkasa
Tiba-tiba berpelangilah tanganku
Ini aku, derak bumi sama juga diwaktu-waktu
Membunuh rindu pelataran rumah
Senyum ibu datang di antara keping harapan
Pedih mengayuh peluh, nyeri ratap rerumputan
Mengeja jalan tempuh
Memamah duka
Bagi ribuah jam yang teramat jauh kulompati
Ada yang menangis,
Malaikat berbondong-bondong di jalan raya sambil tersedu
Memangku langit uzur
“Jangan beri aku puisi, nyanyikan saja diam kita di rumput-rumput”
2008
NADOM
Menahan risau
Di dadamu yang mirip pelabuhan
Aku edan kasmaran pada semburat cahaya bulan
Rindu mengetuk waktu, waktu nemu alur patah-patah
Tak mengerti arah
Beri aku ciuman di bibir ini, kekasih
Saat malam begitu kelam
Saat rindu loncat-loncat tak beraturan
Meski cinta kita berjalan kaki
Kupahami dzikirmu, dari keluh subuh
Meruncinglah mimpiku
Akhirnya selalu bisu yang kita pahat di bingkai waktu
Dalam gang, dinding tembaga,
Dalam dongeng tentang kota yang tenggelam
Sementara kubur-kubur lahir dari percakapan
Tiba-tiba aku disihir, lelap dalam tarian para penyair,
Di kakimu neraka terlahir
Serupa telaga, ikan-ikan merah dengan sirip lengkung cakrawala
Oo… malam cahaya bulan matahari sebelas bintang
Riwayat purba, kutuk suci para bidadari langit tua
Lam Ro, gelisahku
Ini waktu desir-desir ombak di muara
2008
DALAM SEPI UNTUK SENDIRI
Tetapi…
Sudahlah Rie, jangan kau pusingkan kepalamu dengan harapan bahwa hari ini kau akan melaksanakan aktifitas yang dapat membuat hidupmu akan lebih bergairah. Naif jika kau terus-terusan seperti itu!
Kenapa selalu saja kau dan aku bersilang pendapat, kau menuduhku penghayal berat, kenyataannya kaulah yang selalu saja menanam harapan yang di luar kuasa kita, kau bilang kita hidup tinggal menjalani takdir, tapi mana, melulu keluhan yang kau berikan padaku!
Hari ini bukankah kita saling merindukan?
Kemudian…
Ratusan pesan singkat kau kirim, sepertinya kau sudah tak tahan menanam libidomu yang dalam hitungan detik bisa mencapai ratusan derajat. Kemarilah, lupakan sidang yang kau tunggu-tunggu, lupakan hari esok, lupakan cinta kita yang terlalu inklusif.
Kau kangen dengan pelukan da ciumanku bukan?
Sejarah telah jadi dongeng kita, terkadang demi menghapal jejak kaki, puluhan hari kita bakar dengan sungut berbusa, mencoba berdalih ketika tak lagi didengar meski oleh sepotong daun telinga
Lalu…
Bukankah kemarin kau bilang kangen?
Kemarilah Rie,
Di hatiku kau adalah degup jantungku,
Garis-garis tanganku, bimbing aku
Menempuh hari purba yang rahasia
Sementara…
Daun layu berguguran di wajahmu,
Menandakan bahwa kau jenuh dengan hidup,
Matamu lebih dalam dari palung lelaut,
Kantung matamu bergelayut,
Tak ada bahasa puisi di mimpimu
Tapi aku akan mencintaimu Rie!
Mencintai segala apa yang kau miliki
Tak ada risau yang kau takutkan
Aku tak memiliki apapun untuk memprsiapkan bulan madu kita,
Kekuatan hati inilah yang bisa meneguhkan semua rasa resah kita, tak ada salahnya kita mencoba baik hati memberi rasa pada nurani kita, kebosananmu mestinya jadi sajak, yg warnanya adalah air matamu,
Kita kalah Rie, tapi kita kuat
Dan…
Pagi ini tubuh kita akan menyatu dalam doa-doa kecil.
Harapan yang tersurat, tersirat dalam takdir kita, kangen ini akan tetap terjaga seperti ini hari
Selalu aku baitkan ceritaku,
Mirip kitab suci, tapi aku bukan Nabi
Yang tiap getar lidahnya jadi warta suci,
Kata-kataku hanya igauan
Rie…
Adakah hujan pagi ini akan reda?
Juga lagu-lagu sumbang yang kita dendangkan di senja hari yang tak pernah paham akan bahasa keluh kesah kita?!
Tuhan katanya akan lebih bijaksana jika kita tetap menunduk, aku lelah, kau dadah, melulu aku berontak, kau bilang ini hidup.
Dimana Tuhan?
Saat bosan meraksasa jadi jalan yang Maha Luar Biasa Panjang
Tak kutemui juga persimpangan!
Hipokrit…
Barangkali saja aku pengecut!
Kau paham apa sebenarnya mau Tuhan? ama saja
Bahkan doa-doa kurangkai
Jadi sembilu dengan segala rupa ketakpastian
… TUHAN, maafkan aku!
2008
ARAH ANGIN
Hari itu aku berjalan saja menuju barat
Orang-orang ke selatan, angin hanya diam
Suara kaki dan kendaraan menjadi dirimu yang entah dimana
Lautkan rumah yang kau inginkan?
Aku tetap saja berjalan
Memasuki gedung, di atas eskalator yang menghantar diriku ke tempat paling tinggi
Langitkah rumah yang kau idamkan?
Kini aku di utara, tetap berjalan
Menghitung batu-batu sepanjang dinding cadas
Hatiku terkilir
Mana mungkin rumahmu di pegunungan
Aku dimana-mana
Tetap berjalan mencarimu sambil meraba-raba peta
Beri aku kabar tentang dirimu yang sedang menantiku di tegalan
2008
RUMAH INI SEPI TANGIS ANAK-ANAK
Kukenang aceh dalam televisi
Ketika pertemuan denganmu pada senja
Berubah menjadi loncatan-loncatan peristiwa di mata kita
: Tak sujusku jadi doa
Tetapi halilintar (gelegar-gelegar kecana)
“O… pulanglah lautku
Pulanglah gelombang-gelombang
Pulanglah dzikir pantai-pantai”
Sebab, rumah ini sepi tangis anak-anak
Ketika pagi tak mengenal suara dendaunan
Juga nyiur yang disitir angin:
Melambai
Kukenang Aceh di tanah basah
Tempat puisi ditasbihkan para Sufi
Saat doa mirip kelahiran sepasang burung camar di tebing curam
Disinilah
Wajah-wajah perawan kasmaran di garis pantai
Setelah lelagu tentang gayo kembali karam
Lebih dalam
Dalam
Dan tenggelam
Aku mengenang Aceh, bukan dari gelombang
Hanya dari seribu kangen tangis anak-anak
2008
DI NUSA YANG KAKU
Khoerunnisa
Menanam risau
Di dadamu yang mirip pelabuhan
Kutemukan riak gelombang pada telapak tanganmu
Menjadi garis dan jejak langkah kita di Nusa yang kaku
Beri aku ciuman di bibir ini kekasih
Setelah malam membiru pada tulang punggung di tepian keringat gelisah
Dan
Rindu loncat-loncat
Di pohon-pohon
Tak jemu kucipta puisi untukmu malam ini
Setelah percakapan kita digiring badai ke kotamu
Subuh pun usai di langit kelabu
Dalam wirid tipis
Kita menikmati pertemuan sambil telanjang dada
Di jalan-jalan
Waktu memanjang
Menuliskan kembali
Kalimat-kalimat gelisahku tak henti
Sepanjang mimpi-mimpiku yang hilang:
Selalu letih aku menggiring sepi diruncing angin
Yang dicuri gelombang pasang
2008
BEGITU BANYAK PERSOALAN DALAM KEPALAKU
Orang-orang bertengger dalam wacana konspirasi
Di cafetaria, di swalayan, di warung kopi, di pematang sawah
Bahkan beramai-ramai berunjuk rasa atas nama kebebasan
Hanya aku secara sederhana milih berjalan saja
Anak-anak menenggak sebotol air api
Sambil berdisko mabuk cuaca
Di kakinya jejak yang melesak di pasir-pasir
Menjadi kitab paling suci
Begitu banyak persoalan dalam kepalaku
Perawan dan lelaki tuna bangsa dalam rumah kaca
Jadi televisi bagi sebagian kenangan kelam
Tetapi dimana rumahku yang dulu menyimpan buku-buku cerita tentang para lelaki dan perawan sementara aku tak pernah ingin mengerti kemana sepi menghilang
2008
SHORT MESSAGE SERVICES
A B C D E F G H I J K …………. Orang-orang telah pergi hanya ada batu
Siapa menyalahkan siapa tak jadi apa-apa
Dua kegelisahan, dua jarak, dua waktu menjadi satu dalam rentang kehidupan, akan ada banyak warna, garis, alur dan aneka perasaan yang tumbuh menjadi sebuah cerita, aku, kau, kalian, mereka, sama-sama berjalan dalam proses hidup yang serba rahasia.
Jalan itu harus tetap kita lalui,
Mungkin aku mungkin kau mungkin salah satu dari teman kita, salah satu dari seseorang yang kita kenal.
Entah itu siapa
Barangkali di langit jutaan kata-kata bertabrakan saling mengisi emosi satu sama lain, kata-kata nanar, ucapan cinta, sumpah serapah bertebangan mirip migrasi burung dari utara menuju selatan, dari barat ke timur atau sebaliknya keluar masuk dari segenggam telepon selular
Hidup memang penuh es em es (layanan pesan singkat)
Subuh di bawah kabut dalam deretan bangku binal, barangkali berasap
Semalam kuhabiskan perjalanan dalam kantuk yang luar biasa
Aku tak bisa berpikir!
Kubiarkan saja berlalu
Setelah itu tak ada lagi percakapan, aku bosan
Angin terlalu dingin pagi ini
A B C D E F G H I J K…………..
Hanyalah sebuah omong kosong belaka
Aku di Bandung, di sebuah warung dekat jalan tol
Kutulis sebait puisi untuk kekasihku
I cant touch you…
2008
YANG BERBURU DALAM HUTAN DI DADAKU
Rambutmu bercahaya
Tiba-tiba langit bergetar
Wajahmu biru
Mata yang seredup rembulan
Melulu aku kangen seribu puisi
Yang lahir dari bebukit di dadamu
Orang-orang membangun rumah
Dari sebentuk karang
Ladang-ladang berhamparan
Ada yang berperang
Di padang-padang yang ber-Tuhan serigala
Matamu hitam,halilintar
Aku lihat cahaya pula
Agung dan cemerlang
Jiwa-jiwa yang bertanya
Tentang kota yang diramal
Lenyaplah aku di punggungmu
Sebuah rumah di bangun dengan cinta
Tembok-tembok antik
Para pejalan di hutan, laut, dan gunung-gunung
Lenyaplah di langit
Dari negeri dimana penghuninya berambut api
Seseorang memanggil di simpang jalan
Berkali-kali
Betapa senyap cuaca malam ini
Hanya ada cericangkas meranggas di dahan
Udara ringan
Mimpi suci tentang perempuan yang misterius bersayap kecil
Kau berburu dalam hutan di dadaku
Bagai pejuang yang teramat buas di bukit laut
Dahimu berkilauan, mirip lembayung
Cahaya dari segunung-gunung tinggi
Berakhirlah puisiku di tahun-tahun penyesalan
2008
AKU INGIN MENEMUIMU SAAT HUJAN
Aku ingin menemuimu
Saat hujan
Di simpang jalan
Sebuah kota menyala
Orang-orang membakar pertokoan
Sementara kisah kita tertutup
Batu-batu peperangan
Jadi semacam upacara kematian
Aku ingin menemuimu
Saat hujan
Dimana puisi dan rinduku batu-batu
2008
OPERA JULINI
Aku ingin kau mengerti, Julini*
Kisah kita berlalu dalam sebuah opera
Tentang cinta dan keserakahan
Biar angin menyitir kau dalam rupa yang sempurna
Penghianatan ini, murni konspirasi
Akal busuk dan caci maki
Biar kupanah gelisah
Kupasung diri dalam kelam cerita
Di antara kita
Aku ingin kau mengerti Julini
Bahwa cintaku begitu sederhana
Seprti sungai yang mengalir tenang ke lautan
Kau, puisiku kala sendiri
Kata-kata bercahaya dari para lelaki
Kiranya aku ingin menyuntingmu, biar kita habiskan sisa perjalanan waktu dengan segenap kesederhanaan
2008
*Nama tokoh dalam naskah drama opera Julini karya N. Riantiarno
ADA LORONG KECIL DI GARIS TANGANKU
Ada lorong kecil di garis tanganku
Sesak hampir tak ada cahaya
Aku ingin memelukmu, mengurai lebat rambutmu
Mengartikan bahasa para perawi dalam sejarah kitab suci
Secawan anggur, kembang malam, merah muda
Semalam aku mendengkur, tersungkur di sudut kiblat tak henti tadzakur
: Memilih jadi penyair
2006
LIKE A DREAM
Memerahlah matamu,
Demi peristiwa, untuk peristiwa, hanya peristiwa
Lalu…
Darat berjejak-jejak, laut retak berbayang-bayang
Aku tak bisa diam membacamu
Deru angin, stasiun kereta yang ditinggalkan
Merajalah sumpah serapah di kolong-kolong
Sulur-sulur rindu bertalu
Mirip pesta para pujangga di taman yang bunganya terbakar air api
Sebentar lagi malam
Singgahlah sejenak demi kaki yang setiap hari menulis puisi
Jalan lenggang dengan tapak sabda Tuhan
Demi jakun yang merambat naik yurun
Demi lelaki yang kepalanya adalah hutan lindung
Rebahlah biar dada telanjang menatap cakrawala
Menyusun setiap detik dari loncatan-loncatan mekanik
Jam terpejam dan aku lelap sendirian dibusuk haei-hari
Tak ada percintaan
Aku menantimu saat kau hangatkan tubuhku yang menggigil
Aku ingin rambutmu yang jarang-jarang di musim tropis
Segelas Cognac nyala api dan bunga mekar di lehermu lebih memuisi
Aku menunggumu
Dalam sahwat lelaki yang membawa nyala mencusuar menuju karang
Saat datang halilintar menyambar rintih duka terjaga
Bagaimana mengarak mimpi sepagi ini?
Rabalah aku semau rindumu
Atau di ranjang kita pasang cendawan
Menyepi diri dalam upacara paling sendiri
2008
AH…….!
Ini malam untuk siapa
Saat mendekap musim rindu
Sambil terjaga
Selalu aku. KAU dimana?
Tuhan…
Pergi ke laut
Mendekap musim
Di atas pasir
Sambil nulis perjalanan mirip anak-anak
Dihempas kembali buih ombak
Ah…!
2008
LA NIGHT ENDING
Pada sebuah malam yang seperti ini
Pohon-pohon akan jadi dingin
Aku ikut membeku dalam daun-daun basah
Kau di sini, dalam dekapku
Membakar kesunyian
Yang dulu menyitir aku di hutan penempuhan
Seperti apa rupa wajahku nanti?
Setelah perjalanan waktu tak mau berhenti dalam tubuh, jadi peluh sebagian
Aku hanya ingin selalu mendekapmu
Menghabiskan malam meski tak ada cerita, sepi akan terus-menerus seperti ini
Tak apa…
Sebab aku ingin ada angin menyelusup dalam dada
Sementara kau selalu menghilang
Dari bentuk rinduku yang senantiasa berdetakan dalam kalbu
Aku sendiri, malam berakhir tak jadi mimpi
2006
MALAM YANG MELARUNG
Malam melarungkan kisah. Aku kehilangan mimpiku bagaimana tidak, mereka begitu mirip denganku, bahasa-bahasa yang begitu pahit, jejak kaki yang lancip, kerinduan, cinta, teriakan-teriakan. Ah…! Bahkan aku masih ingat perkataan mereka, umpatan-umpatan yang dilontarkan persis seperti aku ketika meramu gelisah.
Subuh mengayuh embun pelan-pelan ke sudut-sudut mataku. Semalam aku tak menerima gelisahmu. Tapi pagi ini kutemukan setumpuk kembang, lagi-lagi kau mengirimku bayang-bayang kenangan.
Kau tak lagi mencintaiku! Malah menyuruhku bunuh diri! Sinting! Belum puaskah kau dengan sentuhan yang kuisyaratkan pada tiap lembar sajak-sajakku?
Sepiku tak lagi bijaksana. Tak ada pesta pora, setiap hari kau ajari aku belajar menjinakkan nalar yang meracau, lupakan gaun pengantin itu. Lupakan saja tentang bulan madu, setiap hari kita mengemas romantisme, sumpah, aku tak menjamahmu malam itu. Barangkali saja kau bermimpi.
Beri aku vodka
Atau segelas arak putih…!
Seperti kemarin pula biarkan aku dengan keadaan demikian, biarkan saja.
Hidup ini merah, katamu hitam mereka bilang abu-abu, aku nurut saja sama bapakku, bahwa hidup itu pelangi, aneh adikku berteriak dia ingin hidup itu perak. Aku gila kau edan, mereka ga waras.
Menepi pada senja. Aku rindu hujan, butiran-butiran airnya yang dingin mengusap sekujur tubuhku, dingin yang bergairah? Tempat para kekasih menasbihkan sajak-sajak
Aku pergi!
Maka mekarlah kubur-kubur, mekarlah badai yang menjalin pantai dan ombak, mekarlah matahari, mekarlah wahai kekasih yang luka, hijau cintaku, hjau rinduku. Hijau, hijau, hijau, hijau,.
Kepalaku dipenuhi jutaan praduga.
Nyatanya Tuhan masih saja betah mendengar suara parauku, hingga ribuan hari kutelusuri penuh dengan rasa ambigu. Menggambarnya dalam perselingkuhan ketika mimpi kulukis jadi kerinduan pada-Nya.
Hari ini aku kangen ciumanmu, biarkan aku peluk tubuh pipihmu yang lelah, biar kukecup ujung tulang hidungmu. Sungguh aku begitu merindumu, tadi malam aku marahan dengan Tuhan. Sebab kau tak lagi tersenyum memintal hari-hari milik-Nya. Kita pulang saja. Mari kita kembali pada rumah-Nya, biarlah meski neraka jadi tempat naung kita di sana, sebab kita bukanlah burung-burung yang jinak, kita seperti elang yang hanya hinggap ketika sekawanan tikus berlarian di pettakan sawah, lalu menyarang di pohon-pohon jati tanpa peduli hari esok tanah akan kembali memerah, selalu kita luput dari wirid malam, rumah kita tengah kehilangan jejak sejarah, padahal telah kita tanamkan seribu macam pohon cinta ditiap sudut-sudut halaman. Hingga aku mulai mengerti garis-garis tubuhnya yang diputus-putus, di selangkangannya yang putih kutulis sajak tentang hari eskok, juga sketsa anak-anak kami, pernahkah berdoa supaya bisa seperti Che Guevera, Albert Camus atau Jean Paul Sartre? Yang sering dijadikan dongeng oleh para pemikir dan pemberontak? Aku ingin menjadi seperti mereka, meski mereka sakit!
Sebab untuk menjadi seorang Zakaria atau Yusup aku takut tak bisa balas budi pada selalu kehilangan kisah-kisah duka…
Tujan menempatkan ruhku di samping pusar, sementara ragaku tak memiliki ujung pusar, hanya lingkarang kecil di baas perut, itu juga kunamakan sebagai saluran dosa, dimana sperma bapak dan keringatnya terkontaminasi asam cuka dan cairan kimia. Setiap saat kami selalu berbeda pendapat. Aneh. Pertemuan ini adalah pelabuhan… Sepi dan nyeri.
PERISTIWA
Selamat jalan, peristiwa…!
Barangkali di mataku ada sajak
Saat orang-orang ramai-ramai menanam bom di kepala
Aku diam dalam bahasa rahasia
Meminjam katamu
“Revolusi harus terjadi, esok lusa hari nanti, atau tidak sama sekali berarti kita mati!”
Selamat datang, Peristiwa!
2008
SURAT DARI SUAMI KEPADA ISTRINYA DIAJENG RIYANI
-Fitriyani KH-
Diajeng, bagaimana kabarmu?
Bagaimana kabar anak-anak kita, Jiwa dan Raga yang terlahir prematur dalam benak kita, bagaimana kabar tekukur, kucing kurus yang kau temukan di seberang jalan waktu kita asik bersenggama saat senja meminjam cahaya matahari jadi kuning tua?
Bagaimana kabar tetangga-tetangga kita dan anak-anak mereka?
Bagaimana jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaanmu tentang Tuhan yang kau yakini berada jauh di atas sana?
Masihkah kau asik dengan sulaman dan cucian piring?
Bagaimana pula dengan hari-harimu yang penuh dengan tumpukan popok si kecil, file-file kerja, buku filsafat, telenovela dan rahasia memasak yang selalu kau banggakan?
Lancarkah menstruasimu, serta penurunan berat badan saat lemak hinggap di paha, pinggang bahkan payudaramu?
Betapa aku rindu kamu diajeng!
Rindu gerak tubuhmu saat kau sitir aku dalam gairah birahimu yang mempesona
Engkau melenguh, mendengus cakrawala maha sempurna dalam dadaku
Aku kengen keluh, setelah lelah mendenguh di tegalan tempat para kuda menari dan pesta pora
Ramburmu Diajeng, bahkan letik bulu matamu serupa Sri Betari Kama Pra Raksa Dewangga.
Ternyata aku lebih bodoh untuk memahami bentuk tubuhmu sepotong-sepotomg.
Bahkan bau ketiak yang merimba dan gambar calon anak kita jadi sebuah PROPAGANDA sia-sia.
Diajeng, istriku… tolong jaga senyum Jiwa manja Raga karena mereka adalah anugerah bagi kita, giring Jiwa ke puncak doa, seperti Rahmat yang rajin ke Mesjid, Maria yang setiap hari Rosario, Wayan yang getol ke Pure juga Beta yang selalu menyepi. Sebab aku yakin akan ada jutaan kekuatan yang tumbuh di sana, jangan ajari Raga berdusta apalagi mencuri.
Malam ini entah kenapa aku hanya ingin mengenangmu, menyimpan tubuhmu dalam dekapan paling agung di sisiku.
Anak kita, Jeng, laranglah mereka ketika asik berkubang di bekas galian apartement yang isinya khusus buat para pribumi bermata sempit, didik mereka supaya bisa lebih rendah diri, memahami hari-hari yang sombong sebab bagi mereka waktu telah dirampok deru mesin-mesin, boom waktu, penjarahan, manipulasi, demonstrasi, konspirasi licik para mucikari.
Aku percaya padamu, Jeng, dengan kekuatan cintamu yang maha luar biasa.
Seharusnya kita saling menyapa dalam ilusi malam ini.
Biar cinta mengalir dan berjalan dalam poros waktu yang serba mekanik mirip gerak listrik yang berloncatan dalam arus pendek.
Jalan kita panjang dan berkelok.
Ada juga persimpangan, di sanalah rumah kita, sebentuk cahaya yang diabadikan kitab suci, dimana sungainya madu, pohon-pohon tanpa dedaunan tapi buah-buah kehidupan yang segar, jangan kau pilih rumah tua sebab di dalamnya sepasang naga telah siap membakar kita tanpa welas asih, pahamilah diajeng, sebab Tuhan akan menjaga kita dalam rahasia-rahasianya, menjadi manusia sempurna menuju keparipurnaan.
Terima kasinh, jeng, terimakasih atas semua kesempatan yang kau berikan untuk bisa mencintaimu lebih dalam.
2008
SENJA
Serjalan menyusuri sisi-sisi di kotamu
Di antara darat basah
Ada yang hinggap sebentar-sebentar di jiwaku
Aku jaring kenangan sambil menyelam di musim penghujan
Sementara aku bertasbih pada senja, meski ada luka yang lebih perih dari kehilangan
Menangislah burung-burung malam, sebab kelam
Ingatkah waktu bulan membayangi tubuh kita?
Suara-suara hatimu begitu mendayu
Ternyata kita saa-sama mencintai puisi
Namun cahayalah yang jadi iman kita
Di pantai debur omba meraksasa
Jadilah irama, saat Adam bertalu-talu di langit, khusus menenun reruntuhan
Menciptakan irisan paling rahasia bersama pasang dalam gelombang
Menjalarlah perih
Bagai sayatan belati yang dibasuh asin garam laut payau
Betapa ingin aku memelukmu
Mengratikan gelombang
Dalam kalimat cintaku yang dalam
Pasir di pantai adalah sajak beriak di matamu
Maka meledaklah dadaku
Jadi bom waktu
2008
LAST OF MEMORIEZ
Sepanjang kaki kita melangkah, betapa langkah ini lelah
Sepanjang kita ngungkung, betapa hari kita terkurung
Sepanjang apakah kiranya kenangan?
Sebab hanya daun-daun layu, menguning dalam ranting
Dengan cara apa aku menulis sajak di jendela
Saat kata-kata mirip anak-anak lugu
Yang menggigil
Aku menyapamu
Dengan wajah kaku, kekuatan merajalela jadi peperangan teramat dingin
Menjadi serupa anjing, mengendus-endus di jalan, liar dan berliur
Sepanjang apakah jalan yang akan kita kekang?
Sebab hanya daun layu berguguran sepanjang waktu
2008
BUKAN TANPA SEBUAH ALASAN
Di tepi pantai aku baca laut pasang
Dan gelombang bergulung-gulung seperti gelisahku hari ini
Bukan tanpa sebuah alasan, saat aku saksikan satu-satu bahkan seribu anak-anak berguguran di pantai, aku hanya diam
Ketika gunung menikam langit
Langit mengutuk laut
Lalu sesuatu pecah seketika
“Praaak!”
Dan aku lelah…
Memahami debur rindu yang tak selesai kumaknai dalam catatan-catatan di dihidupku
Bukan tanpa alasan
Saat nyeri seolah-olah berdatangan jadi tragedi
Saat nyeri sesekali jadi wujud dirimu yang berlintasan di garis mimpi
Adakah kerikil, kabut dan asap begumpalan di angkasa?
Seperti kemarin
Aku menemukan perasaan-perasaan ambigu
Bukan tanpa alasan aku baca sudut hatimu saat gelombang begitu sering kita kenang
Sementara di kebun, di tempat kita menanam kehidupan
Segaris musim juga waktu yang terus menerus mengalir
Adalah rahasia-rahasia milik kita
Meski, bukan tanpa sebuah alasan…
2008
3 SAJAK BESTARI
1
Sungai,
Bebatu merindu
Garis-garis daun
Di batang peristiwa
Adalah aku
Bestari
Lelaki yang tak ingin berhenti
Mencintaimu dalam segala ketidakmungkinan
2
Bestari!
Jingga di dadamu, dada kita
: Kutuk sahwat
Menepilah,
Hingga kulewatkan
Segenap
Dendam sumpah serapah
3
Maka berjejaklah bibirmu
Setiap hari
Selepas magrib
Untuk sekedar mimpi
Berdua saja
2008
MENGAPA HARUS SEPAGI BUTA KITA SESUCI
Demi bumi di kaki :
Terus menerus
Aku gilai kau dalam temaram cahaya bulan
Meski ada luka yang kita balut lalu membekas
Beri aku senjata,
Dengan sekantong mesiu
Ketika dadaku dilingkari naga sakti
Dan aku tak pernah peduli
Lalu pergi, sambil melesat ke batas cakrawala
Tempat paling dalam yang katanya bijaksana
Mengapa harus sepagi buta kita sesuci
Ketika ajal berloncatan dari kantung waktu satu persatu
Begitulah terus menerus saling berebut jasad
Lalu pada siapa kita mengadu, menukar segala kepenatan yang begitu menghantam jiwa
Dan aku tak akan pernah peduli
Menggilaimu dalam temaram cahaya bulan
2008
AKU TAK BISA MERABAMU LAGI
Aku tak bisa merabamu lagi, kekasih
Wajahmu yang begitu gaib
Diantara hentakan-hentakan peristiwa. Mengirisku
Air dimana api?
Langit dimana matahari?
Sebab telah penuh tubuhku dengan candu
Menepilah, walau satu jenak
Dan ceritakan tentang batu dihatimu
Api dimana cahaya?
Cahaya dimana ruang?
Saat tak bisa kuraba lagi kenyataan ini
Sementara aku hanya ingin mendengar sesuatu dibalik tanganku
Suara-suara kecil mirip angin yang dilepas musim
Ketika sepi yang kita pesan begitu mengkarat
… aku tak bisa merabamu lagi perempuan
Namun berkali-kali rindumu menikamku
Rindumu menikamku
2008
JAKARTA PADA BULAN AGUSTUS DI TAHUN 2005
Saat itu aku datang membawa seribu gelisan, sebuah kota:
Jakarta seolah-olah wajah tua yang mempesona
Kakinya tiang-tiang pancang menjulang
Lidahnya kalimat-kalimat discovery
Isme-isme, obituary, teknologi, gelombang pasang
Entah apalagi
Aku tak mengerti
: Tak punya pegangan
Saat itu aku datang membawa seribu gelisah, sebuah kota:
-- Jakarta entah tahun berapa--
Jalan-jalan panjang dan berisi
Orang-orang berlarian menuju tempat kelahiran tak bosan hilir mudik
Di jalan raya, terminal antar kota, ststiun, pelabuhan, bandara dan sebagian tinggal dalam rumah petak
Menghitung biaya kemungkinan dengan lembar kusam di balik mimpi
Aku membaca waktu pada tiga bola lampu
Merah kuning cintaku terbakar
Tuhan, Engkau begitu panda memberiku warna
Saat langit kaku dengan bentuk cuaca
“Citius, Altius, Fortius”*
Aku malah menepi di ujung jalan
Menunggumu sambil mabuk alga
Lalu lenyap tak berkata apa-apa --Jakarta--
2005-2008
*Slogan yang terpasang di atas jalan Menuju Gelora bung Karno (Senayan)
PUISI-PUISI
R. DHARMA SAGARA
Riyadi Dharma Sagara
Lahir di Tasikmalaya, 1 Januari 1984. Tinggal di jalan Siliwangi No. 460 Tasikmalaya (Hayan Celular). Aktif di SST (Sanggar Sastra Tasik) dan SSSI (Sanggar Sastra Siswa Indonesia). Puisinya sering dibacakan di radio Martha FM Tasik dan Cakrawala Sastra RSPD Tasikmalaya, juga di buletin Puitika dan koran Priangan.
BANGKITKU DARI SUNYI
Sebelum terbit fajar
Masih kuratapi langit di wajahmu
Bulan nyaris kehilangan cahaya
Saat kuncup mawar tengadah dalam gelisah
Lihatlah aku
Sendiri di puncak sunyi
Tangisku adalah duka
Sehelai daun kering
Yang dilupakan musim
Bangkitku dari sunyi
Dari penantian panjang
Sepucuk rindu nyaris disemayamkan
Dari ranting jiwa kering
Meranggas penuh harapan
Lihatlah aku
Sendiri di puncak sunyi
Menanti terus menanti rindu tak bertepi
Tak perlu kau sembunyi diremang cahaya
Aku tidak sedang mabuk, kali ini
Aku memahamimu lewat kekhusuan dzikir
Doa-doa bergemuruh di dada
Tak ada dendam
Tak ada penghianatan
Meski luka terasa ngilu di ulu hati
Meski rindu membatu diparuh waktu
Biarlah kunikmati sujud kali ini
Diantara sunyi menikam ruh sendiri
2006
PUSARA AIR MATA
Gerimis turun rimbun ilalang
Tatapannya begitu dingin
Tersentuh angin
Terlalu dini kau ucapkan rindu
Jalan masih lengang
Dan burung-burung masih di sarang
Aku sembunyi di remang cahaya
Bersama wewangian kemboja
Di pusara air mata
Kubiarkan jendela terbuka
Hingga luka dan derita menguap
Bersama embun ke langit
Kulihat dedaunan merunduk
Penuh kerendahan jiwa
Barangkali kita lupa
Sebuah keteduhan
Yang akhirnya harus kita maknai
Sebelum waktu meranggas perlahan
SERULING DALAM HENING
Sungguh, kata-katamu mendustai cinta
Menyekap kesetiaan yang tumbuh
Diantara kelukaan tubuh
Pahamilah
Rintihan seruling dalam hening
Mengalun nada-nada resah
Tentang keadilan yang musnah
Atau cintai yang raib
Diantara kepercayaan yang didustakan
Di langit kekelaman kabut
Seperti menawarkan maut
Bagi setiap langkah tak berarah
Dimana tangisan bunda
Tak mampu mensiasasti Tuhan
Ataupun merujuk malaikat di pekuburan
Sebab cinta telah menjadi bara
Di hati terluka
2003
NAPAS RINDU
Aku akan bercinta malam ini, kekasih
Seandainya purnama terang di kota harapan
Aku akan memelukmu dengan cinta
Seandainya sebilah belati
Menghunus ke jantung birahi
Dan kain kafan pembalut luka hati
Pada sebuah negeri
Aku akan bernyanyi
Melantunkan desah padamu negeri
Mengalun bagai dzikir membasuh sukma
Pada sebuah doa
“Napas rindu berhembus melebar Merah Putih di cakrawala hati”
2003
TAHAJUD
Sujud di puncak malam
Kubisikan rindu lewat bait-bait doa
Tak henti dzikir terus mengalir
Di-ini malam sesunyi hati
2007
MAWAR UNTUK BUNDA
Biarlah mawar itu tumbuh di taman hati
Hingga mekar merimbun mewangi
Kupetik kuncup dan kukecup
Kuselipkan di telinga
Biar kasih mekar di pelupuk mata
2005
DOA
Diantara sunyi
Masih kusebut namamu
Diantara luka
Masih kusebut namamu
Di bait puisi
Masih kusebut namamu
Semoga kali ini rinduku
Sampai padamu
Amiin
2006
SURAT BUAT BAPAK
Daun-daun telah menua
Serupa uban di rambutmu
Sebelum terlambat
Sarungkanlah belati di hati
Sebelum mimpi menjadi luka
Biarlah harapan itu mekar
Bersama kuncup senja
2005
AKU TERKENANG WAJAHMU
Aku terkenang wajahmu di beranda itu
Diantara barisan bunga-bunga beraneka rupa
Kau adalah kuncup semekar mawar
Senyap merayap dinding hati
Napas angin terasa menikam ruh sendiri
Aku terkenang wajahmu di beranda itu
Saat kau lenyap bersama bayang purnama
Di pelupuk mata
Semoga kau tidak menjadi binal
Atas keliaranmu di padang birahiku
2006
DEMONSTRASI NURANI
Adalah kerinduan
Menaruh nurani dalam sunyi
Dan membiarkan tubuh rebah dalam gelisah
Di langit bintik-bintik cahaya
Menaruh getar di mata
Dan angin menebarkan dingin
Di sekujur amarah membara
Aku seperti camar
Kehilangan paruh di lautan keruh
Terus mengapung di ketidakpastian mimpi
Berikanlah cinta
Bagi mereka yang lenyap direngkuhan bunda
Agar merindukan kedamaian hati
Adalah kerinduan
Yang menjadikan aku maut
Menjadi pecut bagi otakmu yang keriput
Tak perlu menjadi danau
Bagi dahaga kemarau
Aku datang lemparkan nurani ke muka Tuan
2003
Di KAKI GUNUNG GALUNGGUNG
Seperti tak ada gelisah di lorong sunyi
Sungai-sungai mengalir tenang
Angin menyentuh ramah dedaunan
Sedang mata nyelinap keheningan cemara
Menapakan kenangan usia
Di kerentaan galunggung dan hamparan sawah dihari
Masih basah dedaunan
Saat kau tebar cinta di lumpur jiwa
Tempat bocah menundukan wajah
Saat panen digelar, meriah
Tarian dan nyanyian pengembala
Mengusik burung-burung
Kepakan rindu dikerahasiaan kuasa
Di kaki gunung galunggung
Orang asing terasa keramat di puncak batin
Menaruh keimanan diwewangian dupa
Setumpuk sesaji di bebatuan dan pepohonan
Mencari Tuhan yang kesepian
Kadang tak kupahami semua itu, kekasih
Kembang edelwis simpan keabadian
Sembunyikan rahasia dipusaran kawah yang tenang
Sesekali kabut puncak mengepung kampung
Dingin sedingin puisiku yang kesepian
2002
ANTARA KAU DAN AKU
Antara kau dan aku
Seperti pohon kemboja busungkan dada
Di bawah rimbunan rumput-rumput liar
Memagari seonggok tanah tua
Seperti itu juga sepucuk mawar merah di hatiku
Masih segar mewangi mengelabui bau keringatku
2002
BAYANG-BAYANG SUNYI
Perlahan ia meredup dalam bayang sunyi
Seberkas kesetiaan purnama
Mengekalkan keteguhan cahaya
Tiba-tiba ia meruncing menjadi belati
Mengoyak ketidakpastian mimpi
Menikam keresahan birahi
Bahkan memahat taubat
Di setiap sujudku
Angin bisikan ajal dikehidupan terjal
Sambil menabur kemboja dilamunanku yang tertua
2002
PENANTIAN UNTUK NUR
Lalu, cahaya itu merambati redup hati
Mensiasati bintang yang meramal kegelisahan
Nur,
Kau sembunyi di kerahasiaan malam
Telah kutitipkan cinta
Lewat kekhusuan dzikir
Menembus kefakiran sukma
Nur,
Dalam ketidakberdayaan
Kembali aku menyusuri sunyi
Meski memahami-Mu adalah penantian tanpa henti
2003
DIALOG SUNYI
1
Demi cinta
Kuterkam langit hati
Dan tak terhayati kekasih
Kecuali sunyi
Lolongan serigala centil, mati
Mengusung birahi di belantara sunyi
2
Gemuruh rindu menggertak kalbu
Aku serpihan nada kasih
Di jiwa tersisih, merintih
Memecah sunyi
Karena sunyi hidup terasa mati
Hidup terasa mati
2003
DUKA SRIGALA
1
Kau dan matahari
Di balik bukit adalah samar
Cahaya kekuasaan yang kau taruh dimata
Tak lagi menerangi hari
Srigala
Kucatat kau dalam cerita
Sebab taringmu menancap di leher INDONESIA
2
Srigala-srigala renta
Bersarang di tubuh kota
Tempat ibu pertiwi menanti buah PROKLAMASI
Senyawa darah dan air mata suci
Ranting-ranting jiwa kering
Berjatuhan duka di ladang gersang
Ibu pertiwi menjelma domba bagi serigala
Ibu pertiwi menjelma boneka bagi penguasa
“Kekasih bahkan kita domba di pinggiran kota”
2003
KERINDUAN SETENGAH DARA
Untuk de Rahma
Membedah senyuman dari pucuk rindu
Butir matahari memecah kelopak jiwa
Dari dahan cemara rupa cahaya lenyap
Mengakar doa menimbun derita sukma
Kerinduan setengah dara
Memisah kecintaan dari kegelisahan jiwa ini
2003
KEMBOJA
Lihatlah, kekasih
Kemboja bermekaran di bukit senja
Merindu di batang usia
Aku merunduk duduk
Menunggu giliran di batu nisan
2007
PESAN TERAKHIR BUAT BUNDA
MAUT
Sepasang matanya begitu tajam
Mengintai sisa usia
Semilir angin hembuskan hasrat :
Bunda, pahatkan nisan untukku
Dengan ukiran kesabaran
Dan kafani aku dengan sehelai kesederhanaan
Biarkan kemboja
Tebarkan wangi saingi bau busukku
Bunda, bila maut mencari aku, tawarkan sunyi
Jangan kau suap dengan air mata
Ia dari langit
Katakan:
Aku lama menunggu, hasrat ingin menjamah surga
Hingga rindukan seribu bidadari janjikan cinta abadi
2002
SELEMBAR DAUN
Daun-daun bergerak perlahan
Ngikuti arah angin dalam dingin
Satu persatu meranggas patah
Terkapar mimpi di hamparan sunyi
2005
TSUNAMI
Ternyata keteguhan karang
Tak mampu menahan amuk gelombang
Laut telah menjadi maut
Diantara isyarat ombak
Tersimpan rahasia
Yang kubaca
Lewat desir angin
Di hamparan pasir
2005
SERENADA CINTA
Berawal dari kilauan embun pagi
Yang terlukis dari danau matamu
Kauhadirkan kesejukan di hatiku
Semoga abadilah kekasih
Seberkas senyuman yang tersirat di wajahmu
Mampu membiaskan kerinduan yang menikamku
Semoga abadilah kekasih
Kesempurnaan perahu cintamu
Yang terus mengarungi samudra hari
Bersama angin dan gelombang asmara
Kauhadirkan buih kesetiaan
Semoga abadilah kekasih
Setiap hembusan angin kesabaran
Setiap tetesan embun keyakinan
Akan bercerita dari setiap uap-uap kesabaran
Hingga putihnya awan-awan kehidupan
Kekasih
Kita adalah kembara yang terlahir dari rahim waktu
Kita adalah kembara yang bernaung di cakrawala
Kita adalah kembara yang haus aroma keabadian
2002
HIDUP
Hidup
Adalah detik yang berdetak
Terus berputar antara cinta dan derita
Hidup adalah penantian
Hidup adalah harapan
Hidup adalah detik yang berdetak
2005
BAGIKU KAU ADA
: Wahyu Djayadisastra
Telah kutampung air mata di ujung senja
Sehabis gerimis sisakan tangis
Sementara wangi kemboja
Telah mengantarmu ke pekuburan
Bersama tabur doa-doa
Di pusara air mata
Bagiku kau ada
Diantara rerimbun kenangan
Terpahat di batu nisan
Pahamilah Tuhan tak pernah dusta
Untuk sebuah keputusan
2007
RINDU SEPASANG MERPATI
Biarkan aku bernyanyi
Tentang rindu sepasang merpati
Bertengger di dahan-dahan mimpi
Sehabis gerimis sisakan pelangi
Biarkan aku bernyanyi
Dengan lirik bungan matahari
Bermekaran di taman hati
Kupersembahkan nyanyianku
Sebagai ungkapan rasa
Memahamimu adalah muara hati
Muara yang tak sempat kutemui
Muara tempat menepi keresahan mimpi
Dan akan kucari meski kesudut paling sunyi
Biarkan aku bernyanyi
Sebelum angin menjemputku perlahan
2006
SYAHADAT
Kuikrarkan dalam hari
Meski sebatas lisan
Kuikrarkan dalam perbuatan
Meski sebatas kemampuan
Asyhadu an-laa ilaha illallah
Wa asyahadu anna muhammadar Rosulullah
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad SAW
Adalah utusan Allah
2006
PEREMPUAN
Kukecup kuncup mawar
Merekah sayap di kupu-kupu
Di bibirmu
Embun turun dari langit
Bening menggenang
Serupa cahaya
Di matamu
Aku teringat warna kenangan
Tergerai terurai
Di rambutmu
Adalah kau mengusung mimpi
Di belantara hari
: perempuan
2006
KOTA TANPA BUSANA
Akhirnya kutemukan kau
Kota tanpa busana
Di tengah gemerlap lampu disko
Di singgasana gelak tawa
Dengan tubuh mungilnya
Kau lempar selendang dan kebaya
Berjalan lenggak-lenggok
Dengan irama blues dangdut rock
Sementara di lorong-lorong sunyi
Terkapar bayi lapar
Dalam derita digigil cuaca
Hanya malam sembunyikan cerita
Di jalan setapak ini
Aku tak henti menghentakan kaki
Menunggu waktu berputar
Kemasa lalu
ACEH
Reruntuhan air mata di tanah berdarah
Pelor-pelor melesat secepat kilat
Kata-kata kehilangan irama
Diantara luka memerah amarah
Itulah Indonesia
Satu bangsa satu bahasa
Kontak senjata
2005
DI PERSIMPANGAN JALAN
Tak kuasa kuberlari
Atau sembunyi dari kuasamu
Luka ini terlalu dalam kupendam
Harapan ini terlalu lama kunanti
Tangan telah lelah tengadah
Kaki telah lelah berdiri
Apa yang kucari
Di setiap tikungan
Langkah ini tak juga menepi
2007
PUISI-PUISI
NI GUSTI RAHAYU
Erni Agustin Rahayu. Lahir di Ciamis, 10 Agustus 1986. Tinggal di Jalan Panumbangan No.094 (Splash Multimedia)
RUMAH
Selalu ada rindu terapung
Diantara sungai-sungai keruh
Pohon-pohon tumbang terkapar mati
Serta berdamai dengan gundah
Selalu ada tempat
Buat mengais dan merebah tubuh yang beku
Dan kita berpesta ria dalam hening
Tertidur untuk kembali mencari penawar
Antar aku pulang
Kembali dan bernyanyi membawa resah masing-masing
Membersihkan badan habis bermain lumpur di kali
Meninggalkan dosa di atas jerami lembab
Menanggalkan kekosongan dari ruang penat berjeruji
Rajutkan mimpi untukku
Buat membunuh setan-setan ketidakberdayaan
Aku mau pulang
Mencumbu wangi lumpur kering di bulan Oktober
2008
TENTANGMU SAJA
Katakan sesuatu padaku
Satu hal saja
Terserah apa katamu
Aku mau mendengarmu saja
Tanpa mau beradu nasib dan takdir
Aku tlah lelah menimbang masaku
Kau tahu aku terjepit diantara penat dan pekat
Jadi lupakan saja tentang hantu-hantu bertaring
Mayat-mayat hidup yang menjadi ganas
Hingga penantian tentang bintang-bintang jatuh
Kita bicara tentangmu saja
Apa saja
Dan aku akan dengan rakus membelenggumu
Biar kau tak pergi dan menjadi liar
Tak perlu terburu-buru menjadi cemas
Aku tak akan nekad membunuh gerakmu
2007
BERKARAT
-catatan di sebuah bangunan tua yang hampir roboh-
Lelaki,
Kemana rentang yang dulu menggapai
Kemana selalu gelak sepi melenguh dan mengalun
Menindih hingga merintih tanpa bergeming
Mengintai malaikat bersayap toska
Namun jingga mewarnai hari-hariku
Bunga-bunga aster yang kutanam di rawa-rawa
Mengakar dan merambat liar melilit tubuh
Memilin dada hingga napas memburu watu
Tumbuhan jeruju beranak pinak namun sulit menjinak
Aku terpental, terpelanting kuat saat kutingkahi diam
Saat kuterbangun sudah tak ada lagi dongeng yang dapat kuceritakan
Kunadai dawai biola hingga mesti menodai arahku untuk mengusik
Mengawetkan bentukku yang nyaris hancur
Tanpa harus menjadi kainofobia akan merahnya neraka
Lakukan saja sesukamu, Lelaki
Karena hanya janji yang membuatmu harus mengingkar dan mengikrar
2008
ESENSI
Menutup kedua mata untuk membaca nasib
Meraba sendi-sendi
Tubuh kurus terbungkus nyawa
Terkadang aku mengutuk diri
Memaki, mencakar
Mencabik-cabik obsesi
Dan satu kebohongan besar
Kurobek jantung hingga tergenggam detak kemunafikan
Lidah-lidah di sekeliling menyerakahi
Dunia yang tinggal mengantungi cerita bualan
Mencoreng dada sendiri
Buat mengukur daya milik masing-masing
Kebebasan mengambang kaku, bumi terbahak
Dan sengketa hak dan moralitas terus menderu
2007
BANGKU TAMAN
Hutan akasia memagar ruhku yang limbung
Ia mengajariku tentang bagaimana menghitung rumus-rumus usia
Sementara kau berkejaran dengan mega
Berdansa dengan laut dan pasir putih
Bangku taman ini menghadap ke barat
Dimana matahari mengucapkan selamat pagi pada dunia
Dan kau selalu beranjak menepis rumah-rumah senja
Yang menjanjikan surga dan harapan
Atau wujud mimpi-mimpi bocah yang menggemaskan
Daun-daun pohon sebentar lagi kan mengering dan berguguran
Ranting dan dahan merapuh dan patah
Hingar bingar dan berontak kan terlelah dan menjadi jinak, lalu tertidur manis
Apakah kita kan terus bersenggama dengan rotasi waktu?
Ah, kita terkurung dalam satu bedjana kosong saja
Tanpa berbekal peluru dan rudal
2008
BAHASA YANG TAK TERBAHAS
Entah kapan, dimana dan bagaimana
Satu epilog kan lagi terlahir
Dan kata tak lagi menjadi bahasa pengungkap yang tepat
Karna semua yang terlontar hanya menjadi paradoks
Rasanya aku tak mampu paham
Dalam diam aku tetap memaki
Berupaya menyahuti puisi-puisi tak tersampaikan
Kita tak akan sampai jalang
Namun kita terlanjur manjadi sampah
Dari sebungkus kredo yang tanggal
Tetaplah berdiri menapaki jejak-jejakmu
Sebab aku tak akan lari tunggang langgang dan sembunyi
Kita berdialog saja seperti nasar dan langit
Meskti kita tak saling mengerti, tentang benak kita sendiri
Apalagi sekadar mampu membahasakan isyarat
2008
MATI DI TANGANMU
Detik ini juga aku kan menjadi mayat
Dijemput Ijrail yang menunggu tergesa di depan pintu
Detik ini juga aku kan bergegas
Berbenah tubuh untuk segera dikremasi
Dan kau bergelak saja merangkai untaian katsuri
Lengking terompet mengeruk jantung yang berselaput
Derai-derai doa meleleh
Menyatu dengan lendir dan air mata
Kupikir kau tak bergeming menatap mayatku barang sebentar
Malah gegau yang kudapat karena tasbihmu bermakna sumpah serapah
Aku mengernyit menghisap bangkai mayatku
Serta kecubung yang kau tanam di samping pusara
Lagi-lagi kau menggasakku dengan celoteh serta bualan
Kau bilang aku gasal untuk bisa sempurna
2008
KEMBALI
Sage-sage menyulam rindu dimatamu
Merayu purnama yang singgah di puncak gelisah
Menghantar kepergian dari sisa-sisa harapan
Namun, Bunda. Tetaplah mendongeng untukku
Layaknya sedia kala
Kita menyusun dan memulai lagi
Dan Engkau ceritakan aku tentang “Si Kancil”
Bukan berkoar tentang hidup, harta dan tahta
Maka panggil aku “Si Kecil”
Lantas aku ingin bermanja saja di pangkuanmu
Nah, esok kan kudapati pelangi melintang di cakrawala
Aku akan kembali berlari mengejar burung-burung perkutuk
Menembus ruang-ruang kelam yang menyeramkan
Mengirim kembali dongeng-dongeng klasik menjadi doa
Dan kusemai mimpi pada renjana
Bunda, rumah kita telah berpindah
Di sebuah padang tempat kita berjemur tubuh dulu
Sungai-sungai jernih dan kebun kemukus
Mengubahnya menjadi kenangan hari ini
Tapi, Bunda. Kita kan membangun lagi
Di tempat yang lebih teduh tanpa batas
Di atas awan tanpa tandas
Di atas nirwana tanpa alas
2008
APOKALIPSA DALAM RUHKU
Aku tak lagi mampu mengartikan kesunyianku
Wujud-wujud kaku di sekeliling terus berjalan terburu-buru mengitari waktu
Jabang-jabang bayi terlahir dan bersimbiosis
Mereka lalu tertawa
Mereka bahagia
Mereka menari sepanjang waktu di jalan-jalan sempit
Apa yang telah Tuhan jatuhkan kepadaku?
Menanam ruh pada wujud yang tak abadi
Menginggalkan sepenggal renungan untuk dimengerti
Kau beri aku ladang untuk kutumbuhi arti
Bagian mana lagi yang layak kutandai sebagai iman?
Aku tak menanam apa-apa di ladang
Hanya menggali tanah-tanah kering
Mencari sesuatu yang dapat kumakan dan kutelan
Beri aku ladang yang baru, Tuhan
Untuk kutempati cinta dan harapan yang hidup
Bukankah masih ada waktu meski sedikit?
Biarkan aku merangkak, berjalan tertatih-tatih
Meraba-raba urat nadiku sendiri untuk kupastikan bahwa aku belum Kau panggil
Dan setiap jengkal ruhku adalah ladang kosong yang tak sempat kugeraki
2008
GELAGAT HUJAN
Sepi terkadang menakutkan
Lalu berkontaminasi
Dengan gemuruh yang membunuh
Curah hujan berlagu dan merintih
Berdialog dengan petir sebagai prolog
Ceritakan apa yang telah berlalu
Bukan bermimpi dan hanya memeluk lutut
Redakan ambisi yang mendewa
Karena kita tak butuh satu-satu
2008
ENYAH
Cintamu dalam genggaman api
Remuk dan gugus disentuh badai
Lalu aku ingin enyah dari segalanya
Aku merayap ke tepian
Aku melumati bentukku
Saat-saat yang tak bisa kulalui dengan pasti
Mempersiapkan peti mayatku buat kusudahi
Aku terobos monumen kelam dalam peristiwa sakral
Tak perlu berkata-kata
Kita tak mampu mengendalikan bahasa bibir
Mega merah, payungi aku
Mencari sisi-sisi temperamen pada gundah
Dan lenyapkan aku dalam rangkulanmu
Buat membantai tokoh-tokoh sepi tak bernyawa
2007
FRAGMEN INI TANPA JEDA
Fragmen ini tanpa jeda
Berjalan, bahkan berotasi mengikuti arah matahari
Buat apa mencari yang dinanti
Kita tak pernah mau berhenti untuk bertepi
Mereda dan terdiam
Mengambil nafas sejenak buat menggali tenaga
Kita akan berjalan lagi
Lurus saja, abaikan tikungan
Jangan mau tertipu kabut
Ketika diri menampik semak-semak
Jangan lagi menyudahi satu peristiwa
Ia kan selalu ada buatmu
Menidurimu setiap malam
Lalu kau cuma terkapar tak berdaya
Sembari menggak pil pahit sebagai pengganjal sakit
Ada banyak ranjau di sekelilingmu
Yang kan menghanyutkanmu
Untuk melahirkan satu ending
Dan kau terjebak oleh ceritamu sendiri
2008
DI JALAN MENUJU KOTA
Aku terpaku
Lalu terdiam hingga demikian hening
dalam keheningan terdalam
Hingga tubuh sedemikian mati rasa.
Dan aku berlutut menantang kekosongan
dari sebuah kepergian dan kehilangan.
Di jalan menuju kota
Ia pergi, ya Tuhan...
2008
BIMBANG
Mungukur waktu
Biar tak jadi bubur
Aku tak bisa bernafas
Gelora tuk berpikir jadi tandas
Hilang terbang begitu saja
Tak sempat meninggalkan jejak biar tak terlupa
Jiwa hanyut tergilas
Mengaduh serta senandung angin membelai perih
Cemas, hendak dibawa kemana
Lari pun seakan tak punya kaki
Rasanya kegilaan ini kian menggila
2007
KEMANA KITA MENDARAT
Kita terpisah jauh
Dari tujuan kita menuju bukit dan rawa-rawa
Bermuara untuk menemukan lautan dan pulau
Menerka matamu
Membaca gerakmu di kegelapan
Firasat terkadang membodohi diri sendiri
Aku sulit tidur
Mataku nanar
Tetapi mimpi tidur selalu menakutkan tentangmu
Gusar membadani sejukur tubuhku malang
Aku hanya dapat sembunyi muka
Mengambang gelisah di catatanmu
Aku bosan berdebat sengit dengan murka
Nyanyi riuh tetap terdiam dalam bangar
Kulihat kau berlari menyeruak hutan
Lalu sengaja menandai tanah dengan jejakmu
Tak peduli datang dan berlalu menjadi ritual sepi
Aku terpaku
Aku ingin berteriak memanggilmu
Tetapi aku selalu takut kau tak menyahut
2008
SUATU HARI DI PESTA LALU
Elegi tlah renta
Sayap-sayap terbang dan mengganas liar
Di atas sajak tanpa kata kita menyembunyikan suara
Arti dan kenangan menjadi rongsokan
Orang tua bermimpi kembali menjadi anak-anak
Inikah senja?
Inikah hari esok yang menakutkan?
Rupanya tak setinggi luka yang kulukis di taman bermain
Upaya dan hasrat mengkaji masa yang mendebarkan
Teriakan bar-bar berdaulat tentang anak-anak kita
Kembalikan apa yang hilang dan menua
Buat menjarah peta-peta yang melapuk
Suara kita tinggal membelasut dan merintih doa
Menganjing gila lalu lenyap dibawah air mata durja
Akankah lagi ada?
Bunyi-bunyi meriah dalam pesta megah
Tempat kita dahulu datang untuk segera kembali
2008
SELINTAS WAKTUMU TIBA
Aku telah menepis senyummu yang tawar
Adalah sebentuk kepergian yang hampa
Mengakhiri cerita-cerita konyol dan babil
Yang katamu kita baru saja sampai pada porosnya
Belum pada intinya
Aku gamang memikirkan nasib
Aku resah memikirkan satu perkara
Kita tak sedang bermain-main
Aku pun tak sekadar meniup seruling perak
Buat menutup lara dan nestapa
Karena semua memulai bukan untuk mengakhiri
Namun ia datang sungguh tiba-tiba
Bembuyarkan satu segmen yang belum sempat kupahami
Dan ia gantikan aku meniupkan sacsofone
Membuka layar baru
Untuk menutup babak yang belum tuntas
Lalu biarkan aku bercumbu dengan kata-kata saja
2008
PERTEMUAN
Kita kembali bertemu di taman ria
Lantas kita tak saling menyapa
Membiarkan diam menjadi pelarian yang tepat
Atas perpisahan tanpa mengucap sumpah
Akibatnya kita saling menggertak dan menyepi
Garis pelangi melukis senyum pada persada
Tanah lembab mengarahkan jalan padaku
Bagaimana aku mesti memantapkan kaki
Untuk bergerak meracik kenangan lama
Karena kini jalan-jalan setapak tlah menjadi lebar
Saat ini aku ingin mengunci kakiku biar tak bergerak
Aku tunggu kau gerakkan lonceng-lonceng hingga bising
Dan nyalakan lentera bila kau tak temukan wajahku di kegelapan
Sehabis itu aku kan membuka suara
Seperti dalam sebuah simposium tak bergeming
Biarkan aku mengembara menjadi minstril
Di tempat-tempat kelabu pada negeri simetrismu
2008
KALEIDOSKOPI HUJAN
Hujan, hujan, hujan mengamuk
Menghujam rupa-rupa abstrak di atas pasir
Aku pecah sebagai gambar-gambar maya
pada sebuah kaleidoskop
Pupus lalu terhampar jatuh pada kubangan
Rinai duka pada tiap tetes mengisyarat gerakanku
Di lorong-lorong gelap dan tersembunyi bernama jiwa
Mengejekku tentang nurani yang berapi
Kita sendiri adalah ranjau
Aku tak akan mati sebagai simbol batu karang
Kematian bagiku adalah sampah
Hina dina menjadi awal terkuaknya kecongkakan
Aku terjatuh dan mati suri
Angin dari selatan menunjukkan jalan padaku
Kita tak akan tersesat untuk kembali
Tegaklah pada sebuah menara
Karena hidup mengabdi dan mengabadi
2008
KORIDORUMASAKIT
Mantra-mantra membelenggu
Menyekap resah pada langit-langit pucat
Detik-detik bagai milyaran keping puzle tak tersusun
Mematikan gerakku, mematahkan suara untuk memanggil
Kesabaran tlah tersudut menjadi jelaga
Bangku-bangku kosong berceloteh bengis dengan udara
Air muka nanar memangku berat pada seragam putih
Adakah jawaban?
Adakah harapan?
Jangan katakan hal apapun
Kita tak mau menyoalkan kematian
Habis ini berkejaran saja dengan nyawa
Berdansa dengan malaikat biar malam tenggelam
2008
MASA
Ada rindu menjadi lumut
Dalam kaca aku ingin pulang
Kembali berdahulu kala
Berkereta layang bersama tawa-tawa
Berbagi lelah dan janji esok
Harapan dan mimpi para bocah
Berbaur dalam kenyataan tentang rindu di belahan masa
Dimanakah hari itu kan kembali tumbuh menjadi embrio?
Ketika para pemilik kaki-kaki telanjang menari menggilas lumpur
Berkejaran dalam sunyi
Deru dan lagu kebangkitan tinggal bungkam mendewa
Momen ini tinggal sejarah mati
Berwujud nyanyian hilang
2007
PULANG
: Gerimis menukar janjimu
Dengan penantian penat
2007
KATASTROF
Pagi mengikat senja pada catatan cakrawala
Mengulas biru dari merahnya luka
Mencabut peluru dalam daging
Ini hari kan jadi klimaks
Duka yang kubawa jauh dengan ambisi
Melaknat dosa yang mengakar
Sepanjang tebing mengais tubuh penuh duri
Izinkan muka membenah tubuh
Biar malam terlupa untuk pagi
Lusa ingin kudapati hal yang sama
2007
PELARIAN
Langit meredam murka
Aku melayang mencari tapak
Dimana papa?
Ada bendungan di sisi kali
Tubuh ini hendak tenggelam
Terhuyung terbebas tak berpegang tali
:Sebab yang kupunya hanya tubuh satu-satunya
2007
TEPIAN
Di dada tersemat belukar
Menumbu sebait asersi
Menumpah gejolak
Untuk segera mencari
Jati diri yang jadi benalu
Lelah bertahan
Teromabang-ambing di tengah samudera
Menumpuk harap hingga membusuk
Pada tidur terus terjaga
Agar tak terlupa
Bahwa aku masih mengangankannya
Waktuku tak lama
Namun jalan setapak ini kian berkelok
Memperlambat laju
Untuk mencapai tepi
2007
MUKA-MUKA
Muka-muka mengambang pada lumpur
Mengunci diri buat sembunyi
Hindari matahari menganga ganas
Biarkan diri membeku
Melahap dosa biar jadi beku
Senyum sendu wanita binal
Banci-banci berdaulat dengan topeng kemunafikan
Di bawah lampu samar kerlap-kerlip
Mengadu pada jalanan penuh ranjau
Bermimpi janjikan tempat berteduh yang layak
Dari suramnya malam berkabut
Pula menepis kebenaran jadi kosong
Akankah mampu membungkam libido lelaki gelap
Ciptakan dunianya sendiri dengan menghitung bintang
Arteri menipis terkikis
Memaksa ramaikan gundah yang mengepul
2007
DIPUNCAK USIA
Malam makin dalam
Suara-suara mematung bagai kalap
Tepian usia menggantung kaku pada jam beku di kamar
Sementara gelap terasa bernyawa
Waktu menggamit luka
Didesak kesunyianku sendiri
Dan mimpi jadi candu
Ingin kujejaki sampai puncaknya reda
Bersama kelakar bulan mengantuk diam di cakrawala
Bukan tak mampu mendendang sajak
Dasarnya tanah tak sedasar jati diri manusia
Sama pula debu tak lebih memikat angin
Begini sama rasanya menulis kembali cerita
Tentang hujan deras mengguyur kota denganmu
Putaran bumi berbunyi mengusik
Kini aku mulai menyusun
2007
DAN MANUSIA
Berjalan di bawah senja murung
Terus menapak pada seluas darat terhempas
Dan manusia
Manusia
Manusia
Segerombolan manusia berjalan senada
Cuma dapat bergumul dengan perut sendiri
Cuma takut kehilangan muka sendiri
Bukan opera kolosal seperti katanya
Kembali dan aku menjamah rasa
Takut lepas kendali
Ingatkanku atas keranda kosong terkapar
Ia mengirim ramai dan sunyi padaku
Mengirim resah gelisah tentang tubuh manusia
Lintas waktu terus menuntut
Sunyinya gagap tak pernah mati
Tatap kosong masa kanak-kanak
Yang bahagia di bawah pohon jambu
2007
KACA-KACA
Sepi mendekam
Menyisir hutan pinus
Dalam kelam
Barisan kata mendakwa
Aku terpenjara dalam kaca!
Satu dua detik jerit berontak
Aku sibuk menandai takdir
Dengan benang jaring laba-laba
Di segala sisi ada banyak kaca
Tak bisa berpaling
Rosario membenam skenario
Dari wujud-wujud dalam kaca
Temukan banyak manuskrip
Di setiap segmen
Opera dalam kaca hanya satu babak saja
2007
EMOSI
Amnesia waktu
Segala mengukir gelombang
Tergigit taring sendiri
Lumpuh ditelan dan ditekan
Gasing berputar-putar
Sengat lebah memutus saraf
O Tuhan kepala pusing
Berisik dan bising
Mulut disekap tangan terikat
Semedi di ujung tanduk
Kambing hitam berlalu lalang
2007
syair-syair yang anda buat begitu indah....banyak rahasia yang sulit di ungkapkan...apa syair-syair itu mewakili perasaan anda atau hanya sebentuk sajak tanpa makna?????
BalasHapus