BUKU PUISI


Kumpulan Puisi 3 Penyair

BUKAN TANPA ALASAN

Lendra Dipraja - Riyadi Dharma Sagara - Ni Gusti Rahayu

Kurator : Irvan Mulyadie

Tulisan di bawah ini adalah suatu manuskrip dari sebuah antologi puisi karya penyair muda. Saya sajikan penuh dalam blog supaya dapat diapresiasi oleh kaum blogger. Rencananya, tahun ini inilah buku itu akan diterbitkan.

Pengantar Kurator

Membaca Kumpulan Puisi 3 Penyair

BUKAN TANPA ALASAN

oleh : Irvan Mulyadie


Apa yang dapat diraih dari sebuah puisi pada masa-masa sekarang ini? Masa yang sudah begitu jauh melupakan nilai-nilai keluhuran budaya bangsa. Masa yang sudah sekian lama menyeret paksa nilai-nilai kemanusiaan untuk kehidupan yang serba matrealistis, egois, dan temperamental. Masa-masa yang tenggelam bersama pesona keangkuhan dan fenomena realitas sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang carut marut dan semakin kehilangan arah tujuan. Maknanya? Kata-katanya? Kalimat-kalimatnya yang indah? Atau puisi-puisi tersebut hanya sekedar bagian dari kegelisahan dan cuhat penyairnya saja?

Tapi semua pertanyaan di atas sebenarnya tak membutuhkan jawaban secara verbal. Hanya saja sedikit perlu direnungkan mengingat puisi itu sendiri sudah tak lagi menjadi bagian yang terlalu penting bagi kebanyakan orang belakangan ini. Sangat berbeda ketika puisi itu diposisikan pada zaman perjuangan merebut kemerdekaan di waktu lampau. Kecuali bagi para pecinta sastra dan pelaku (penulis) sastranya saja. Meskipun pada kenyataannya, posisi puisi selalu saja mendapatkan tempat yang istimewa di masyarakat. Dan saking istimewanya bahkan terkesan ekslusif, kaku, mapan, independen, juga lebih sering ditinggalkan begitu saja. Aneh memang. Tapi nyata. Tak percaya? Ya, sudah…..

***

Membaca puisi-puisi karya tiga penyair yang tergabung dalam kumpulan Bukan Tanpa Alasan ini, sepertinya saya terbawa kembali pada nuansa muram kegelisahan. Dan mengingatkan lagi pada type puisi pada era tahun 80-90an. Dimana tidak dapat dipungkiri lagi, gaya dan pengucapan penyairnya lebih cenderung ‘ngamar’. Dalam arti, bahasa serta penuangannya dalam karya cenderung masih menitik beratkan pada komposisi kata-kata yang lebih mendalam ke arah hati sang penyairnya sendiri. Intuitif dalam merekam segala bentuk peristiwa yang di hadapinya. Cenderung lebih membathin. Mengandung imajinasi liar meskipun masih terkendali. Multi interpretasi, tapi cukup terang benderang.

Saya merasa tak perlu membahas satu persatu puisi dan orang per-orang dalam buku ini. Apalagi menilai dan merekomendasikannya untuk anda. Sebab, biasanya pengantar yang membahas terlalu dalam mengenai karya-karya yang dimaksud, justeru hanya akan mengaburkan penafsiran pembaca terhadap karya yang sedang dibacanya. Dan itu tak perlu. Saya akan membiarkan pembaca sendiri yang menilainya. Mengkritisi, bahkan memberikan teror sekalipun. Sebab pembaca adalah raja (pencicip), sedangkan penulis hanyalah seorang koki yang menyodorkan berbagai menu masakan berdasar resep, trik dan tips yang ia miliki.

Hanya yang perlu saya garis bawahi dengan tebal adalah, bahwa ternyata masih ada sedikit orang dari kebanyakan orang lainnya yang masih merasa perlu mempublikasikan keresahannya. Apalagi lewat karya puisi. Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.

Dipublikasikan dalam bentuk buku berarti (mungkin) menjadikan karya-karyanya sebagai aspek komoditi ekonomis. Dan itu berarti pula buku tersebut pastilah akan dijual. Dan kalau pun itu dijual maka untung rugilah perhitungannya.

Namun saya berpikir, terlalu naif juga rasa-rasanya kalau bisnis adalah alasan utama dari penerbitan buku ini. Selain nama tenar yang selalu diidentikan dengan daya jual dan bentuk promosi, posisi strategis seseorang juga mempunyai nilai lebih yang selalu diperhitungkan oleh para calon pembaca (pembeli-red). Tapi tentu saja kualitas karya itu sendiri juga yang akan bicara.

Intinya adalah bahwa suatu karya seni dipublikasikan memang sudah jadi keharusan yang fundamental. Setidaknya menjadi semacam sunah muakad daripada dipendam dan dinikmati sendirian. Bahaya kalau begitu. Karena hanya akan memberikan efek negative berupa narsisme dan kepengecutan bagi sang kreatornya.

Dan saya berharap, puisi-puisi ini tak hanya terkubur dalam suatu lembah bernama buku dan berhias nisan antologi. Publikasi di media massa juga penting. Tak hanya Koran atau media cetak lainnya saja, tapi media elektronik seperti radio dan internet pun bisa diperguna-kan dengan sebaik-baiknya. Tak perlu alergi terhadap kritikan. Sebab kritikan hanyalah jamu pahit yang menyehatkan.

Karena ada banyak faktor pendukung dan penghambat dalam rangka menerbitkan buku ini, saya melihat judul Bukan Tanpa Alasan ini memang sangat beralasan.

Terakhir, selamat mengapreasi karya puisi dari tiga penyair muda ini.


SAJAK-SAJAK LENDRA DIPRAJA
Lendra Dipraja lahir di Tasikmalaya, aktif di beberapa komunitas kesenian (Teater Dongkrak Tasikmalaya, FoRKKIS, Komunitas Pesantren Hikam, BPKD Tasikmalaya)

KEPADA YANG DIKENANG

“Sampaikah kiranya kepergianku?”

: Malam hening setelah peninggalanku

Meski ada pesta di utara

Para penyihir dan penari

Memilihmu adalah pengingkaranku

Saat Musa berlayar dengan dzikir laut sepi, lalu mewariskan kehampaan

Dengan cara apa kurindukan puisiku yang menderu-deru

Saat lelah terbaca di garis wajah, menggeliat

Nyelinap dalam mimpi-mimpiku yang kurang ajar

Di rumahmu kekasih, kesepian kita amatlah sederhana

: Malam tetap hening setelah kedatanganku

Tak ada wangi kembang

Tak ada tembang

Sementara kau dan aku menyepakati segala penghianatan-penghianatan luar biasa

Berlalu lalang dalam tiap sepersepuluh ingatan

Ooo… Waktu yang datang dan pergi

Biarkanlah kupahami kenyataan ini

Sebab telah kupilih hidup dari kisah lalu yang teramat gila berabad waktu

2008

OBITURA TSUNAMI

Menyisir semenanjung, teluk dan pelabuhan

Saat darat jadi pijak-pijak basah

Angin marapat, merayap di jalan-jalan

Ketika orang-orang tengah bercerita tentang syair di tegalan

Mari kita rendah diri mengenang sebukit duka

Hingga gelombang lintang pukang saling berkejaran

Pada ujung hari yang berkilau

Di atas awan perak

Lhok nga, aceh kah serambimu?

Lhok nga, adakah perahu dan nelayan yang mampu menceritakan kisah lalu laut bisu?

Sementara Izroil sibuk memilih ruh

Dan jasad-jasad kaku tenggelam sebagian tafakur di bentang nafas yang mengalun tengadah, berdendang dengan gendering

Tak henti meniup seruling

Menjalarlah perih kabut sepi

Betapa keadaan ini adalah ungkapan Tuhan yang teramat bijaksana

Pahamilah gelombang meski dengan tunas bakau dan gurindam

2008

DALAM BIRU PULAU BULAN MADU

RIE, berkali-kali aku bergerak mengisyaratkan gerak cintaku pada batu, tanah, dan air

Berkali-kali pula keraguan malah membakar kita menjadi satu-satunya penyesalan, lalu lenyaplah kita di musim kering

Udara semakin runcing, nusuk kalbu

Apakah kelak ada sekantung rindu membungkus detak jantung?

Lalu pada cermin aku ingin menyuntingmu

Saat ledakan merajalela, begitulah kiranya

Hingga aku ingin kembali menepi pada setiap makna sajak

Denting waktu juga biru bulan madu

Saat engkau betah melayari setiap jengkal resah dadaku

Mendayung, betahun-tahun melagu

Kubiarkan saja semuanya menepi pada subuh yang kukayuh di sepertiga malam

Menyusun setiap gerak tak beraturan

Hingga ada yang kupahami, dari bentuk kau dan aku

Jalan-jalan bagitu panjang sayang, sebagian nyungsang di selangkangan

Ada pohon, putus-putus menjadi asing

Daun-daun gelisah,

Lalu rebah dalam purwa tanah-tanah

Berdoalah dan tawakal sebab akan datang

Peristiwa dengan banyak bahasa rahasia

Dari kata-kata purba yang diwariskan Nabi

Jalan kita nyaris sepi,

Jadi lorong, jadi mimpi, jadi persimpangan

Menara terlahir tiba-tiba

Dan pasir tak lagi memberi petunjuk arah,

Hanya kaku dan bisu

Sampaikanlah sajak kita

Pada setiap kelapak, saat mengangkasa

Mengembara, tak bosan melepas rindu

Mematunglah diriku di semak lambang

Rindu perjalanan

Cahaya-cahaya kosmo

Elegi siang hari, nyanyian-nyanyian ringan…

2008

MENEPI RUANG DAN WAKTU

Yang kita tuju

Lembah biru

Air tanah bebatu

Ragam warna juga anak-anak

Ada cahaya di kaca

Dalam pasang purnama berderakan

Adalah sunyi yang tiba-tiba datang

Saat kelam menyangkar di ranjang

Jauh menjauh sepi langkah

Tak adakah yang mengurai mimpi?

Menepi batas ruang

Menuju ke waktu?

2006

LA NAUSE

Mencuri puisi dari setiap peristiwa

Di antara gerak lambat nyanyian risau, menahan segala kerinduan

Langit merah jingga di keningmu, bekas pertemuan

Tak taulah kemana langkah menapak jejak

Dalam sahwat paling dosa

Semestinya ada puisi malam ini, kenangan kau dan aku

Di belantara yang dipenuhi wewangian

Kotamu bercahaya, bau arak, nafasku jadi nyala api

Malam benar-benar tenggelam, kekasih

Sementara gairah berguguran dari kelamin lelakiku,

Sebab aku mencintaimu saat jalan lenggang

Aku lelah menjadi elang, menyerang di lorong cakrawala selalu luka

Cintai aku sebutir pasir di kaki

Saat mencari kiblat dalam batas rekaat

Yang tak pernah sampai ke Sidhrat paling mulia

2008

RUMAH SINGGAH

Awalnya hanya rumah singgah,

Dinding kaca dan bunga-bunga plastik

Kau mengaji aku, dalam kisah serba rahasia

Pesona mutakhir, lampu-lampu berlarian,

Melayang-layang di angkasa

Tiba-tiba berpelangilah tanganku

Ini aku, derak bumi sama juga diwaktu-waktu

Membunuh rindu pelataran rumah

Senyum ibu datang di antara keping harapan

Pedih mengayuh peluh, nyeri ratap rerumputan

Mengeja jalan tempuh

Memamah duka

Bagi ribuah jam yang teramat jauh kulompati

Ada yang menangis,

Malaikat berbondong-bondong di jalan raya sambil tersedu

Memangku langit uzur

“Jangan beri aku puisi, nyanyikan saja diam kita di rumput-rumput”

2008

NADOM

Menahan risau

Di dadamu yang mirip pelabuhan

Aku edan kasmaran pada semburat cahaya bulan

Rindu mengetuk waktu, waktu nemu alur patah-patah

Tak mengerti arah

Beri aku ciuman di bibir ini, kekasih

Saat malam begitu kelam

Saat rindu loncat-loncat tak beraturan

Meski cinta kita berjalan kaki

Kupahami dzikirmu, dari keluh subuh

Meruncinglah mimpiku

Akhirnya selalu bisu yang kita pahat di bingkai waktu

Dalam gang, dinding tembaga,

Dalam dongeng tentang kota yang tenggelam

Sementara kubur-kubur lahir dari percakapan

Tiba-tiba aku disihir, lelap dalam tarian para penyair,

Di kakimu neraka terlahir

Serupa telaga, ikan-ikan merah dengan sirip lengkung cakrawala

Oo… malam cahaya bulan matahari sebelas bintang

Riwayat purba, kutuk suci para bidadari langit tua

Lam Ro, gelisahku

Ini waktu desir-desir ombak di muara

2008

DALAM SEPI UNTUK SENDIRI

Tetapi…

Sudahlah Rie, jangan kau pusingkan kepalamu dengan harapan bahwa hari ini kau akan melaksanakan aktifitas yang dapat membuat hidupmu akan lebih bergairah. Naif jika kau terus-terusan seperti itu!

Kenapa selalu saja kau dan aku bersilang pendapat, kau menuduhku penghayal berat, kenyataannya kaulah yang selalu saja menanam harapan yang di luar kuasa kita, kau bilang kita hidup tinggal menjalani takdir, tapi mana, melulu keluhan yang kau berikan padaku!

Hari ini bukankah kita saling merindukan?

Kemudian…

Ratusan pesan singkat kau kirim, sepertinya kau sudah tak tahan menanam libidomu yang dalam hitungan detik bisa mencapai ratusan derajat. Kemarilah, lupakan sidang yang kau tunggu-tunggu, lupakan hari esok, lupakan cinta kita yang terlalu inklusif.

Kau kangen dengan pelukan da ciumanku bukan?

Sejarah telah jadi dongeng kita, terkadang demi menghapal jejak kaki, puluhan hari kita bakar dengan sungut berbusa, mencoba berdalih ketika tak lagi didengar meski oleh sepotong daun telinga

Lalu…

Bukankah kemarin kau bilang kangen?

Kemarilah Rie,

Di hatiku kau adalah degup jantungku,

Garis-garis tanganku, bimbing aku

Menempuh hari purba yang rahasia

Sementara…

Daun layu berguguran di wajahmu,

Menandakan bahwa kau jenuh dengan hidup,

Matamu lebih dalam dari palung lelaut,

Kantung matamu bergelayut,

Tak ada bahasa puisi di mimpimu

Tapi aku akan mencintaimu Rie!

Mencintai segala apa yang kau miliki

Tak ada risau yang kau takutkan

Aku tak memiliki apapun untuk memprsiapkan bulan madu kita,

Kekuatan hati inilah yang bisa meneguhkan semua rasa resah kita, tak ada salahnya kita mencoba baik hati memberi rasa pada nurani kita, kebosananmu mestinya jadi sajak, yg warnanya adalah air matamu,

Kita kalah Rie, tapi kita kuat

Dan…

Pagi ini tubuh kita akan menyatu dalam doa-doa kecil.

Harapan yang tersurat, tersirat dalam takdir kita, kangen ini akan tetap terjaga seperti ini hari

Selalu aku baitkan ceritaku,

Mirip kitab suci, tapi aku bukan Nabi

Yang tiap getar lidahnya jadi warta suci,

Kata-kataku hanya igauan

Rie…

Adakah hujan pagi ini akan reda?

Juga lagu-lagu sumbang yang kita dendangkan di senja hari yang tak pernah paham akan bahasa keluh kesah kita?!

Tuhan katanya akan lebih bijaksana jika kita tetap menunduk, aku lelah, kau dadah, melulu aku berontak, kau bilang ini hidup.

Dimana Tuhan?

Saat bosan meraksasa jadi jalan yang Maha Luar Biasa Panjang

Tak kutemui juga persimpangan!

Hipokrit…

Barangkali saja aku pengecut!

Kau paham apa sebenarnya mau Tuhan? ama saja

Bahkan doa-doa kurangkai

Jadi sembilu dengan segala rupa ketakpastian

… TUHAN, maafkan aku!

2008

ARAH ANGIN

Hari itu aku berjalan saja menuju barat

Orang-orang ke selatan, angin hanya diam

Suara kaki dan kendaraan menjadi dirimu yang entah dimana

Lautkan rumah yang kau inginkan?

Aku tetap saja berjalan

Memasuki gedung, di atas eskalator yang menghantar diriku ke tempat paling tinggi

Langitkah rumah yang kau idamkan?

Kini aku di utara, tetap berjalan

Menghitung batu-batu sepanjang dinding cadas

Hatiku terkilir

Mana mungkin rumahmu di pegunungan

Aku dimana-mana

Tetap berjalan mencarimu sambil meraba-raba peta

Beri aku kabar tentang dirimu yang sedang menantiku di tegalan

2008

RUMAH INI SEPI TANGIS ANAK-ANAK

Kukenang aceh dalam televisi

Ketika pertemuan denganmu pada senja

Berubah menjadi loncatan-loncatan peristiwa di mata kita

: Tak sujusku jadi doa

Tetapi halilintar (gelegar-gelegar kecana)

“O… pulanglah lautku

Pulanglah gelombang-gelombang

Pulanglah dzikir pantai-pantai”

Sebab, rumah ini sepi tangis anak-anak

Ketika pagi tak mengenal suara dendaunan

Juga nyiur yang disitir angin:

Melambai

Kukenang Aceh di tanah basah

Tempat puisi ditasbihkan para Sufi

Saat doa mirip kelahiran sepasang burung camar di tebing curam

Disinilah

Wajah-wajah perawan kasmaran di garis pantai

Setelah lelagu tentang gayo kembali karam

Lebih dalam

Dalam

Dan tenggelam

Aku mengenang Aceh, bukan dari gelombang

Hanya dari seribu kangen tangis anak-anak

2008

DI NUSA YANG KAKU

Khoerunnisa

Menanam risau

Di dadamu yang mirip pelabuhan

Kutemukan riak gelombang pada telapak tanganmu

Menjadi garis dan jejak langkah kita di Nusa yang kaku

Beri aku ciuman di bibir ini kekasih

Setelah malam membiru pada tulang punggung di tepian keringat gelisah

Dan

Rindu loncat-loncat

Di pohon-pohon

Tak jemu kucipta puisi untukmu malam ini

Setelah percakapan kita digiring badai ke kotamu

Subuh pun usai di langit kelabu

Dalam wirid tipis

Kita menikmati pertemuan sambil telanjang dada

Di jalan-jalan

Waktu memanjang

Menuliskan kembali

Kalimat-kalimat gelisahku tak henti

Sepanjang mimpi-mimpiku yang hilang:

Selalu letih aku menggiring sepi diruncing angin

Yang dicuri gelombang pasang

2008

BEGITU BANYAK PERSOALAN DALAM KEPALAKU

Orang-orang bertengger dalam wacana konspirasi

Di cafetaria, di swalayan, di warung kopi, di pematang sawah

Bahkan beramai-ramai berunjuk rasa atas nama kebebasan

Hanya aku secara sederhana milih berjalan saja

Anak-anak menenggak sebotol air api

Sambil berdisko mabuk cuaca

Di kakinya jejak yang melesak di pasir-pasir

Menjadi kitab paling suci

Begitu banyak persoalan dalam kepalaku

Perawan dan lelaki tuna bangsa dalam rumah kaca

Jadi televisi bagi sebagian kenangan kelam

Tetapi dimana rumahku yang dulu menyimpan buku-buku cerita tentang para lelaki dan perawan sementara aku tak pernah ingin mengerti kemana sepi menghilang

2008

SHORT MESSAGE SERVICES

A B C D E F G H I J K …………. Orang-orang telah pergi hanya ada batu

Siapa menyalahkan siapa tak jadi apa-apa

Dua kegelisahan, dua jarak, dua waktu menjadi satu dalam rentang kehidupan, akan ada banyak warna, garis, alur dan aneka perasaan yang tumbuh menjadi sebuah cerita, aku, kau, kalian, mereka, sama-sama berjalan dalam proses hidup yang serba rahasia.

Jalan itu harus tetap kita lalui,

Mungkin aku mungkin kau mungkin salah satu dari teman kita, salah satu dari seseorang yang kita kenal.

Entah itu siapa

Barangkali di langit jutaan kata-kata bertabrakan saling mengisi emosi satu sama lain, kata-kata nanar, ucapan cinta, sumpah serapah bertebangan mirip migrasi burung dari utara menuju selatan, dari barat ke timur atau sebaliknya keluar masuk dari segenggam telepon selular

Hidup memang penuh es em es (layanan pesan singkat)

Subuh di bawah kabut dalam deretan bangku binal, barangkali berasap

Semalam kuhabiskan perjalanan dalam kantuk yang luar biasa

Aku tak bisa berpikir!

Kubiarkan saja berlalu

Setelah itu tak ada lagi percakapan, aku bosan

Angin terlalu dingin pagi ini

A B C D E F G H I J K…………..

Hanyalah sebuah omong kosong belaka

Aku di Bandung, di sebuah warung dekat jalan tol

Kutulis sebait puisi untuk kekasihku

I cant touch you…

2008

YANG BERBURU DALAM HUTAN DI DADAKU

Rambutmu bercahaya

Tiba-tiba langit bergetar

Wajahmu biru

Mata yang seredup rembulan

Melulu aku kangen seribu puisi

Yang lahir dari bebukit di dadamu

Orang-orang membangun rumah

Dari sebentuk karang

Ladang-ladang berhamparan

Ada yang berperang

Di padang-padang yang ber-Tuhan serigala

Matamu hitam,halilintar

Aku lihat cahaya pula

Agung dan cemerlang

Jiwa-jiwa yang bertanya

Tentang kota yang diramal

Lenyaplah aku di punggungmu

Sebuah rumah di bangun dengan cinta

Tembok-tembok antik

Para pejalan di hutan, laut, dan gunung-gunung

Lenyaplah di langit

Dari negeri dimana penghuninya berambut api

Seseorang memanggil di simpang jalan

Berkali-kali

Betapa senyap cuaca malam ini

Hanya ada cericangkas meranggas di dahan

Udara ringan

Mimpi suci tentang perempuan yang misterius bersayap kecil

Kau berburu dalam hutan di dadaku

Bagai pejuang yang teramat buas di bukit laut

Dahimu berkilauan, mirip lembayung

Cahaya dari segunung-gunung tinggi

Berakhirlah puisiku di tahun-tahun penyesalan

2008

AKU INGIN MENEMUIMU SAAT HUJAN

Aku ingin menemuimu

Saat hujan

Di simpang jalan

Sebuah kota menyala

Orang-orang membakar pertokoan

Sementara kisah kita tertutup

Batu-batu peperangan

Jadi semacam upacara kematian

Aku ingin menemuimu

Saat hujan

Dimana puisi dan rinduku batu-batu

2008

OPERA JULINI

Aku ingin kau mengerti, Julini*

Kisah kita berlalu dalam sebuah opera

Tentang cinta dan keserakahan

Biar angin menyitir kau dalam rupa yang sempurna

Penghianatan ini, murni konspirasi

Akal busuk dan caci maki

Biar kupanah gelisah

Kupasung diri dalam kelam cerita

Di antara kita

Aku ingin kau mengerti Julini

Bahwa cintaku begitu sederhana

Seprti sungai yang mengalir tenang ke lautan

Kau, puisiku kala sendiri

Kata-kata bercahaya dari para lelaki

Kiranya aku ingin menyuntingmu, biar kita habiskan sisa perjalanan waktu dengan segenap kesederhanaan

2008

*Nama tokoh dalam naskah drama opera Julini karya N. Riantiarno

ADA LORONG KECIL DI GARIS TANGANKU

Ada lorong kecil di garis tanganku

Sesak hampir tak ada cahaya

Aku ingin memelukmu, mengurai lebat rambutmu

Mengartikan bahasa para perawi dalam sejarah kitab suci

Secawan anggur, kembang malam, merah muda

Semalam aku mendengkur, tersungkur di sudut kiblat tak henti tadzakur

: Memilih jadi penyair

2006

LIKE A DREAM

Memerahlah matamu,

Demi peristiwa, untuk peristiwa, hanya peristiwa

Lalu…

Darat berjejak-jejak, laut retak berbayang-bayang

Aku tak bisa diam membacamu

Deru angin, stasiun kereta yang ditinggalkan

Merajalah sumpah serapah di kolong-kolong

Sulur-sulur rindu bertalu

Mirip pesta para pujangga di taman yang bunganya terbakar air api

Sebentar lagi malam

Singgahlah sejenak demi kaki yang setiap hari menulis puisi

Jalan lenggang dengan tapak sabda Tuhan

Demi jakun yang merambat naik yurun

Demi lelaki yang kepalanya adalah hutan lindung

Rebahlah biar dada telanjang menatap cakrawala

Menyusun setiap detik dari loncatan-loncatan mekanik

Jam terpejam dan aku lelap sendirian dibusuk haei-hari

Tak ada percintaan

Aku menantimu saat kau hangatkan tubuhku yang menggigil

Aku ingin rambutmu yang jarang-jarang di musim tropis

Segelas Cognac nyala api dan bunga mekar di lehermu lebih memuisi

Aku menunggumu

Dalam sahwat lelaki yang membawa nyala mencusuar menuju karang

Saat datang halilintar menyambar rintih duka terjaga

Bagaimana mengarak mimpi sepagi ini?

Rabalah aku semau rindumu

Atau di ranjang kita pasang cendawan

Menyepi diri dalam upacara paling sendiri

2008

AH…….!

Ini malam untuk siapa

Saat mendekap musim rindu

Sambil terjaga

Selalu aku. KAU dimana?

Tuhan…

Pergi ke laut

Mendekap musim

Di atas pasir

Sambil nulis perjalanan mirip anak-anak

Dihempas kembali buih ombak

Ah…!

2008

LA NIGHT ENDING

Pada sebuah malam yang seperti ini

Pohon-pohon akan jadi dingin

Aku ikut membeku dalam daun-daun basah

Kau di sini, dalam dekapku

Membakar kesunyian

Yang dulu menyitir aku di hutan penempuhan

Seperti apa rupa wajahku nanti?

Setelah perjalanan waktu tak mau berhenti dalam tubuh, jadi peluh sebagian

Aku hanya ingin selalu mendekapmu

Menghabiskan malam meski tak ada cerita, sepi akan terus-menerus seperti ini

Tak apa…

Sebab aku ingin ada angin menyelusup dalam dada

Sementara kau selalu menghilang

Dari bentuk rinduku yang senantiasa berdetakan dalam kalbu

Aku sendiri, malam berakhir tak jadi mimpi

2006

MALAM YANG MELARUNG

Malam melarungkan kisah. Aku kehilangan mimpiku bagaimana tidak, mereka begitu mirip denganku, bahasa-bahasa yang begitu pahit, jejak kaki yang lancip, kerinduan, cinta, teriakan-teriakan. Ah…! Bahkan aku masih ingat perkataan mereka, umpatan-umpatan yang dilontarkan persis seperti aku ketika meramu gelisah.

Subuh mengayuh embun pelan-pelan ke sudut-sudut mataku. Semalam aku tak menerima gelisahmu. Tapi pagi ini kutemukan setumpuk kembang, lagi-lagi kau mengirimku bayang-bayang kenangan.

Kau tak lagi mencintaiku! Malah menyuruhku bunuh diri! Sinting! Belum puaskah kau dengan sentuhan yang kuisyaratkan pada tiap lembar sajak-sajakku?

Sepiku tak lagi bijaksana. Tak ada pesta pora, setiap hari kau ajari aku belajar menjinakkan nalar yang meracau, lupakan gaun pengantin itu. Lupakan saja tentang bulan madu, setiap hari kita mengemas romantisme, sumpah, aku tak menjamahmu malam itu. Barangkali saja kau bermimpi.

Beri aku vodka

Atau segelas arak putih…!

Seperti kemarin pula biarkan aku dengan keadaan demikian, biarkan saja.

Hidup ini merah, katamu hitam mereka bilang abu-abu, aku nurut saja sama bapakku, bahwa hidup itu pelangi, aneh adikku berteriak dia ingin hidup itu perak. Aku gila kau edan, mereka ga waras.

Menepi pada senja. Aku rindu hujan, butiran-butiran airnya yang dingin mengusap sekujur tubuhku, dingin yang bergairah? Tempat para kekasih menasbihkan sajak-sajak

Aku pergi!

Maka mekarlah kubur-kubur, mekarlah badai yang menjalin pantai dan ombak, mekarlah matahari, mekarlah wahai kekasih yang luka, hijau cintaku, hjau rinduku. Hijau, hijau, hijau, hijau,.

Kepalaku dipenuhi jutaan praduga.

Nyatanya Tuhan masih saja betah mendengar suara parauku, hingga ribuan hari kutelusuri penuh dengan rasa ambigu. Menggambarnya dalam perselingkuhan ketika mimpi kulukis jadi kerinduan pada-Nya.

Hari ini aku kangen ciumanmu, biarkan aku peluk tubuh pipihmu yang lelah, biar kukecup ujung tulang hidungmu. Sungguh aku begitu merindumu, tadi malam aku marahan dengan Tuhan. Sebab kau tak lagi tersenyum memintal hari-hari milik-Nya. Kita pulang saja. Mari kita kembali pada rumah-Nya, biarlah meski neraka jadi tempat naung kita di sana, sebab kita bukanlah burung-burung yang jinak, kita seperti elang yang hanya hinggap ketika sekawanan tikus berlarian di pettakan sawah, lalu menyarang di pohon-pohon jati tanpa peduli hari esok tanah akan kembali memerah, selalu kita luput dari wirid malam, rumah kita tengah kehilangan jejak sejarah, padahal telah kita tanamkan seribu macam pohon cinta ditiap sudut-sudut halaman. Hingga aku mulai mengerti garis-garis tubuhnya yang diputus-putus, di selangkangannya yang putih kutulis sajak tentang hari eskok, juga sketsa anak-anak kami, pernahkah berdoa supaya bisa seperti Che Guevera, Albert Camus atau Jean Paul Sartre? Yang sering dijadikan dongeng oleh para pemikir dan pemberontak? Aku ingin menjadi seperti mereka, meski mereka sakit!

Sebab untuk menjadi seorang Zakaria atau Yusup aku takut tak bisa balas budi pada selalu kehilangan kisah-kisah duka…

Tujan menempatkan ruhku di samping pusar, sementara ragaku tak memiliki ujung pusar, hanya lingkarang kecil di baas perut, itu juga kunamakan sebagai saluran dosa, dimana sperma bapak dan keringatnya terkontaminasi asam cuka dan cairan kimia. Setiap saat kami selalu berbeda pendapat. Aneh. Pertemuan ini adalah pelabuhan… Sepi dan nyeri.

PERISTIWA

Selamat jalan, peristiwa…!

Barangkali di mataku ada sajak

Saat orang-orang ramai-ramai menanam bom di kepala

Aku diam dalam bahasa rahasia

Meminjam katamu

“Revolusi harus terjadi, esok lusa hari nanti, atau tidak sama sekali berarti kita mati!”

Selamat datang, Peristiwa!

2008

SURAT DARI SUAMI KEPADA ISTRINYA DIAJENG RIYANI

-Fitriyani KH-

Diajeng, bagaimana kabarmu?

Bagaimana kabar anak-anak kita, Jiwa dan Raga yang terlahir prematur dalam benak kita, bagaimana kabar tekukur, kucing kurus yang kau temukan di seberang jalan waktu kita asik bersenggama saat senja meminjam cahaya matahari jadi kuning tua?

Bagaimana kabar tetangga-tetangga kita dan anak-anak mereka?

Bagaimana jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaanmu tentang Tuhan yang kau yakini berada jauh di atas sana?

Masihkah kau asik dengan sulaman dan cucian piring?

Bagaimana pula dengan hari-harimu yang penuh dengan tumpukan popok si kecil, file-file kerja, buku filsafat, telenovela dan rahasia memasak yang selalu kau banggakan?

Lancarkah menstruasimu, serta penurunan berat badan saat lemak hinggap di paha, pinggang bahkan payudaramu?

Betapa aku rindu kamu diajeng!

Rindu gerak tubuhmu saat kau sitir aku dalam gairah birahimu yang mempesona

Engkau melenguh, mendengus cakrawala maha sempurna dalam dadaku

Aku kengen keluh, setelah lelah mendenguh di tegalan tempat para kuda menari dan pesta pora

Ramburmu Diajeng, bahkan letik bulu matamu serupa Sri Betari Kama Pra Raksa Dewangga.

Ternyata aku lebih bodoh untuk memahami bentuk tubuhmu sepotong-sepotomg.

Bahkan bau ketiak yang merimba dan gambar calon anak kita jadi sebuah PROPAGANDA sia-sia.

Diajeng, istriku… tolong jaga senyum Jiwa manja Raga karena mereka adalah anugerah bagi kita, giring Jiwa ke puncak doa, seperti Rahmat yang rajin ke Mesjid, Maria yang setiap hari Rosario, Wayan yang getol ke Pure juga Beta yang selalu menyepi. Sebab aku yakin akan ada jutaan kekuatan yang tumbuh di sana, jangan ajari Raga berdusta apalagi mencuri.

Malam ini entah kenapa aku hanya ingin mengenangmu, menyimpan tubuhmu dalam dekapan paling agung di sisiku.

Anak kita, Jeng, laranglah mereka ketika asik berkubang di bekas galian apartement yang isinya khusus buat para pribumi bermata sempit, didik mereka supaya bisa lebih rendah diri, memahami hari-hari yang sombong sebab bagi mereka waktu telah dirampok deru mesin-mesin, boom waktu, penjarahan, manipulasi, demonstrasi, konspirasi licik para mucikari.

Aku percaya padamu, Jeng, dengan kekuatan cintamu yang maha luar biasa.

Seharusnya kita saling menyapa dalam ilusi malam ini.

Biar cinta mengalir dan berjalan dalam poros waktu yang serba mekanik mirip gerak listrik yang berloncatan dalam arus pendek.

Jalan kita panjang dan berkelok.

Ada juga persimpangan, di sanalah rumah kita, sebentuk cahaya yang diabadikan kitab suci, dimana sungainya madu, pohon-pohon tanpa dedaunan tapi buah-buah kehidupan yang segar, jangan kau pilih rumah tua sebab di dalamnya sepasang naga telah siap membakar kita tanpa welas asih, pahamilah diajeng, sebab Tuhan akan menjaga kita dalam rahasia-rahasianya, menjadi manusia sempurna menuju keparipurnaan.

Terima kasinh, jeng, terimakasih atas semua kesempatan yang kau berikan untuk bisa mencintaimu lebih dalam.

2008

SENJA

Serjalan menyusuri sisi-sisi di kotamu

Di antara darat basah

Ada yang hinggap sebentar-sebentar di jiwaku

Aku jaring kenangan sambil menyelam di musim penghujan

Sementara aku bertasbih pada senja, meski ada luka yang lebih perih dari kehilangan

Menangislah burung-burung malam, sebab kelam

Ingatkah waktu bulan membayangi tubuh kita?

Suara-suara hatimu begitu mendayu

Ternyata kita saa-sama mencintai puisi

Namun cahayalah yang jadi iman kita

Di pantai debur omba meraksasa

Jadilah irama, saat Adam bertalu-talu di langit, khusus menenun reruntuhan

Menciptakan irisan paling rahasia bersama pasang dalam gelombang

Menjalarlah perih

Bagai sayatan belati yang dibasuh asin garam laut payau

Betapa ingin aku memelukmu

Mengratikan gelombang

Dalam kalimat cintaku yang dalam

Pasir di pantai adalah sajak beriak di matamu

Maka meledaklah dadaku

Jadi bom waktu

2008

LAST OF MEMORIEZ

Sepanjang kaki kita melangkah, betapa langkah ini lelah

Sepanjang kita ngungkung, betapa hari kita terkurung

Sepanjang apakah kiranya kenangan?

Sebab hanya daun-daun layu, menguning dalam ranting

Dengan cara apa aku menulis sajak di jendela

Saat kata-kata mirip anak-anak lugu

Yang menggigil

Aku menyapamu

Dengan wajah kaku, kekuatan merajalela jadi peperangan teramat dingin

Menjadi serupa anjing, mengendus-endus di jalan, liar dan berliur

Sepanjang apakah jalan yang akan kita kekang?

Sebab hanya daun layu berguguran sepanjang waktu

2008

BUKAN TANPA SEBUAH ALASAN

Di tepi pantai aku baca laut pasang

Dan gelombang bergulung-gulung seperti gelisahku hari ini

Bukan tanpa sebuah alasan, saat aku saksikan satu-satu bahkan seribu anak-anak berguguran di pantai, aku hanya diam

Ketika gunung menikam langit

Langit mengutuk laut

Lalu sesuatu pecah seketika

“Praaak!”

Dan aku lelah…

Memahami debur rindu yang tak selesai kumaknai dalam catatan-catatan di dihidupku

Bukan tanpa alasan

Saat nyeri seolah-olah berdatangan jadi tragedi

Saat nyeri sesekali jadi wujud dirimu yang berlintasan di garis mimpi

Adakah kerikil, kabut dan asap begumpalan di angkasa?

Seperti kemarin

Aku menemukan perasaan-perasaan ambigu

Bukan tanpa alasan aku baca sudut hatimu saat gelombang begitu sering kita kenang

Sementara di kebun, di tempat kita menanam kehidupan

Segaris musim juga waktu yang terus menerus mengalir

Adalah rahasia-rahasia milik kita

Meski, bukan tanpa sebuah alasan…

2008

3 SAJAK BESTARI

1

Sungai,

Bebatu merindu

Garis-garis daun

Di batang peristiwa

Adalah aku

Bestari

Lelaki yang tak ingin berhenti

Mencintaimu dalam segala ketidakmungkinan

2

Bestari!

Jingga di dadamu, dada kita

: Kutuk sahwat

Menepilah,

Hingga kulewatkan

Segenap

Dendam sumpah serapah

3

Maka berjejaklah bibirmu

Setiap hari

Selepas magrib

Untuk sekedar mimpi

Berdua saja

2008

MENGAPA HARUS SEPAGI BUTA KITA SESUCI

Demi bumi di kaki :

Terus menerus

Aku gilai kau dalam temaram cahaya bulan

Meski ada luka yang kita balut lalu membekas

Beri aku senjata,

Dengan sekantong mesiu

Ketika dadaku dilingkari naga sakti

Dan aku tak pernah peduli

Lalu pergi, sambil melesat ke batas cakrawala

Tempat paling dalam yang katanya bijaksana

Mengapa harus sepagi buta kita sesuci

Ketika ajal berloncatan dari kantung waktu satu persatu

Begitulah terus menerus saling berebut jasad

Lalu pada siapa kita mengadu, menukar segala kepenatan yang begitu menghantam jiwa

Dan aku tak akan pernah peduli

Menggilaimu dalam temaram cahaya bulan

2008

AKU TAK BISA MERABAMU LAGI

Aku tak bisa merabamu lagi, kekasih

Wajahmu yang begitu gaib

Diantara hentakan-hentakan peristiwa. Mengirisku

Air dimana api?

Langit dimana matahari?

Sebab telah penuh tubuhku dengan candu

Menepilah, walau satu jenak

Dan ceritakan tentang batu dihatimu

Api dimana cahaya?

Cahaya dimana ruang?

Saat tak bisa kuraba lagi kenyataan ini

Sementara aku hanya ingin mendengar sesuatu dibalik tanganku

Suara-suara kecil mirip angin yang dilepas musim

Ketika sepi yang kita pesan begitu mengkarat

… aku tak bisa merabamu lagi perempuan

Namun berkali-kali rindumu menikamku

Rindumu menikamku

2008

JAKARTA PADA BULAN AGUSTUS DI TAHUN 2005

Saat itu aku datang membawa seribu gelisan, sebuah kota:

Jakarta seolah-olah wajah tua yang mempesona

Kakinya tiang-tiang pancang menjulang

Lidahnya kalimat-kalimat discovery

Isme-isme, obituary, teknologi, gelombang pasang

Entah apalagi

Aku tak mengerti

: Tak punya pegangan

Saat itu aku datang membawa seribu gelisah, sebuah kota:

-- Jakarta entah tahun berapa--

Jalan-jalan panjang dan berisi

Orang-orang berlarian menuju tempat kelahiran tak bosan hilir mudik

Di jalan raya, terminal antar kota, ststiun, pelabuhan, bandara dan sebagian tinggal dalam rumah petak

Menghitung biaya kemungkinan dengan lembar kusam di balik mimpi

Aku membaca waktu pada tiga bola lampu

Merah kuning cintaku terbakar

Tuhan, Engkau begitu panda memberiku warna

Saat langit kaku dengan bentuk cuaca

“Citius, Altius, Fortius”*

Aku malah menepi di ujung jalan

Menunggumu sambil mabuk alga

Lalu lenyap tak berkata apa-apa --Jakarta--

2005-2008

*Slogan yang terpasang di atas jalan Menuju Gelora bung Karno (Senayan)

PUISI-PUISI

R. DHARMA SAGARA

Riyadi Dharma Sagara

Lahir di Tasikmalaya, 1 Januari 1984. Tinggal di jalan Siliwangi No. 460 Tasikmalaya (Hayan Celular). Aktif di SST (Sanggar Sastra Tasik) dan SSSI (Sanggar Sastra Siswa Indonesia). Puisinya sering dibacakan di radio Martha FM Tasik dan Cakrawala Sastra RSPD Tasikmalaya, juga di buletin Puitika dan koran Priangan.

BANGKITKU DARI SUNYI

Sebelum terbit fajar

Masih kuratapi langit di wajahmu

Bulan nyaris kehilangan cahaya

Saat kuncup mawar tengadah dalam gelisah

Lihatlah aku

Sendiri di puncak sunyi

Tangisku adalah duka

Sehelai daun kering

Yang dilupakan musim

Bangkitku dari sunyi

Dari penantian panjang

Sepucuk rindu nyaris disemayamkan

Dari ranting jiwa kering

Meranggas penuh harapan

Lihatlah aku

Sendiri di puncak sunyi

Menanti terus menanti rindu tak bertepi

Tak perlu kau sembunyi diremang cahaya

Aku tidak sedang mabuk, kali ini

Aku memahamimu lewat kekhusuan dzikir

Doa-doa bergemuruh di dada

Tak ada dendam

Tak ada penghianatan

Meski luka terasa ngilu di ulu hati

Meski rindu membatu diparuh waktu

Biarlah kunikmati sujud kali ini

Diantara sunyi menikam ruh sendiri

2006

PUSARA AIR MATA

Gerimis turun rimbun ilalang

Tatapannya begitu dingin

Tersentuh angin

Terlalu dini kau ucapkan rindu

Jalan masih lengang

Dan burung-burung masih di sarang

Aku sembunyi di remang cahaya

Bersama wewangian kemboja

Di pusara air mata

Kubiarkan jendela terbuka

Hingga luka dan derita menguap

Bersama embun ke langit

Kulihat dedaunan merunduk

Penuh kerendahan jiwa

Barangkali kita lupa

Sebuah keteduhan

Yang akhirnya harus kita maknai

Sebelum waktu meranggas perlahan

SERULING DALAM HENING

Sungguh, kata-katamu mendustai cinta

Menyekap kesetiaan yang tumbuh

Diantara kelukaan tubuh

Pahamilah

Rintihan seruling dalam hening

Mengalun nada-nada resah

Tentang keadilan yang musnah

Atau cintai yang raib

Diantara kepercayaan yang didustakan

Di langit kekelaman kabut

Seperti menawarkan maut

Bagi setiap langkah tak berarah

Dimana tangisan bunda

Tak mampu mensiasasti Tuhan

Ataupun merujuk malaikat di pekuburan

Sebab cinta telah menjadi bara

Di hati terluka

2003

NAPAS RINDU

Aku akan bercinta malam ini, kekasih

Seandainya purnama terang di kota harapan

Aku akan memelukmu dengan cinta

Seandainya sebilah belati

Menghunus ke jantung birahi

Dan kain kafan pembalut luka hati

Pada sebuah negeri

Aku akan bernyanyi

Melantunkan desah padamu negeri

Mengalun bagai dzikir membasuh sukma

Pada sebuah doa

“Napas rindu berhembus melebar Merah Putih di cakrawala hati”

2003

TAHAJUD

Sujud di puncak malam

Kubisikan rindu lewat bait-bait doa

Tak henti dzikir terus mengalir

Di-ini malam sesunyi hati

2007

MAWAR UNTUK BUNDA

Biarlah mawar itu tumbuh di taman hati

Hingga mekar merimbun mewangi

Kupetik kuncup dan kukecup

Kuselipkan di telinga

Biar kasih mekar di pelupuk mata

2005

DOA

Diantara sunyi

Masih kusebut namamu

Diantara luka

Masih kusebut namamu

Di bait puisi

Masih kusebut namamu

Semoga kali ini rinduku

Sampai padamu

Amiin

2006

SURAT BUAT BAPAK

Daun-daun telah menua

Serupa uban di rambutmu

Sebelum terlambat

Sarungkanlah belati di hati

Sebelum mimpi menjadi luka

Biarlah harapan itu mekar

Bersama kuncup senja

2005

AKU TERKENANG WAJAHMU

Aku terkenang wajahmu di beranda itu

Diantara barisan bunga-bunga beraneka rupa

Kau adalah kuncup semekar mawar

Senyap merayap dinding hati

Napas angin terasa menikam ruh sendiri

Aku terkenang wajahmu di beranda itu

Saat kau lenyap bersama bayang purnama

Di pelupuk mata

Semoga kau tidak menjadi binal

Atas keliaranmu di padang birahiku

2006

DEMONSTRASI NURANI

Adalah kerinduan

Menaruh nurani dalam sunyi

Dan membiarkan tubuh rebah dalam gelisah

Di langit bintik-bintik cahaya

Menaruh getar di mata

Dan angin menebarkan dingin

Di sekujur amarah membara

Aku seperti camar

Kehilangan paruh di lautan keruh

Terus mengapung di ketidakpastian mimpi

Berikanlah cinta

Bagi mereka yang lenyap direngkuhan bunda

Agar merindukan kedamaian hati

Adalah kerinduan

Yang menjadikan aku maut

Menjadi pecut bagi otakmu yang keriput

Tak perlu menjadi danau

Bagi dahaga kemarau

Aku datang lemparkan nurani ke muka Tuan

2003

Di KAKI GUNUNG GALUNGGUNG

Seperti tak ada gelisah di lorong sunyi

Sungai-sungai mengalir tenang

Angin menyentuh ramah dedaunan

Sedang mata nyelinap keheningan cemara

Menapakan kenangan usia

Di kerentaan galunggung dan hamparan sawah dihari

Masih basah dedaunan

Saat kau tebar cinta di lumpur jiwa

Tempat bocah menundukan wajah

Saat panen digelar, meriah

Tarian dan nyanyian pengembala

Mengusik burung-burung

Kepakan rindu dikerahasiaan kuasa

Di kaki gunung galunggung

Orang asing terasa keramat di puncak batin

Menaruh keimanan diwewangian dupa

Setumpuk sesaji di bebatuan dan pepohonan

Mencari Tuhan yang kesepian

Kadang tak kupahami semua itu, kekasih

Kembang edelwis simpan keabadian

Sembunyikan rahasia dipusaran kawah yang tenang

Sesekali kabut puncak mengepung kampung

Dingin sedingin puisiku yang kesepian

2002

ANTARA KAU DAN AKU

Antara kau dan aku

Seperti pohon kemboja busungkan dada

Di bawah rimbunan rumput-rumput liar

Memagari seonggok tanah tua

Seperti itu juga sepucuk mawar merah di hatiku

Masih segar mewangi mengelabui bau keringatku

2002

BAYANG-BAYANG SUNYI

Perlahan ia meredup dalam bayang sunyi

Seberkas kesetiaan purnama

Mengekalkan keteguhan cahaya

Tiba-tiba ia meruncing menjadi belati

Mengoyak ketidakpastian mimpi

Menikam keresahan birahi

Bahkan memahat taubat

Di setiap sujudku

Angin bisikan ajal dikehidupan terjal

Sambil menabur kemboja dilamunanku yang tertua

2002

PENANTIAN UNTUK NUR

Lalu, cahaya itu merambati redup hati

Mensiasati bintang yang meramal kegelisahan

Nur,

Kau sembunyi di kerahasiaan malam

Telah kutitipkan cinta

Lewat kekhusuan dzikir

Menembus kefakiran sukma

Nur,

Dalam ketidakberdayaan

Kembali aku menyusuri sunyi

Meski memahami-Mu adalah penantian tanpa henti

2003

DIALOG SUNYI

1

Demi cinta

Kuterkam langit hati

Dan tak terhayati kekasih

Kecuali sunyi

Lolongan serigala centil, mati

Mengusung birahi di belantara sunyi

2

Gemuruh rindu menggertak kalbu

Aku serpihan nada kasih

Di jiwa tersisih, merintih

Memecah sunyi

Karena sunyi hidup terasa mati

Hidup terasa mati

2003

DUKA SRIGALA

1

Kau dan matahari

Di balik bukit adalah samar

Cahaya kekuasaan yang kau taruh dimata

Tak lagi menerangi hari

Srigala

Kucatat kau dalam cerita

Sebab taringmu menancap di leher INDONESIA

2

Srigala-srigala renta

Bersarang di tubuh kota

Tempat ibu pertiwi menanti buah PROKLAMASI

Senyawa darah dan air mata suci

Ranting-ranting jiwa kering

Berjatuhan duka di ladang gersang

Ibu pertiwi menjelma domba bagi serigala

Ibu pertiwi menjelma boneka bagi penguasa

“Kekasih bahkan kita domba di pinggiran kota”

2003

KERINDUAN SETENGAH DARA

Untuk de Rahma

Membedah senyuman dari pucuk rindu

Butir matahari memecah kelopak jiwa

Dari dahan cemara rupa cahaya lenyap

Mengakar doa menimbun derita sukma

Kerinduan setengah dara

Memisah kecintaan dari kegelisahan jiwa ini

2003

KEMBOJA

Lihatlah, kekasih

Kemboja bermekaran di bukit senja

Merindu di batang usia

Aku merunduk duduk

Menunggu giliran di batu nisan

2007

PESAN TERAKHIR BUAT BUNDA

MAUT

Sepasang matanya begitu tajam

Mengintai sisa usia

Semilir angin hembuskan hasrat :

Bunda, pahatkan nisan untukku

Dengan ukiran kesabaran

Dan kafani aku dengan sehelai kesederhanaan

Biarkan kemboja

Tebarkan wangi saingi bau busukku

Bunda, bila maut mencari aku, tawarkan sunyi

Jangan kau suap dengan air mata

Ia dari langit

Katakan:

Aku lama menunggu, hasrat ingin menjamah surga

Hingga rindukan seribu bidadari janjikan cinta abadi

2002

SELEMBAR DAUN

Daun-daun bergerak perlahan

Ngikuti arah angin dalam dingin

Satu persatu meranggas patah

Terkapar mimpi di hamparan sunyi

2005

TSUNAMI

Ternyata keteguhan karang

Tak mampu menahan amuk gelombang

Laut telah menjadi maut

Diantara isyarat ombak

Tersimpan rahasia

Yang kubaca

Lewat desir angin

Di hamparan pasir

2005

SERENADA CINTA

Berawal dari kilauan embun pagi

Yang terlukis dari danau matamu

Kauhadirkan kesejukan di hatiku

Semoga abadilah kekasih

Seberkas senyuman yang tersirat di wajahmu

Mampu membiaskan kerinduan yang menikamku

Semoga abadilah kekasih

Kesempurnaan perahu cintamu

Yang terus mengarungi samudra hari

Bersama angin dan gelombang asmara

Kauhadirkan buih kesetiaan

Semoga abadilah kekasih

Setiap hembusan angin kesabaran

Setiap tetesan embun keyakinan

Akan bercerita dari setiap uap-uap kesabaran

Hingga putihnya awan-awan kehidupan

Kekasih

Kita adalah kembara yang terlahir dari rahim waktu

Kita adalah kembara yang bernaung di cakrawala

Kita adalah kembara yang haus aroma keabadian

2002

HIDUP

Hidup

Adalah detik yang berdetak

Terus berputar antara cinta dan derita

Hidup adalah penantian

Hidup adalah harapan

Hidup adalah detik yang berdetak

2005

BAGIKU KAU ADA

: Wahyu Djayadisastra

Telah kutampung air mata di ujung senja

Sehabis gerimis sisakan tangis

Sementara wangi kemboja

Telah mengantarmu ke pekuburan

Bersama tabur doa-doa

Di pusara air mata

Bagiku kau ada

Diantara rerimbun kenangan

Terpahat di batu nisan

Pahamilah Tuhan tak pernah dusta

Untuk sebuah keputusan

2007

RINDU SEPASANG MERPATI

Biarkan aku bernyanyi

Tentang rindu sepasang merpati

Bertengger di dahan-dahan mimpi

Sehabis gerimis sisakan pelangi

Biarkan aku bernyanyi

Dengan lirik bungan matahari

Bermekaran di taman hati

Kupersembahkan nyanyianku

Sebagai ungkapan rasa

Memahamimu adalah muara hati

Muara yang tak sempat kutemui

Muara tempat menepi keresahan mimpi

Dan akan kucari meski kesudut paling sunyi

Biarkan aku bernyanyi

Sebelum angin menjemputku perlahan

2006

SYAHADAT

Kuikrarkan dalam hari

Meski sebatas lisan

Kuikrarkan dalam perbuatan

Meski sebatas kemampuan

Asyhadu an-laa ilaha illallah

Wa asyahadu anna muhammadar Rosulullah

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah

Dan aku bersaksi bahwa Muhammad SAW

Adalah utusan Allah

2006

PEREMPUAN

Kukecup kuncup mawar

Merekah sayap di kupu-kupu

Di bibirmu

Embun turun dari langit

Bening menggenang

Serupa cahaya

Di matamu

Aku teringat warna kenangan

Tergerai terurai

Di rambutmu

Adalah kau mengusung mimpi

Di belantara hari

: perempuan

2006

KOTA TANPA BUSANA

Akhirnya kutemukan kau

Kota tanpa busana

Di tengah gemerlap lampu disko

Di singgasana gelak tawa

Dengan tubuh mungilnya

Kau lempar selendang dan kebaya

Berjalan lenggak-lenggok

Dengan irama blues dangdut rock

Sementara di lorong-lorong sunyi

Terkapar bayi lapar

Dalam derita digigil cuaca

Hanya malam sembunyikan cerita

Di jalan setapak ini

Aku tak henti menghentakan kaki

Menunggu waktu berputar

Kemasa lalu

ACEH

Reruntuhan air mata di tanah berdarah

Pelor-pelor melesat secepat kilat

Kata-kata kehilangan irama

Diantara luka memerah amarah

Itulah Indonesia

Satu bangsa satu bahasa

Kontak senjata

2005

DI PERSIMPANGAN JALAN

Tak kuasa kuberlari

Atau sembunyi dari kuasamu

Luka ini terlalu dalam kupendam

Harapan ini terlalu lama kunanti

Tangan telah lelah tengadah

Kaki telah lelah berdiri

Apa yang kucari

Di setiap tikungan

Langkah ini tak juga menepi

2007

PUISI-PUISI

NI GUSTI RAHAYU

Erni Agustin Rahayu. Lahir di Ciamis, 10 Agustus 1986. Tinggal di Jalan Panumbangan No.094 (Splash Multimedia)

RUMAH

Selalu ada rindu terapung

Diantara sungai-sungai keruh

Pohon-pohon tumbang terkapar mati

Serta berdamai dengan gundah

Selalu ada tempat

Buat mengais dan merebah tubuh yang beku

Dan kita berpesta ria dalam hening

Tertidur untuk kembali mencari penawar

Antar aku pulang

Kembali dan bernyanyi membawa resah masing-masing

Membersihkan badan habis bermain lumpur di kali

Meninggalkan dosa di atas jerami lembab

Menanggalkan kekosongan dari ruang penat berjeruji

Rajutkan mimpi untukku

Buat membunuh setan-setan ketidakberdayaan

Aku mau pulang

Mencumbu wangi lumpur kering di bulan Oktober

2008

TENTANGMU SAJA

Katakan sesuatu padaku

Satu hal saja

Terserah apa katamu

Aku mau mendengarmu saja

Tanpa mau beradu nasib dan takdir

Aku tlah lelah menimbang masaku

Kau tahu aku terjepit diantara penat dan pekat

Jadi lupakan saja tentang hantu-hantu bertaring

Mayat-mayat hidup yang menjadi ganas

Hingga penantian tentang bintang-bintang jatuh

Kita bicara tentangmu saja

Apa saja

Dan aku akan dengan rakus membelenggumu

Biar kau tak pergi dan menjadi liar

Tak perlu terburu-buru menjadi cemas

Aku tak akan nekad membunuh gerakmu

2007

BERKARAT

-catatan di sebuah bangunan tua yang hampir roboh-

Lelaki,

Kemana rentang yang dulu menggapai

Kemana selalu gelak sepi melenguh dan mengalun

Menindih hingga merintih tanpa bergeming

Mengintai malaikat bersayap toska

Namun jingga mewarnai hari-hariku

Bunga-bunga aster yang kutanam di rawa-rawa

Mengakar dan merambat liar melilit tubuh

Memilin dada hingga napas memburu watu

Tumbuhan jeruju beranak pinak namun sulit menjinak

Aku terpental, terpelanting kuat saat kutingkahi diam

Saat kuterbangun sudah tak ada lagi dongeng yang dapat kuceritakan

Kunadai dawai biola hingga mesti menodai arahku untuk mengusik

Mengawetkan bentukku yang nyaris hancur

Tanpa harus menjadi kainofobia akan merahnya neraka

Lakukan saja sesukamu, Lelaki

Karena hanya janji yang membuatmu harus mengingkar dan mengikrar

2008

ESENSI

Menutup kedua mata untuk membaca nasib

Meraba sendi-sendi

Tubuh kurus terbungkus nyawa

Terkadang aku mengutuk diri

Memaki, mencakar

Mencabik-cabik obsesi

Dan satu kebohongan besar

Kurobek jantung hingga tergenggam detak kemunafikan

Lidah-lidah di sekeliling menyerakahi

Dunia yang tinggal mengantungi cerita bualan

Mencoreng dada sendiri

Buat mengukur daya milik masing-masing

Kebebasan mengambang kaku, bumi terbahak

Dan sengketa hak dan moralitas terus menderu

2007

BANGKU TAMAN

Hutan akasia memagar ruhku yang limbung

Ia mengajariku tentang bagaimana menghitung rumus-rumus usia

Sementara kau berkejaran dengan mega

Berdansa dengan laut dan pasir putih

Bangku taman ini menghadap ke barat

Dimana matahari mengucapkan selamat pagi pada dunia

Dan kau selalu beranjak menepis rumah-rumah senja

Yang menjanjikan surga dan harapan

Atau wujud mimpi-mimpi bocah yang menggemaskan

Daun-daun pohon sebentar lagi kan mengering dan berguguran

Ranting dan dahan merapuh dan patah

Hingar bingar dan berontak kan terlelah dan menjadi jinak, lalu tertidur manis

Apakah kita kan terus bersenggama dengan rotasi waktu?

Ah, kita terkurung dalam satu bedjana kosong saja

Tanpa berbekal peluru dan rudal

2008

BAHASA YANG TAK TERBAHAS

Entah kapan, dimana dan bagaimana

Satu epilog kan lagi terlahir

Dan kata tak lagi menjadi bahasa pengungkap yang tepat

Karna semua yang terlontar hanya menjadi paradoks

Rasanya aku tak mampu paham

Dalam diam aku tetap memaki

Berupaya menyahuti puisi-puisi tak tersampaikan

Kita tak akan sampai jalang

Namun kita terlanjur manjadi sampah

Dari sebungkus kredo yang tanggal

Tetaplah berdiri menapaki jejak-jejakmu

Sebab aku tak akan lari tunggang langgang dan sembunyi

Kita berdialog saja seperti nasar dan langit

Meskti kita tak saling mengerti, tentang benak kita sendiri

Apalagi sekadar mampu membahasakan isyarat

2008

MATI DI TANGANMU

Detik ini juga aku kan menjadi mayat

Dijemput Ijrail yang menunggu tergesa di depan pintu

Detik ini juga aku kan bergegas

Berbenah tubuh untuk segera dikremasi

Dan kau bergelak saja merangkai untaian katsuri

Lengking terompet mengeruk jantung yang berselaput

Derai-derai doa meleleh

Menyatu dengan lendir dan air mata

Kupikir kau tak bergeming menatap mayatku barang sebentar

Malah gegau yang kudapat karena tasbihmu bermakna sumpah serapah

Aku mengernyit menghisap bangkai mayatku

Serta kecubung yang kau tanam di samping pusara

Lagi-lagi kau menggasakku dengan celoteh serta bualan

Kau bilang aku gasal untuk bisa sempurna

2008

KEMBALI

Sage-sage menyulam rindu dimatamu

Merayu purnama yang singgah di puncak gelisah

Menghantar kepergian dari sisa-sisa harapan

Namun, Bunda. Tetaplah mendongeng untukku

Layaknya sedia kala

Kita menyusun dan memulai lagi

Dan Engkau ceritakan aku tentang “Si Kancil”

Bukan berkoar tentang hidup, harta dan tahta

Maka panggil aku “Si Kecil”

Lantas aku ingin bermanja saja di pangkuanmu

Nah, esok kan kudapati pelangi melintang di cakrawala

Aku akan kembali berlari mengejar burung-burung perkutuk

Menembus ruang-ruang kelam yang menyeramkan

Mengirim kembali dongeng-dongeng klasik menjadi doa

Dan kusemai mimpi pada renjana

Bunda, rumah kita telah berpindah

Di sebuah padang tempat kita berjemur tubuh dulu

Sungai-sungai jernih dan kebun kemukus

Mengubahnya menjadi kenangan hari ini

Tapi, Bunda. Kita kan membangun lagi

Di tempat yang lebih teduh tanpa batas

Di atas awan tanpa tandas

Di atas nirwana tanpa alas

2008

APOKALIPSA DALAM RUHKU

Aku tak lagi mampu mengartikan kesunyianku

Wujud-wujud kaku di sekeliling terus berjalan terburu-buru mengitari waktu

Jabang-jabang bayi terlahir dan bersimbiosis

Mereka lalu tertawa

Mereka bahagia

Mereka menari sepanjang waktu di jalan-jalan sempit

Apa yang telah Tuhan jatuhkan kepadaku?

Menanam ruh pada wujud yang tak abadi

Menginggalkan sepenggal renungan untuk dimengerti

Kau beri aku ladang untuk kutumbuhi arti

Bagian mana lagi yang layak kutandai sebagai iman?

Aku tak menanam apa-apa di ladang

Hanya menggali tanah-tanah kering

Mencari sesuatu yang dapat kumakan dan kutelan

Beri aku ladang yang baru, Tuhan

Untuk kutempati cinta dan harapan yang hidup

Bukankah masih ada waktu meski sedikit?

Biarkan aku merangkak, berjalan tertatih-tatih

Meraba-raba urat nadiku sendiri untuk kupastikan bahwa aku belum Kau panggil

Dan setiap jengkal ruhku adalah ladang kosong yang tak sempat kugeraki

2008

GELAGAT HUJAN

Sepi terkadang menakutkan

Lalu berkontaminasi

Dengan gemuruh yang membunuh

Curah hujan berlagu dan merintih

Berdialog dengan petir sebagai prolog

Ceritakan apa yang telah berlalu

Bukan bermimpi dan hanya memeluk lutut

Redakan ambisi yang mendewa

Karena kita tak butuh satu-satu

2008

ENYAH

Cintamu dalam genggaman api

Remuk dan gugus disentuh badai

Lalu aku ingin enyah dari segalanya

Aku merayap ke tepian

Aku melumati bentukku

Saat-saat yang tak bisa kulalui dengan pasti

Mempersiapkan peti mayatku buat kusudahi

Aku terobos monumen kelam dalam peristiwa sakral

Tak perlu berkata-kata

Kita tak mampu mengendalikan bahasa bibir

Mega merah, payungi aku

Mencari sisi-sisi temperamen pada gundah

Dan lenyapkan aku dalam rangkulanmu

Buat membantai tokoh-tokoh sepi tak bernyawa

2007

FRAGMEN INI TANPA JEDA

Fragmen ini tanpa jeda

Berjalan, bahkan berotasi mengikuti arah matahari

Buat apa mencari yang dinanti

Kita tak pernah mau berhenti untuk bertepi

Mereda dan terdiam

Mengambil nafas sejenak buat menggali tenaga

Kita akan berjalan lagi

Lurus saja, abaikan tikungan

Jangan mau tertipu kabut

Ketika diri menampik semak-semak

Jangan lagi menyudahi satu peristiwa

Ia kan selalu ada buatmu

Menidurimu setiap malam

Lalu kau cuma terkapar tak berdaya

Sembari menggak pil pahit sebagai pengganjal sakit

Ada banyak ranjau di sekelilingmu

Yang kan menghanyutkanmu

Untuk melahirkan satu ending

Dan kau terjebak oleh ceritamu sendiri

2008

DI JALAN MENUJU KOTA

Aku terpaku

Lalu terdiam hingga demikian hening

dalam keheningan terdalam

Hingga tubuh sedemikian mati rasa.

Dan aku berlutut menantang kekosongan

dari sebuah kepergian dan kehilangan.

Di jalan menuju kota

Ia pergi, ya Tuhan...

2008

BIMBANG

Mungukur waktu

Biar tak jadi bubur

Aku tak bisa bernafas

Gelora tuk berpikir jadi tandas

Hilang terbang begitu saja

Tak sempat meninggalkan jejak biar tak terlupa

Jiwa hanyut tergilas

Mengaduh serta senandung angin membelai perih

Cemas, hendak dibawa kemana

Lari pun seakan tak punya kaki

Rasanya kegilaan ini kian menggila

2007

KEMANA KITA MENDARAT

Kita terpisah jauh

Dari tujuan kita menuju bukit dan rawa-rawa

Bermuara untuk menemukan lautan dan pulau

Menerka matamu

Membaca gerakmu di kegelapan

Firasat terkadang membodohi diri sendiri

Aku sulit tidur

Mataku nanar

Tetapi mimpi tidur selalu menakutkan tentangmu

Gusar membadani sejukur tubuhku malang

Aku hanya dapat sembunyi muka

Mengambang gelisah di catatanmu

Aku bosan berdebat sengit dengan murka

Nyanyi riuh tetap terdiam dalam bangar

Kulihat kau berlari menyeruak hutan

Lalu sengaja menandai tanah dengan jejakmu

Tak peduli datang dan berlalu menjadi ritual sepi

Aku terpaku

Aku ingin berteriak memanggilmu

Tetapi aku selalu takut kau tak menyahut

2008

SUATU HARI DI PESTA LALU

Elegi tlah renta

Sayap-sayap terbang dan mengganas liar

Di atas sajak tanpa kata kita menyembunyikan suara

Arti dan kenangan menjadi rongsokan

Orang tua bermimpi kembali menjadi anak-anak

Inikah senja?

Inikah hari esok yang menakutkan?

Rupanya tak setinggi luka yang kulukis di taman bermain

Upaya dan hasrat mengkaji masa yang mendebarkan

Teriakan bar-bar berdaulat tentang anak-anak kita

Kembalikan apa yang hilang dan menua

Buat menjarah peta-peta yang melapuk

Suara kita tinggal membelasut dan merintih doa

Menganjing gila lalu lenyap dibawah air mata durja

Akankah lagi ada?

Bunyi-bunyi meriah dalam pesta megah

Tempat kita dahulu datang untuk segera kembali

2008

SELINTAS WAKTUMU TIBA

Aku telah menepis senyummu yang tawar

Adalah sebentuk kepergian yang hampa

Mengakhiri cerita-cerita konyol dan babil

Yang katamu kita baru saja sampai pada porosnya

Belum pada intinya

Aku gamang memikirkan nasib

Aku resah memikirkan satu perkara

Kita tak sedang bermain-main

Aku pun tak sekadar meniup seruling perak

Buat menutup lara dan nestapa

Karena semua memulai bukan untuk mengakhiri

Namun ia datang sungguh tiba-tiba

Bembuyarkan satu segmen yang belum sempat kupahami

Dan ia gantikan aku meniupkan sacsofone

Membuka layar baru

Untuk menutup babak yang belum tuntas

Lalu biarkan aku bercumbu dengan kata-kata saja

2008

PERTEMUAN

Kita kembali bertemu di taman ria

Lantas kita tak saling menyapa

Membiarkan diam menjadi pelarian yang tepat

Atas perpisahan tanpa mengucap sumpah

Akibatnya kita saling menggertak dan menyepi

Garis pelangi melukis senyum pada persada

Tanah lembab mengarahkan jalan padaku

Bagaimana aku mesti memantapkan kaki

Untuk bergerak meracik kenangan lama

Karena kini jalan-jalan setapak tlah menjadi lebar

Saat ini aku ingin mengunci kakiku biar tak bergerak

Aku tunggu kau gerakkan lonceng-lonceng hingga bising

Dan nyalakan lentera bila kau tak temukan wajahku di kegelapan

Sehabis itu aku kan membuka suara

Seperti dalam sebuah simposium tak bergeming

Biarkan aku mengembara menjadi minstril

Di tempat-tempat kelabu pada negeri simetrismu

2008

KALEIDOSKOPI HUJAN

Hujan, hujan, hujan mengamuk

Menghujam rupa-rupa abstrak di atas pasir

Aku pecah sebagai gambar-gambar maya

pada sebuah kaleidoskop

Pupus lalu terhampar jatuh pada kubangan

Rinai duka pada tiap tetes mengisyarat gerakanku

Di lorong-lorong gelap dan tersembunyi bernama jiwa

Mengejekku tentang nurani yang berapi

Kita sendiri adalah ranjau

Aku tak akan mati sebagai simbol batu karang

Kematian bagiku adalah sampah

Hina dina menjadi awal terkuaknya kecongkakan

Aku terjatuh dan mati suri

Angin dari selatan menunjukkan jalan padaku

Kita tak akan tersesat untuk kembali

Tegaklah pada sebuah menara

Karena hidup mengabdi dan mengabadi

2008

KORIDORUMASAKIT

Mantra-mantra membelenggu

Menyekap resah pada langit-langit pucat

Detik-detik bagai milyaran keping puzle tak tersusun

Mematikan gerakku, mematahkan suara untuk memanggil

Kesabaran tlah tersudut menjadi jelaga

Bangku-bangku kosong berceloteh bengis dengan udara

Air muka nanar memangku berat pada seragam putih

Adakah jawaban?

Adakah harapan?

Jangan katakan hal apapun

Kita tak mau menyoalkan kematian

Habis ini berkejaran saja dengan nyawa

Berdansa dengan malaikat biar malam tenggelam

2008

MASA

Ada rindu menjadi lumut

Dalam kaca aku ingin pulang

Kembali berdahulu kala

Berkereta layang bersama tawa-tawa

Berbagi lelah dan janji esok

Harapan dan mimpi para bocah

Berbaur dalam kenyataan tentang rindu di belahan masa

Dimanakah hari itu kan kembali tumbuh menjadi embrio?

Ketika para pemilik kaki-kaki telanjang menari menggilas lumpur

Berkejaran dalam sunyi

Deru dan lagu kebangkitan tinggal bungkam mendewa

Momen ini tinggal sejarah mati

Berwujud nyanyian hilang

2007

PULANG

: Gerimis menukar janjimu

Dengan penantian penat

2007

KATASTROF

Pagi mengikat senja pada catatan cakrawala

Mengulas biru dari merahnya luka

Mencabut peluru dalam daging

Ini hari kan jadi klimaks

Duka yang kubawa jauh dengan ambisi

Melaknat dosa yang mengakar

Sepanjang tebing mengais tubuh penuh duri

Izinkan muka membenah tubuh

Biar malam terlupa untuk pagi

Lusa ingin kudapati hal yang sama

2007

PELARIAN

Langit meredam murka

Aku melayang mencari tapak

Dimana papa?

Ada bendungan di sisi kali

Tubuh ini hendak tenggelam

Terhuyung terbebas tak berpegang tali

:Sebab yang kupunya hanya tubuh satu-satunya

2007

TEPIAN

Di dada tersemat belukar

Menumbu sebait asersi

Menumpah gejolak

Untuk segera mencari

Jati diri yang jadi benalu

Lelah bertahan

Teromabang-ambing di tengah samudera

Menumpuk harap hingga membusuk

Pada tidur terus terjaga

Agar tak terlupa

Bahwa aku masih mengangankannya

Waktuku tak lama

Namun jalan setapak ini kian berkelok

Memperlambat laju

Untuk mencapai tepi

2007

MUKA-MUKA

Muka-muka mengambang pada lumpur

Mengunci diri buat sembunyi

Hindari matahari menganga ganas

Biarkan diri membeku

Melahap dosa biar jadi beku

Senyum sendu wanita binal

Banci-banci berdaulat dengan topeng kemunafikan

Di bawah lampu samar kerlap-kerlip

Mengadu pada jalanan penuh ranjau

Bermimpi janjikan tempat berteduh yang layak

Dari suramnya malam berkabut

Pula menepis kebenaran jadi kosong

Akankah mampu membungkam libido lelaki gelap

Ciptakan dunianya sendiri dengan menghitung bintang

Arteri menipis terkikis

Memaksa ramaikan gundah yang mengepul

2007

DIPUNCAK USIA

Malam makin dalam

Suara-suara mematung bagai kalap

Tepian usia menggantung kaku pada jam beku di kamar

Sementara gelap terasa bernyawa

Waktu menggamit luka

Didesak kesunyianku sendiri

Dan mimpi jadi candu

Ingin kujejaki sampai puncaknya reda

Bersama kelakar bulan mengantuk diam di cakrawala

Bukan tak mampu mendendang sajak

Dasarnya tanah tak sedasar jati diri manusia

Sama pula debu tak lebih memikat angin

Begini sama rasanya menulis kembali cerita

Tentang hujan deras mengguyur kota denganmu

Putaran bumi berbunyi mengusik

Kini aku mulai menyusun

2007

DAN MANUSIA

Berjalan di bawah senja murung

Terus menapak pada seluas darat terhempas

Dan manusia

Manusia

Manusia

Segerombolan manusia berjalan senada

Cuma dapat bergumul dengan perut sendiri

Cuma takut kehilangan muka sendiri

Bukan opera kolosal seperti katanya

Kembali dan aku menjamah rasa

Takut lepas kendali

Ingatkanku atas keranda kosong terkapar

Ia mengirim ramai dan sunyi padaku

Mengirim resah gelisah tentang tubuh manusia

Lintas waktu terus menuntut

Sunyinya gagap tak pernah mati

Tatap kosong masa kanak-kanak

Yang bahagia di bawah pohon jambu

2007

KACA-KACA

Sepi mendekam

Menyisir hutan pinus

Dalam kelam

Barisan kata mendakwa

Aku terpenjara dalam kaca!

Satu dua detik jerit berontak

Aku sibuk menandai takdir

Dengan benang jaring laba-laba

Di segala sisi ada banyak kaca

Tak bisa berpaling

Rosario membenam skenario

Dari wujud-wujud dalam kaca

Temukan banyak manuskrip

Di setiap segmen

Opera dalam kaca hanya satu babak saja

2007

EMOSI

Amnesia waktu

Segala mengukir gelombang

Tergigit taring sendiri

Lumpuh ditelan dan ditekan

Gasing berputar-putar

Sengat lebah memutus saraf

O Tuhan kepala pusing

Berisik dan bising

Mulut disekap tangan terikat

Semedi di ujung tanduk

Kambing hitam berlalu lalang

2007


Komentar

  1. syair-syair yang anda buat begitu indah....banyak rahasia yang sulit di ungkapkan...apa syair-syair itu mewakili perasaan anda atau hanya sebentuk sajak tanpa makna?????

    BalasHapus

Posting Komentar