SEJARAH GEDUNG KESENIAN TASIK (1998-2015)

( BAGIAN I ) 
JEJAK SEJARAH PERJUANGAN SENIMAN TASIKMALAYA

Oleh : Irvan Mulyadie

Sampai tahun 2011, berarti sudah lebih dari 13 tahun sejak diresmikannya Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) pada 25 Agustus 1998 oleh Gubernur Jawa Barat R. Nuriana, GKT mangkrak dan kurang terawat. Tidak ada lagi bantuan yang diberikan Pemerintah daerah, baik Pemkab maupun Pemkot Tasikmalaya. Akibatnya fatal, GKT rusak parah dan nyaris seperti bangunan Rumah Hantu. Lalu timbul pertanyaan, bagaimanakah peran seniman dan pemerintahan sehingga terjadi hal itu ?

Sekilas Sejarah         
   Gedung Kesenian Tasikmalaya, tidak dibangun dengan ujug-ujug atas kepedulian pemerintah daerah semata. Banyaknya keterbatasan, baik dari segi sumber daya manusia dan anggaran menjadi alasan klasik atas tak pernah terwujudnya gedung kesenian yang secara khusus diperuntukan untuk menampilkan aneka ragam kreasi dari senimannya sendiri. Pada tahun-tahun sebelum adanya GKT, sekira tahun 1970-an hingga akhir 1997, seniman harus rela untuk mengungsi dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk dapat mempertunjukan kebolehannya kepada publik. Terutama bagi seniman Teater dan Seni Rupa.          
Sebagai kebutuhan mendesak, adanya gedung kesenian merupakan suatu hal pokok yang sangat diperjuangkan ketika itu. Maka berbagai aksi kreatif pun selalu dilakukan. Berbagai kegiatan bernuansa seni budaya digelar dimana-mana, baik kesenian tradisional sunda, teater, sastra, seni rupa, dsb. Bacara digelar di tempat-tempat alternatif seperti di Gedung SKB, Gedung Golkar, Gedung GGM, hingga aula-aula sekolahan dan Mall. Perjuangan tersebut tak mengenal kata lelah. Sehingga akhirnya, di masa kepemimpinan Bupati H.Suljana WH, GKT dapat terwujud. Dan tentu saja seniman dan para penikmat seni di Tasikmalaya merasakan kegembiraan.
Meskipun penuh kontroversi di dalam pembangunannya, seperti dengan tidak pernah dilibatkannya pihak-pihak seniman di dalam merancang dan membangun gedung kesenian, tetapi pasca selesai pembangunannya, hampir seluruh energi dan perhatian para aktivis seni Tasikmalaya saat itu terfokus pada GKT. Wacananya sederhana, yakni bagaimana caranya supaya GKT yang sudah kokoh  berdiri itu dapat bermanfaat. Mempunyai agenda jelas sebagai tempat pertunjukan karya seni yang ideal. Lebih dari itu, sebagai rumah ke-2 seniman tasikmalaya. Munculah euforia.
Saking semangatnya dalam upaya merealisasikan angan-angan yang indah itu, baik seniman dan pemerintahan berupaya mencari solusi. Wacana  yang berkembang adalah, pertama adalah upaya pembentukan suatu lembaga kepengurusan gedung kesenian, dan yang ke-dua adalah pembentukan Dewan Kesenian.
Untuk agenda yang pertama, nyaris mulus tanpa hambatan. Baik seniman dan pemerintahan telah sepakat dalam kerjasama untuk kemakmuran GKT. Konsepnya, seniman mengisi kegiatan kesenian, sedangkan pemerintah akan mendorong kegiatan-kegiatan tersebut di wilayah kelancaran perizinan dan pendanaan. Sangat ideal. Dan penuh kebersamaan.
Maka terbitlah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tasikmalaya Nomor: 431.21/sk.248.Sos/1998 tentang Pembentukan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BPGKT) yang ditandatangani langsung oleh Bupati H.Suljana Wirata Hadisubrata. Adapun pokok-pokok keputusan tersebut menyangkut :
1. Membentuk BPGKT dengan susunan dan komposisi personalianya adalah unsur seniman dan pemerintaham,
2. Penetapan tugas BPGKT sebagai organisasi yang dapat memelihara, mengatur, membina dan memanfaatkan GKT dengan baik, sehingga GKT tersebut berfungsi sebagai gedung yang representatif, baik dari segi fisik maupun segi penyajian materi kesenian.
3. Biaya bagi pemeliharaan dan penyelenggaraan GKT bersumber dari subsidi Pemerintah Daerah Tk.II Tasikmalaya dan usaha-usaha lainnya yang (oleh BPGKT, red).
4. Pengaturan lebih lanjut sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya itu ditetapkan dan diatur oleh BPGKT.
5. Pengurus BPGKT bertanggung jawab secara langsung kepada Bupati dengan masa kepengurusannya selama tiga tahun terhitung sejak tanggal penetapannya.
6. Seperti biasa, selalu ada kata Surat Keputusan tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan yakni 14 agustus 1998 dengan ketentuan akan diadakan perubahan dan atau perbaikan sebagaimana mestinya, apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapannya.
Adapun susunan personalia BPGKT saat itu adalah; Pelindung diambil langsung oleh Bupati, tim Penasihat terdiri dari Kepala Kandepdikbud Tasikmalaya, Walikota Tasikmalaya, Kepala P&K serta Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya. Sementara Posisi Ketua BPGKT untuk pertama kalinya itu dipegang oleh Drs. H. Eddy Herdiman dengan  wakilnya Drs. Djodjo Nuryanto. Sekertaris ditangani oleh Saeful Badar dengan wakilnya Drs.Soni. Sedangkan untuk Bendahara diamanatkan kepada Ny. Hj. Edddy Herdiman dengan Wakilnya Idi Syamsudin.
Selain posisi yang telah disebutkan di atas, maka dibentuk pula seksi-seksi dalam tubuh BPGKT. Meliputi Seksi Dana/Usaha, Seksi Humas, Seksi Publikasi, Seksi Dokumentasi, Seksi Pemeliharaan dan Pengembangan, juga Seksi Program yang terdiri dari Bidang Teater, Seni Rupa, Pedalangan, Tari Musik, Karawitan, dan Kesenian Tradisional. Dan yang terakhir adalah Kesekretariatan.
Jadi, setelah 11 hari terbentuknya BPGKT itu, maka diresmikanlah GKT oleh Gubernur Jawa Barat dalam suatu ritual kebudayaan yang unik dan artistik.

Perkembangan BPGKT
            Untuk sementara waktu, BPGKT dapat berjalan dengan pola adumanis antara seniman dengan unsur pemerintahan. Namun beberapa tahun kemudian menjadi tidak efektif. Hal ini bisa saja disebabkan oleh gemuknya personalia yang mencapai 34 orang. BPGKT tidak berjalan seperti apa yang diharapkan semula. Yang kerja, kerja. Tapi  yang  tidak bekerja juga lebih banyak. Seperti silih tembleuhkeun.
Tapi ini dapat dimaklumi, mengingat hampir separuh dari personallia BPGKT ini adalah PNS aktif, orang-orang pemerintahan yang sudah barang tentu punya kesibukan atau tanggung jawab lebih  besar kepada tugas pokok dan fungsinya sebagai abdi negara.
Yang tadinya BPGKT bertanggungjawab langsung kepada Bupati, namun setahun kemudian terbitlah sebuah Surat Keputusan Bupati Tasikmalaya Nomor : 431.21/sl.248-Sos/1999 tentang Penunjukan Kepala Dinas Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup sebagai Penanggung Jawab Pengelola Sarana Olah Raga dan Gedung Kesenian Tasikmalaya di Lingkungan Dadaha Tasikmalaya.
Sepertinya, akibat peralihan kewenangan dari Bupati kepada Kepala Dinas terkait inilah awal mula konflik vertikal terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap GKT kian hari semakin memprihatinkan. Adanya kebuntuan komunikasi terhadap penafsiran Perda dan kewenangan masing-masing pihak, tidak menghasilkan kesefahaman yang produktif. Semua merasa benar sendiri.
Misalnya di dalam hal kewajiban pengurus BPGKT untuk menyerahkan hasil sewa GKT yang sesuai target yang besarannya tarif sewanya itu disesuaikan dengan Perda yang ada. Tentu saja pihak seniman menolak. Alasannya, jangankan untuk memberikan PAD, untuk biaya merawat GKT saja tidak mampu. Apalagi pihak pemda tidak membiayai perawatan BPGKT secara rutin. Sementara pihak Dinas terkait punya dalih harus memenuhi target tahunan. Buntu.
Hal lainnya yang sangat berdampak signifikan pada GKT akibat lemahnya posisi BPGKT saat itu adalah dengan adanya situasi politik. Saat itu dalam suasana peralihan kekuasaan puncak di Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Akhirnya, Bupati Suljana yang dikenal dekat dengan seniman harus diganti oleh H. Tatang Farhanul Hakim pada tahun 2001. Dan sejak tahun 2001, secara hirarki, BPGKT tidak lagi di bawah Bupati, melainkan di bawah Dinas Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Yang menandatangani SKnya pun Kepala Dinas.
Kepengurusan BPGKT mulai goyah. Unsur-unsur personalia dari pemerintahan mulai mengambil jarak. Sementara pihak seniman terus berupaya menghidupi dirinya sendiri. Personalia BPGKT yang tersisa akhirnya hanya seniman, tanpa melibatkan unsur pemerintahan. Efektivitas dan efisiensi menjadi alasan. Tapi secara fisik dan psikis GKT terus mengalami kemunduran.
Sejarah mencatat, sejak dilantik hingga berakhirnya jabatan sebagai Bupati Kabupaten Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim tidak pernah sekali pun menginjakan kakinya di GKT. Guntreng soal aset Pemkab dan Pemkot pun jadi alasan paling kuat terjadinya pembiaran rusaknya GKT.
Tahun 2001 BPGKT dipimpin oleh Drs.Djodjo Nuryanto, M.Hum. Beberapa tahun kemudian digantikan oleh Drs.Enung Sudrajat, M.Pd pada 2005-2011. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan GKT terus dilakukan. Perbaikan alakadarnya, dan pengadaan barang sekemampuan pula. Tapi tetap saja, hal itu tak pernah cukup untuk membuat GKT bernilai lebih. Apalagi, gesekan antar seniman yang berkepentingan terus bergulir di wilayah “perebutan lapak” di GKT. Wacananya minor sekali. Serta jauh dari wacana-wacana kreatif kekaryaan. GKT kian dijauhi, juteru oleh senimannya sendiri. Mengerikan. (bersambung)

Dimuat pertama kali di Harian Kabar Priangan, 28 Januari 2015

.....................................................................................................................


( BAGIAN II )
MERESTORASI FUNGSI DAN CITRA GKT
Oleh : Irvan Mulyadie

 

Merajut Kembali Komunikasi
Bersamaan dengan diangkatnya kembali kepengurusan periode terakhir, 2010-2011 yang masih dimandatkan kepada Drs.Enung Sudrajat, M.Pd sebagai ketua BPGKT, saya juga dipercaya sebagai agen penghubung antara BPGKT dan pihak Pemkab Tasikmalaya dalam posisi sebagai Ketua Pengawas Pengelolaan GKT bersama dengan beberapa rekan PNS lainnya di lingkungan pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya. 
Tugasnya antara lain, sebagai partner BPGKT didalam hal pengawasan pelaksanaan program kerja yang telah disusun, membuat telaah mendasar sebagai bahan evaluasi BPGKT di masa depan, serta yang paling utama adalah melakukan upaya penyambungan tali komunikasi yang sudah putus sejak lama, antara pihak seniman dengan pemerintah. Dan berhasil.
Pihak pemerintah kabupaten mulai melunak pasca Bupati Tatang digantikan oleh H.UU Ruzhanul Ulum setelah 10 tahun menjabat. BPGKT juga mulai kompromi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai idealisme kesenimanannya. Sungguh mengharukan dapat menyaksikan kebersamaan seniman dengan pihak pemerintahan lagi. Sebab bagaimana pun, mengurus aset yang begitu besar semacam GKT memerlukan kerjasama berbagai pihak dan membutuhkan biaya besar.
BPGKT akhirnya diberi keleluasaan penuh untuk mengelola GKT. Meskipun tanpa diberi beban lagi target PAD, tapi berkewajiban untuk tetap memelihara dan memperbaikinya. Banyak kemajuan yang dapat dirasakan. BPGKT mulai terbuka dengan pihak luar. Tapi dua tahun terakhir kepengurusan Enung Sudrajat (Alm), masih menyisakan PR besar pada periode selanjutnya. Terutama di wilayah pembenahan fisik bangunan, sistem manajerial dan pemberdayaan sumber daya manusia.
Sementara itu di Kota Tasimalaya, sedang terjadi perebutan kekuasaan. Yang akhirnya dimenangkan oleh Drs. H. Budi Budiman. Seorang kandidat yang berasal dari partai  yang sama dengan Bupati Uu Ruzhanul Ulum. Jadi perhitungannya saat itu, persoalan aset Pemkot dan Pemkab akan segera teratasi.

Periode Terakhir
            Pada 30 April 2012, melalui SK Nomor : 650/402/SK-BPGKT/DISTARKIM/2012 yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kabupaten Tasikmalaya, saya diangkat sebagai Ketua Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya untuk periode 2012-2015. Adapun Sekretarisnya adalah Nur Achmad Rus, S.Sos (melanjutkan dari periode selanjutnya, 2010-2011) serta yang menjadi Bendahara adalah Danto Herdianto, S.HI (eks.personalia BPGKT tahun 2005-2010). Saya sendiri sebelumnya pernah terlibat sebagai personalia BPGKT tahun 2005-2010 di kesekretariatan.
Sebuah beban moral yang tinggi. Mengingat latar belakang saya dan saudara Nur Achmad Rus adalah bagian dari karyawan Pemkab Tasikmalaya. Kami takut kalau hal ini akan dipelintir oleh pihak-pihak yang tidak suka secara personal untuk mempermasalahkan posisi saya dan rekan-rekan nantinya.
Tapi  berbagai dukungan terus mengalir, baik dari seniman teater, seni rupa, musik, sastra, film bahkan seniman tradisional. Ini tentu sangat membesarkan hati. Menyemangati dan berani membentengi.
Dan hal yang pertama kami lakukan setelah menerima SK adalah melaksanakan sosialisasi bersama kepada masayarakat kesenian Tasikmalaya dengan kepengurusan BPGKT terdahulu. Baik melalui pertemuan teknis maupun kunjungan-kunjungan kecil ke komunitas-komunitas seni. Blusukan, istilahnya. Tujuannya yaitu evaluasi kinerja, menyerap aspirasi seniman dan merancang strategi ke depan untuk perbaikan GKT.
Kepengurusan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BPGKT) periode 2012-2015 merupakan bentuk kepengurusan yang paling simpel secara struktur sepanjang sejarah kepengurusan BPGKT sejak tahun 1998. Di dalam SKnya, hanya ada Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Dan hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang mesti dihadapi di lapangan. Apa sebab?
Karena permasalahan yang dihadapi oleh kepengurusan periode sekarang ini lebih kompleks dan sangat berat untuk dihadapi. Baik dari segi fisik maupun secara psikis. Memang, kondisi GKT sudah sangat memprihatinkan. Bahkan di luar nampak seperti Rumah Hantu tanpa penghuni. Kotor dan menyeramkan. Dimana-mana perlu mendapatkan perbaikan yang krusial. Dan ini tidak boleh ditunda-tunda lagi. Sebab berhubungan langsung dengan keselamatan jiwa dan kenyamanan para pengguna GKT itu sendiri.
Aspek psikologis dari masyarakat umum yang cenderung minus terhadap citra GKT yang juga mesti diperbaiki. Inilah yang paling berat diwujudkan. Karena stigma negatif ini telah ditorehkan cukup lama oleh beberapa oknum pengurus BPGKT sendiri. Baik yang secara resmi ditunjuk berdasarkan SK, maupun pengurus bayangan yang sama sekali tidak jelas ‘jenis kelaminnya’.
Belum lagi persoalan politis antara Pemkot dan Pemkab yang seakan-akan saling menyandera kepentingan dalam bentuk penggantungan atas status beberapa aset publik. Dan yang paling parah dan menyedihkan, ternyata GKT sendiri seperti telah ditinggalkan oleh semua orang. Bahkan oleh para senimannya sendiri.
Maka dengan demikian pengurus BPGKT yang baru memandang perlu mempunyai visi dan misi yang jelas dalam rangka penyelamatan aset kebudayaan yang berharga mahal tersebut. Mengingat hal-hal negatif yang telah disebutkan di atas, tidak terlepas -justeru- dari faktor-faktor yang diakibatkan senimannya sendiri, baik sebagai pengurus maupun pemakai.
Hal tadi terjadi dan dapat ditengarai, disebabkan oleh karena longgarnya sistem kepengurusan yang diterapkan. Indikasinya, meskipun banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap tata tertib pemakaian GKT, misalnya, namun tidak pernah ada sekali pun ditemukan adanya tindakan hukuman oleh BPGKT terhadap si pelanggar tersebut. Tentu saja hal yang demikian menjadi bumerang liar bagi BPGKT. Di satu sisi ingin bekerja secara profesional, namun di sisi lainnya ada pengaruh dari faktor-faktor “keakraban” terhadap si pelanggar yang mengakibatkan banyaknya permakluman-permakluman dari BPGKT yang semestinya tidak perlu.
Minimnya kualitas dan kuantitas komunikasi antar pihak-pihak yang berkepentingan terhadap GKT dimasa lalu, merupakan titik lemah yang juga diwaspadai oleh kepengurusaan BPGKT. Jangan sampai di kemudian hari, pengelolaan GKT tercampur dengan kepentingan lain yang tidak perlu bahkan akan merugikan semua pihak.
Pada dasarnya kepengurusan GKT itu bukanlah tentang permasalahan politis, tapi murni persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara praktis. Bagaimana misalnya GKT dapat menjadi tempat yang fungsional terhadap berbagai produk pertunjukan secara dinamis, bernilai estetis tapi juga dapat menunjang secara ekonomis bagi seniman Tasikmalaya. Dan hal ini penting untuk segera diwujudkan.
 BPGKT saat itu terus berbenah dengan berbagai program kerja yang progresif. Tindakan cepat dan tepat mutlak harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dalam banyak hal. Walau pun dalam jangka pendek tidak sampai pada tahap rehabilitasi, tapi BPGKT telah melakukan restorasi disana-sini. Dengan konsep dan mekanisme kerja yang jelas, alur birokrasi yang dipangkas disertai dengan penerapan sistem yang tegas dan berwibawa. Terutama di dalam hal teknis manajemen pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian sistem di lapangan. Bahkan menerapkan manajemen yang transparan dengan melibatkan pihak perbankan di dalam tata kelola keuangannya.

Pekerjaan Rumah
            Semenjak SK tentang ditunjuknya pengurus Badan Pengelola Gedung Kesenian yang baru periode 2012-2015 terbit, anggota BPGKT telah merapatkan barisan untuk segera merespon segala hal yang menyangkut berbagai strategi dan kebijakan yang mesti ditempuh dalam penanganan Gedung Kesenian Tasikmalaya. Salah satunya yaitu dengan merumuskan berbagai persoalan yang ada di lapangan, dan kemudian menetapkan program yang sesuai dengan arah pemecahan atas masalah-masalah tersebut.
            Solusi yang ditemukan antara lain dengan peluncuran progran 5 Restorasi GKT. Restorasi yang dimaksudkan adalah perbaikan-perbaikan kecil terhadap 5 penyangga keberhasilan Gedung Kesenian Tasik ke depan yang sesuai dengan tuntutan jaman.
Kenapa cuma restorasi? Bukannya rehabilitasi atau revitalisasi? Jawabannya ya tadi itu, disesuaikan dengan kondisi yang ada saat itu. Baik kondisi fisik GKTnya, individu BPGKTnya sendiri, maupun perihal yang menyangkut beban biaya.
Adapun 5 hal tersebut yaitu :
1.      Restorasi Fisik Bangunan GKT
Yakni dengan mengembalikan fungsi-fungsi fasilitas yang ada di GKT seperti toilet dan ruang-ruang lainnya, pengecatan bangunan, pengadaan lampu-lampu panggung, perbaikan sound system, perbaikan sistem drainase, penggantian kaca-kaca yang pecah, perbaikan jaringan listrik, plafond, dll.   
2.      Restorasi Kebijakan BPGKT
Dengan membuat dan menerapkan aturan-aturan main yang jelas dalam pemakaian GKT, berikut dengan pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap pelanggar aturan tersebut. Tanpa pandang bulu dan tanpa pilih kasih. Hal ini penting untuk eksistensi BPGKT sebagai lembaga yang kredibel untuk semua kalangan, baik terhadap seniman maupun masyarakat lainnya.
3.      Restorasi Manajemen
Memperbaiki sistem manajemen BPGKT menuju ke arah profesional dan transparan. Salahsatu diantaranya membuka ruang komunikasi dengan berbagai pihak yang kompeten dan berkepentingan, membuka peluang kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan pemerintah maupun dengan pihak-pihak swasta dalam rangka pengembangan GKT yang lebih baik.
4.      Restorasi Fungsi GKT
GKT di masa depan, tidak lagi sekedar sebagai tempat pertunjukan semata, melainkan akan lebih dioptimalisasikan menjadi multi fungsi, seperti tempat pelatihan resmi kesenian-kesenian yang berkembang di Tasikmalaya, baik seni tradisional, modern maupun kontemporer. Dan bila memungkinkan GKT juga akan difungsikan juga sebagai penunjang kegiatan lainnya yang sejalan dengan seni dan kebudayaan seperti tempat pameran produk-produk kriya dan produk kreatif lainnya.
5.      Restorasi Citra
Yakni memperbaiki wacana minor tentang GKT dari pihak internal seniman maupun dari masyarakat umum dan pemerintah. Strateginya sederhana, kerjasama.

Dalam masa kepengurusan hingga akhir 2013, telah banyak capaian yang dihasilkan. 5 program restorasi pun telah dapat diwujudkan meski dengan perlahan-lahan. Berbagai kebutuhan peralatan panggung seperti lighting hampir tercapai sempurna. Seniman sudah kembali menggunakan GKT dengan tanpa keraguan lagi. Masyarakat umum pun mulai sering berkunjung lagi.
Tapi masih ada kelemahan yang belum dapat diatasi, yaitu menghadirkan pegawai dan penjaga keamanan secara profesional. Artinya, BPGKT belum mampu menggaji personilnya secara manusiawi selayaknya orang bekerja di perusahaan. Nyaris seluruh personil BPGKT bekerja secara sukarela. Ada pun honor yang diberikan ketika ada pertunjukan atau gedung sedang disewa, itu hanya alakadarnya. Sebagai pengganti makan atau minum kopi pada hari itu saja. Tak ada lebihnya untuk dibawa pulang ke rumah.
bersambung....
Dimuat pertamakali di Harian Kabar priangan, 4 Februari 2015

..........................................................................................................................................
( Bagian III - Habis ) 
SEJARAH YANG TERULANG DAN ANTI KLIMAKS

Oleh : Irvan Mulyadie


                Tepat pada tanggal 31 Desember 2013, GKT memasuki babak baru dalam sejarah perjalanannya. Sebab di hari itulah Bupati Tasikmalaya, H. Uu Ruzhanul Ulum mengumumkan secara resmi dan terbuka tentang penyerahan sebagian aset Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang masih berada di wilayah Kota Tasikmalaya kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya. Beberapa diantaranya adalah aset-aset yang berada di kawasan kompleks olahraga  Dadaha.

GKT pindah kepemilikan
Jadi, pertanggal 1 Januari 2014, Gedung Kesenian Tasikmalaya juga secara resmi menjadi milik Pemkot Tasikmalaya. Momen bersejarah ini tentu saja mendapatkan apresiasi luar biasa dari masyarakat Tasikmalaya pada umumnya. Mengingat sejak terjadinya pemisahan pemerintahan Tasikmalaya menjadi Pemkot dan Pemkab pada 17 Oktober 2001 melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001, persoalan yang paling pelik serta tak kunjung selesai adalah masalah pembagian aset. Dalam berbagai kesempatan, hal ini sering memicu ketegangan secara politis di antara keduanya.
Bagi kami sebagai Badan Pengelola Gedung Kesenian (BPGKT), peralihan penguasaan aset ini sangat melegakan, dan tentu saja membawa harapan besar. Bagaimana pun, sejak terbelahnya Tasikmalaya menjadi dua daerah otonom, nasib GKT semakin tak terarah. Di satu sisi, secara kepemilikan masih dikuasai Pemkab, namun di sisi lainnya, GKT berada di wilayah Pemkot. Akibatnya, GKT seperti terlantar dalam dilema yang pragmatis.
Sejak saat itu, GKT tidak lagi tersentuh secara fisik. Pemkot, tentu saja tidak sudi untuk menyalurkan dananya, sebab tak ada kewenangan untuk itu. Bahkan ada semacam parodi, bila aset yang ada di wilayah kota tersebut diperbaiki oleh pihak Pemkot, maka itu sama saja seperti mempercantik istri orang lain.
Sementara pihak Pemkab sendiri sudah demikian kalkulatif, yakni jangankan untuk memperbaiki atau sekedar merawat aset-aset yang ada di wilayah kota, biaya untuk membangun fasilitas pemerintahannya di lokasi yang baru pun tidak ada.
Di awal tahun 2014 itu juga secara struktur, untuk pertama kalinya, penanggung jawab pengelolaan GKT tidak lagi di bawah Dinas Permukiman (Cipta Karya). Melainkan ada di bawah kewenangan Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (DISPARBUDPORA). Namun demikian, untuk masalah penanganan fisik bangunan seperti proses rehabilitasi bangunan, kewenangan tetap ada pada Dinas Cipta Karya.

Pemilik Baru, Masalah Baru
            Setelah peristiwa bersejarah yang telah disebutkan di atas, secara administratif posisi BPGKT menjadi sedikit rancu. Sebab, terakhir kali kepengurusan BPGKT yang diangkat oleh Pemkab Tasikmalaya, dalam SKnya adalah dari tahun 2012 hingga 2015. Sementara di tahun 2014, GKT sudah berpindah kepemilikan menjadi hak Pemkot Tasikmalaya.
            Sesungguhnya, jauh sebelum adanya peralihan aset ini, BPGKT sudah demikian aktif melakukan komunikasi dengan pihak Pemkot Tasikmalaya. Terutama dengan pihak Disparbudpora. Namun demikian, karena ketidak jelasan status aset GKT, serta banyak bergonta-gantinya pejabat terkait akibat rotasi mutasi di lingkungan Pemkot, komunikasi yang dijalin tersebut sering kali patah di tengah jalan. Sementara saat dilanjutkan dengan pejabat penggantinya, kadang tak nyambung. Maklum saja, sebab masing-masing pihak punya kepentingan sendiri-sendiri.
            Pada hari Selasa, 11 Maret 2014, saya diundang dengan kapasitas saya sebagai Ketua BPGKT oleh Pemkot Tasikmalaya dalam seremonial peresmian proyek-proyek tahun 2013 di Kecamatan Cihideung. Lokasi kegiatan tersebut di kompleks Taman Dadaha. Acara tersebut dihadiri juga oleh seluruh unsur Muspida Kota Tasikmalaya.
            Dalam sambutannya, Walikota Tasikmalaya Drs. H. Budi Budiman berjanji untuk membangun dan memperbaiki fasilitas publik yang ada di sekitar Dadaha. Termasuk Gedung Kesenian yang rencananya akan direhabilitasi dengan anggaran sekitar 1 Miliar Rupiah. Tentu saja kabar gembira itu mendapatkan ‘tepuk tangan’ yang meriah.
Hal ini telah membuktikan komitmen Walikota sendiri terhadap apa yang telah dijanjikannya pada saat masa kampanye Pilkada dulu. Salah satunya yakni tentang penuntasan masalah aset dengan Pemkab Tasikmalaya, serta akan memperbaiki aset-aset tersebut untuk mengoptimalkan fungsinya.
Tapi sayang, didalam perjalanannya, proses rehabilitasi yang berlangsung sejak September hingga akhir Desember 2014 ini tidak menghasilkan bangunan GKT seperti yang diharapkan. Hasil pekerjaan nampak sekali kurang berkualitas. Elemen yang semestinya tidak perlu diganti karena masih layak, malah dibongkar. Sedangkan bagian yang benar-benar membutuhkan perbaikan dibiarkan begitu saja. Tentu saja hal ini sangat mengecewakan.
Padahal sejak jauh-jauh hari pihak BPGKT telah mewanti-wanti supaya dana yang sangat besar itu dimanfaatkan secara maksimal dan tepat sasaran. Sayangnya, pihak BPGKT tidak dilibatkan secara resmi di dalam pelaksanaannya. Tentu tidak mempunyai keleluasaan untuk mengontrol kualitas, atau sekedar memberi saran.
Bahkan di dalam perjalanannya, proses Rehabilitasi GKT ini telah membuat berbagai peralatan vital GKT raib. Ada pun barang-barang yang hilang tersebut antara lain jaringan kabel Lighting panggung, lampu-lampu khusus untuk pertunjukan, pendingin ruangan, power soundsystem, serta banyak lagi fasilitas lainnya. Yang kalau dinominalkan bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Tapi anehnya, baik dari pihak pemborong selaku pelaksana proyek maupun dinas terkait, sampai hari ini belum ada yang menyatakan secara resmi untuk bertanggung jawab atas insiden itu. Apalagi menggantinya. Semua nampak jadi serba berbelit-belit.
Masalah lain, sejak berpindahnya kewenangan pengelolaan ke Disparbudpora Kota, eksistensi BPGKT kian tak jelas. Yang terasa adalah, peran BPGKT menjadi kian dipersempit pergerakannya. BPGKT hanya berwenang untuk menangani hal-hal teknis saja seperti menangani kebersihan dan mempersiapkan pertunjukan semata. Sementara hasil penyewaan gedung harus disetorkan langsung ke pihak Pemkot. Masih mending kalau pengelolaan GKT itu sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, tapi ini tidak. BPGKT tetap harus membiayai dirinya sendiri. Kondisi ini lebih parah dari saat GKT masih dikuasai oleh Pemkab Tasikmalaya.
Bahkan, dari sisi program penyelenggaraan acara yang akan dipentaskan di GKT, Disparbudpora lebih memilih untuk membentuk kepanitiaan sendiri dengan membuat suatu presidium yang isinya tidak mencerminkan seluruh aspirasi masyarakat kesenian Kota Tasikmalaya. Sehingga mau tak mau, suasana berkesenian di Tasikmalaya ini jadi memanas. Bahkan kelompok-kelompok yang berkompetensi seperti Sanggar Sastra Tasik, Teater Bolon, Borelak, dan banyak lagi yang lainnya menarik diri dari kegiatan tersebut.
Sangat disayangkan, sebab komunitas-komunitas tadi adalah komunitas yang sudah tidak diragukan lagi eksistensi serta prestasinya di bidangnya masing-masing. Dan sudah sering mengharumkan nama besar Kota Tasikmalaya, baik di tingkat regional maupun pada tingkat nasional.
Dan lagi-lagi, BPGKT tidak dilibatkan secara proporsional di dalam penyelenggaraan acara yang diprediksi akan menghabiskan APBD ratusan juta rupiah. Padahal secara pengalaman dan kapasitas, BPGKT yang diisi oleh aktivis seni ini cukup mumpuni. Ini saya sampaikan, bukan karena ada nilai uang yang besar di dalam kegiatan tersebut, melainkan secara teknis di lapangan, GKT membutuhkan fasilitas yang memadai untuk menunjang kegiatan-kegiatan kesenian tersebut. Sebab hari ini, GKT seperti wanita cantik di luarnya, namun penuh penyakit di dalamnya.
Dari sini sudah jelas, niat tulus Walikota Tasikmalaya untuk memperbaiki dan memakmurkan gedung kesenian belum dapat diterjemahkan dengan baik oleh jajaran birokrasi di bawahnya. Hal ini sudah saya sampaikan pada berbagai kesempatan supaya mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait. Salah satunya ketika saya bersama-sama Forum Warga Tasikmalaya beraudiensi dengan Walikota Tasikmalaya pada 3 Februari 2015 di Balekota, yang diterima oleh Wakil Walikota, Sekda Kota dan dihadiri pula oleh Ketua DPRD Kota Tasikmalaya. Namun sampai tulisan ini diturunkan, belum ada tanda-tanda ke arah perbaikan yang signifikan.
Saya jadi teringat peristiwa pada lebih dari 17 tahun silam. Ketika pembangunan Gedung Kesenian Tasik tidak pernah melibatkan kalangan seniman, sehingga hasilnya seperti bukan untuk gedung pertunjukan. Juga pembentukan Dewan Kesenian yang hanya menimbulkan perpecahan di antara pegiat kesenian. Ini seperti pengulangan sejarah. Sejarah yang anti klimaks. Peun !

Tasikmalaya, 10 februari 2015

(Dimuat pertamakali di Harian Kabar Priangan, 11/02/2015, Halaman 14, Rubrik Budaya)

Komentar