( BAGIAN I )
JEJAK SEJARAH PERJUANGAN SENIMAN TASIKMALAYA
JEJAK SEJARAH PERJUANGAN SENIMAN TASIKMALAYA
Oleh : Irvan Mulyadie
Sampai tahun 2011, berarti sudah lebih
dari 13 tahun sejak diresmikannya Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) pada 25
Agustus 1998 oleh Gubernur Jawa Barat R. Nuriana, GKT mangkrak dan kurang
terawat. Tidak ada lagi bantuan yang diberikan Pemerintah daerah, baik Pemkab
maupun Pemkot Tasikmalaya. Akibatnya fatal, GKT rusak parah dan nyaris seperti
bangunan Rumah Hantu. Lalu timbul pertanyaan, bagaimanakah peran seniman dan
pemerintahan sehingga terjadi hal itu ?
Sekilas Sejarah
Gedung Kesenian Tasikmalaya, tidak dibangun dengan ujug-ujug atas kepedulian pemerintah daerah semata. Banyaknya keterbatasan, baik dari segi sumber daya manusia dan anggaran menjadi alasan klasik atas tak pernah terwujudnya gedung kesenian yang secara khusus diperuntukan untuk menampilkan aneka ragam kreasi dari senimannya sendiri. Pada tahun-tahun sebelum adanya GKT, sekira tahun 1970-an hingga akhir 1997, seniman harus rela untuk mengungsi dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk dapat mempertunjukan kebolehannya kepada publik. Terutama bagi seniman Teater dan Seni Rupa.
Gedung Kesenian Tasikmalaya, tidak dibangun dengan ujug-ujug atas kepedulian pemerintah daerah semata. Banyaknya keterbatasan, baik dari segi sumber daya manusia dan anggaran menjadi alasan klasik atas tak pernah terwujudnya gedung kesenian yang secara khusus diperuntukan untuk menampilkan aneka ragam kreasi dari senimannya sendiri. Pada tahun-tahun sebelum adanya GKT, sekira tahun 1970-an hingga akhir 1997, seniman harus rela untuk mengungsi dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk dapat mempertunjukan kebolehannya kepada publik. Terutama bagi seniman Teater dan Seni Rupa.
Sebagai kebutuhan mendesak, adanya
gedung kesenian merupakan suatu hal pokok yang sangat diperjuangkan ketika itu.
Maka berbagai aksi kreatif pun selalu dilakukan. Berbagai kegiatan bernuansa
seni budaya digelar dimana-mana, baik kesenian tradisional sunda, teater,
sastra, seni rupa, dsb. Bacara digelar di tempat-tempat alternatif seperti di
Gedung SKB, Gedung Golkar, Gedung GGM,
hingga aula-aula sekolahan dan Mall. Perjuangan tersebut tak mengenal kata
lelah. Sehingga akhirnya, di masa kepemimpinan Bupati H.Suljana WH, GKT dapat
terwujud. Dan tentu saja seniman dan para penikmat seni di Tasikmalaya
merasakan kegembiraan.
Meskipun penuh kontroversi di dalam
pembangunannya, seperti dengan tidak pernah dilibatkannya pihak-pihak seniman
di dalam merancang dan membangun gedung kesenian, tetapi pasca selesai
pembangunannya, hampir seluruh energi dan perhatian para aktivis seni
Tasikmalaya saat itu terfokus pada GKT. Wacananya sederhana, yakni bagaimana
caranya supaya GKT yang sudah kokoh
berdiri itu dapat bermanfaat. Mempunyai agenda jelas sebagai tempat
pertunjukan karya seni yang ideal. Lebih dari itu, sebagai rumah ke-2 seniman
tasikmalaya. Munculah euforia.
Saking semangatnya dalam upaya
merealisasikan angan-angan yang indah itu, baik seniman dan pemerintahan
berupaya mencari solusi. Wacana yang
berkembang adalah, pertama adalah upaya pembentukan suatu lembaga kepengurusan
gedung kesenian, dan yang ke-dua adalah pembentukan Dewan Kesenian.
Untuk agenda yang pertama, nyaris mulus
tanpa hambatan. Baik seniman dan pemerintahan telah sepakat dalam kerjasama
untuk kemakmuran GKT. Konsepnya, seniman mengisi kegiatan kesenian, sedangkan
pemerintah akan mendorong kegiatan-kegiatan tersebut di wilayah kelancaran
perizinan dan pendanaan. Sangat ideal. Dan penuh kebersamaan.
Maka terbitlah Surat Keputusan Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Tasikmalaya Nomor: 431.21/sk.248.Sos/1998 tentang
Pembentukan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BPGKT) yang
ditandatangani langsung oleh Bupati H.Suljana Wirata Hadisubrata. Adapun
pokok-pokok keputusan tersebut menyangkut :
1.
Membentuk BPGKT dengan susunan dan komposisi personalianya adalah unsur seniman
dan pemerintaham,
2.
Penetapan tugas BPGKT sebagai organisasi yang dapat memelihara, mengatur,
membina dan memanfaatkan GKT dengan baik, sehingga GKT tersebut berfungsi
sebagai gedung yang representatif, baik dari segi fisik maupun segi penyajian
materi kesenian.
3.
Biaya bagi pemeliharaan dan penyelenggaraan GKT bersumber dari subsidi
Pemerintah Daerah Tk.II Tasikmalaya dan usaha-usaha lainnya yang (oleh BPGKT,
red).
4.
Pengaturan lebih lanjut sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya itu ditetapkan
dan diatur oleh BPGKT.
5.
Pengurus BPGKT bertanggung jawab secara langsung kepada Bupati dengan masa
kepengurusannya selama tiga tahun terhitung sejak tanggal penetapannya.
6.
Seperti biasa, selalu ada kata Surat Keputusan tersebut berlaku sejak tanggal
ditetapkan yakni 14 agustus 1998 dengan ketentuan akan diadakan perubahan dan
atau perbaikan sebagaimana mestinya, apabila di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan dalam penetapannya.
Adapun susunan personalia BPGKT saat itu
adalah; Pelindung diambil langsung oleh Bupati, tim Penasihat terdiri dari
Kepala Kandepdikbud Tasikmalaya, Walikota Tasikmalaya, Kepala P&K serta
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya. Sementara Posisi Ketua BPGKT untuk
pertama kalinya itu dipegang oleh Drs. H. Eddy Herdiman dengan wakilnya Drs. Djodjo Nuryanto. Sekertaris
ditangani oleh Saeful Badar dengan wakilnya Drs.Soni. Sedangkan untuk Bendahara
diamanatkan kepada Ny. Hj. Edddy Herdiman dengan Wakilnya Idi Syamsudin.
Selain posisi yang telah disebutkan di
atas, maka dibentuk pula seksi-seksi dalam tubuh BPGKT. Meliputi Seksi
Dana/Usaha, Seksi Humas, Seksi Publikasi, Seksi Dokumentasi, Seksi Pemeliharaan
dan Pengembangan, juga Seksi Program yang terdiri dari Bidang Teater, Seni
Rupa, Pedalangan, Tari Musik, Karawitan, dan Kesenian Tradisional. Dan yang
terakhir adalah Kesekretariatan.
Jadi, setelah 11 hari terbentuknya BPGKT
itu, maka diresmikanlah GKT oleh Gubernur Jawa Barat dalam suatu ritual
kebudayaan yang unik dan artistik.
Perkembangan
BPGKT
Untuk sementara waktu, BPGKT dapat
berjalan dengan pola adumanis antara
seniman dengan unsur pemerintahan. Namun beberapa tahun kemudian menjadi tidak
efektif. Hal ini bisa saja disebabkan oleh gemuknya personalia yang mencapai 34
orang. BPGKT tidak berjalan seperti apa yang diharapkan semula. Yang kerja,
kerja. Tapi yang tidak bekerja juga lebih banyak. Seperti silih tembleuhkeun.
Tapi ini dapat dimaklumi, mengingat
hampir separuh dari personallia BPGKT ini adalah PNS aktif, orang-orang
pemerintahan yang sudah barang tentu punya kesibukan atau tanggung jawab
lebih besar kepada tugas pokok dan
fungsinya sebagai abdi negara.
Yang tadinya BPGKT bertanggungjawab
langsung kepada Bupati, namun setahun kemudian terbitlah sebuah Surat Keputusan
Bupati Tasikmalaya Nomor : 431.21/sl.248-Sos/1999 tentang Penunjukan Kepala
Dinas Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup sebagai Penanggung Jawab
Pengelola Sarana Olah Raga dan Gedung Kesenian Tasikmalaya di Lingkungan Dadaha
Tasikmalaya.
Sepertinya, akibat peralihan kewenangan
dari Bupati kepada Kepala Dinas terkait inilah awal mula konflik vertikal
terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap GKT kian hari semakin memprihatinkan.
Adanya kebuntuan komunikasi terhadap penafsiran Perda dan kewenangan
masing-masing pihak, tidak menghasilkan kesefahaman yang produktif. Semua
merasa benar sendiri.
Misalnya di dalam hal kewajiban pengurus
BPGKT untuk menyerahkan hasil sewa GKT yang sesuai target yang besarannya tarif
sewanya itu disesuaikan dengan Perda yang ada. Tentu saja pihak seniman
menolak. Alasannya, jangankan untuk memberikan PAD, untuk biaya merawat GKT
saja tidak mampu. Apalagi pihak pemda tidak membiayai perawatan BPGKT secara
rutin. Sementara pihak Dinas terkait punya dalih harus memenuhi target tahunan.
Buntu.
Hal lainnya yang sangat berdampak
signifikan pada GKT akibat lemahnya posisi BPGKT saat itu adalah dengan adanya
situasi politik. Saat itu dalam suasana peralihan kekuasaan puncak di
Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Akhirnya, Bupati Suljana yang dikenal dekat
dengan seniman harus diganti oleh H. Tatang Farhanul Hakim pada tahun 2001. Dan
sejak tahun 2001, secara hirarki, BPGKT tidak lagi di bawah Bupati, melainkan
di bawah Dinas Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Yang menandatangani
SKnya pun Kepala Dinas.
Kepengurusan BPGKT mulai goyah.
Unsur-unsur personalia dari pemerintahan mulai mengambil jarak. Sementara pihak
seniman terus berupaya menghidupi dirinya sendiri. Personalia BPGKT yang
tersisa akhirnya hanya seniman, tanpa melibatkan unsur pemerintahan.
Efektivitas dan efisiensi menjadi alasan. Tapi secara fisik dan psikis GKT
terus mengalami kemunduran.
Sejarah mencatat, sejak dilantik hingga
berakhirnya jabatan sebagai Bupati Kabupaten Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim
tidak pernah sekali pun menginjakan kakinya di GKT. Guntreng soal aset Pemkab dan Pemkot pun jadi alasan paling kuat
terjadinya pembiaran rusaknya GKT.
Tahun 2001 BPGKT dipimpin oleh
Drs.Djodjo Nuryanto, M.Hum. Beberapa tahun kemudian digantikan oleh Drs.Enung
Sudrajat, M.Pd pada 2005-2011. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan GKT terus dilakukan. Perbaikan alakadarnya, dan pengadaan barang
sekemampuan pula. Tapi tetap saja, hal itu tak pernah cukup untuk membuat GKT
bernilai lebih. Apalagi, gesekan antar seniman yang berkepentingan terus
bergulir di wilayah “perebutan lapak” di GKT. Wacananya minor sekali. Serta
jauh dari wacana-wacana kreatif kekaryaan. GKT kian dijauhi, juteru oleh
senimannya sendiri. Mengerikan. (bersambung)
Dimuat pertama kali di Harian Kabar
Priangan, 28 Januari 2015
.....................................................................................................................
( BAGIAN II )
MERESTORASI FUNGSI DAN CITRA GKT
( BAGIAN II )
MERESTORASI FUNGSI DAN CITRA GKT
Oleh : Irvan Mulyadie
Bersamaan dengan diangkatnya kembali
kepengurusan periode terakhir, 2010-2011 yang masih dimandatkan kepada
Drs.Enung Sudrajat, M.Pd sebagai ketua BPGKT, saya juga dipercaya sebagai agen
penghubung antara BPGKT dan pihak Pemkab Tasikmalaya dalam posisi sebagai Ketua
Pengawas Pengelolaan GKT bersama dengan beberapa rekan PNS lainnya di
lingkungan pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya.
Tugasnya antara lain, sebagai partner BPGKT didalam hal pengawasan
pelaksanaan program kerja yang telah disusun, membuat telaah mendasar sebagai
bahan evaluasi BPGKT di masa depan, serta yang paling utama adalah melakukan
upaya penyambungan tali komunikasi yang sudah putus sejak lama, antara pihak
seniman dengan pemerintah. Dan berhasil.
Pihak pemerintah kabupaten mulai melunak
pasca Bupati Tatang digantikan oleh H.UU Ruzhanul Ulum setelah 10 tahun
menjabat. BPGKT juga mulai kompromi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai
idealisme kesenimanannya. Sungguh mengharukan dapat menyaksikan kebersamaan
seniman dengan pihak pemerintahan lagi. Sebab bagaimana pun, mengurus aset yang
begitu besar semacam GKT memerlukan kerjasama berbagai pihak dan membutuhkan
biaya besar.
BPGKT akhirnya diberi keleluasaan penuh
untuk mengelola GKT. Meskipun tanpa diberi beban lagi target PAD, tapi berkewajiban
untuk tetap memelihara dan memperbaikinya. Banyak kemajuan yang dapat
dirasakan. BPGKT mulai terbuka dengan pihak luar. Tapi dua tahun terakhir
kepengurusan Enung Sudrajat (Alm), masih menyisakan PR besar pada periode
selanjutnya. Terutama di wilayah pembenahan fisik bangunan, sistem manajerial
dan pemberdayaan sumber daya manusia.
Sementara itu di Kota Tasimalaya, sedang
terjadi perebutan kekuasaan. Yang akhirnya dimenangkan oleh Drs. H. Budi
Budiman. Seorang kandidat yang berasal dari partai yang sama dengan Bupati Uu Ruzhanul Ulum.
Jadi perhitungannya saat itu, persoalan aset Pemkot dan Pemkab akan segera
teratasi.
Periode Terakhir
Pada 30 April 2012, melalui SK Nomor
: 650/402/SK-BPGKT/DISTARKIM/2012 yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Ruang
dan Permukiman Kabupaten Tasikmalaya, saya diangkat sebagai Ketua Badan
Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya untuk periode 2012-2015. Adapun
Sekretarisnya adalah Nur Achmad Rus, S.Sos (melanjutkan dari periode
selanjutnya, 2010-2011) serta yang menjadi Bendahara adalah Danto Herdianto,
S.HI (eks.personalia BPGKT tahun 2005-2010). Saya sendiri sebelumnya pernah
terlibat sebagai personalia BPGKT tahun 2005-2010 di kesekretariatan.
Sebuah beban moral yang tinggi.
Mengingat latar belakang saya dan saudara Nur Achmad Rus adalah bagian dari
karyawan Pemkab Tasikmalaya. Kami takut kalau hal ini akan dipelintir oleh
pihak-pihak yang tidak suka secara personal untuk mempermasalahkan posisi saya
dan rekan-rekan nantinya.
Tapi
berbagai dukungan terus mengalir, baik dari seniman teater, seni rupa,
musik, sastra, film bahkan seniman tradisional. Ini tentu sangat membesarkan
hati. Menyemangati dan berani membentengi.
Dan hal yang pertama kami lakukan
setelah menerima SK adalah melaksanakan sosialisasi bersama kepada masayarakat
kesenian Tasikmalaya dengan kepengurusan BPGKT terdahulu. Baik melalui
pertemuan teknis maupun kunjungan-kunjungan kecil ke komunitas-komunitas seni.
Blusukan, istilahnya. Tujuannya yaitu evaluasi kinerja, menyerap aspirasi
seniman dan merancang strategi ke depan untuk perbaikan GKT.
Kepengurusan
Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BPGKT) periode 2012-2015 merupakan
bentuk kepengurusan yang paling simpel secara struktur sepanjang sejarah
kepengurusan BPGKT sejak tahun 1998. Di dalam SKnya, hanya ada Ketua,
Sekretaris dan Bendahara. Dan hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang
mesti dihadapi di lapangan. Apa sebab?
Karena
permasalahan yang dihadapi oleh kepengurusan periode sekarang ini lebih
kompleks dan sangat berat untuk dihadapi. Baik dari segi fisik maupun secara
psikis. Memang, kondisi GKT sudah sangat memprihatinkan. Bahkan di luar nampak
seperti Rumah Hantu tanpa penghuni. Kotor dan menyeramkan. Dimana-mana perlu
mendapatkan perbaikan yang krusial. Dan ini tidak boleh ditunda-tunda lagi.
Sebab berhubungan langsung dengan keselamatan jiwa dan kenyamanan para pengguna
GKT itu sendiri.
Aspek
psikologis dari masyarakat umum yang cenderung minus terhadap citra GKT yang
juga mesti diperbaiki. Inilah yang paling berat diwujudkan. Karena stigma
negatif ini telah ditorehkan cukup lama oleh beberapa oknum pengurus BPGKT
sendiri. Baik yang secara resmi ditunjuk berdasarkan SK, maupun pengurus
bayangan yang sama sekali tidak jelas ‘jenis kelaminnya’.
Belum lagi
persoalan politis antara Pemkot dan Pemkab yang seakan-akan saling menyandera
kepentingan dalam bentuk penggantungan atas status beberapa aset publik. Dan
yang paling parah dan menyedihkan, ternyata GKT sendiri seperti telah
ditinggalkan oleh semua orang. Bahkan oleh para senimannya sendiri.
Maka dengan
demikian pengurus BPGKT yang baru memandang perlu mempunyai visi dan misi yang
jelas dalam rangka penyelamatan aset kebudayaan yang berharga mahal tersebut.
Mengingat hal-hal negatif yang telah disebutkan di atas, tidak terlepas
-justeru- dari faktor-faktor yang diakibatkan senimannya sendiri, baik sebagai
pengurus maupun pemakai.
Hal tadi terjadi
dan dapat ditengarai, disebabkan oleh karena longgarnya sistem kepengurusan
yang diterapkan. Indikasinya, meskipun banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap
tata tertib pemakaian GKT, misalnya, namun tidak pernah ada sekali pun
ditemukan adanya tindakan hukuman oleh BPGKT terhadap si pelanggar tersebut.
Tentu saja hal yang demikian menjadi bumerang liar bagi BPGKT. Di satu sisi
ingin bekerja secara profesional, namun di sisi lainnya ada pengaruh dari
faktor-faktor “keakraban” terhadap si pelanggar yang mengakibatkan banyaknya
permakluman-permakluman dari BPGKT yang semestinya tidak perlu.
Minimnya
kualitas dan kuantitas komunikasi antar pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap GKT dimasa lalu, merupakan titik lemah yang juga diwaspadai oleh
kepengurusaan BPGKT. Jangan sampai di kemudian hari, pengelolaan GKT tercampur
dengan kepentingan lain yang tidak perlu bahkan akan merugikan semua pihak.
Pada dasarnya
kepengurusan GKT itu bukanlah tentang permasalahan politis, tapi murni
persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara praktis. Bagaimana misalnya GKT
dapat menjadi tempat yang fungsional terhadap berbagai produk pertunjukan
secara dinamis, bernilai estetis tapi juga dapat menunjang secara ekonomis bagi
seniman Tasikmalaya. Dan hal ini penting untuk segera diwujudkan.
BPGKT saat itu terus berbenah dengan berbagai
program kerja yang progresif. Tindakan cepat dan tepat mutlak harus dilakukan
untuk mengejar ketertinggalan dalam banyak hal. Walau pun dalam jangka pendek
tidak sampai pada tahap rehabilitasi, tapi BPGKT telah melakukan restorasi
disana-sini. Dengan konsep dan mekanisme kerja yang jelas, alur birokrasi yang
dipangkas disertai dengan penerapan sistem yang tegas dan berwibawa. Terutama
di dalam hal teknis manajemen pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian sistem
di lapangan. Bahkan menerapkan manajemen yang transparan dengan melibatkan
pihak perbankan di dalam tata kelola keuangannya.
Pekerjaan
Rumah
Semenjak
SK tentang ditunjuknya pengurus Badan Pengelola Gedung Kesenian yang baru
periode 2012-2015 terbit, anggota BPGKT telah merapatkan barisan untuk segera
merespon segala hal yang menyangkut berbagai strategi dan kebijakan yang mesti
ditempuh dalam penanganan Gedung Kesenian Tasikmalaya. Salah satunya yaitu
dengan merumuskan berbagai persoalan yang ada di lapangan, dan kemudian
menetapkan program yang sesuai dengan arah pemecahan atas masalah-masalah
tersebut.
Solusi
yang ditemukan antara lain dengan peluncuran progran 5 Restorasi GKT. Restorasi
yang dimaksudkan adalah perbaikan-perbaikan kecil terhadap 5 penyangga
keberhasilan Gedung Kesenian Tasik ke depan yang sesuai dengan tuntutan jaman.
Kenapa cuma restorasi? Bukannya
rehabilitasi atau revitalisasi? Jawabannya ya tadi itu, disesuaikan dengan
kondisi yang ada saat itu. Baik kondisi fisik GKTnya, individu BPGKTnya
sendiri, maupun perihal yang menyangkut beban biaya.
Adapun 5 hal tersebut yaitu :
1.
Restorasi
Fisik Bangunan GKT
Yakni
dengan mengembalikan fungsi-fungsi fasilitas yang ada di GKT seperti toilet dan
ruang-ruang lainnya, pengecatan bangunan, pengadaan lampu-lampu panggung,
perbaikan sound system, perbaikan sistem drainase, penggantian kaca-kaca yang
pecah, perbaikan jaringan listrik, plafond, dll.
2. Restorasi Kebijakan BPGKT
Dengan
membuat dan menerapkan aturan-aturan main yang jelas dalam pemakaian GKT,
berikut dengan pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap pelanggar aturan
tersebut. Tanpa pandang bulu dan tanpa pilih kasih. Hal ini penting untuk
eksistensi BPGKT sebagai lembaga yang kredibel untuk semua kalangan, baik
terhadap seniman maupun masyarakat lainnya.
3. Restorasi Manajemen
Memperbaiki
sistem manajemen BPGKT menuju ke arah profesional dan transparan. Salahsatu
diantaranya membuka ruang komunikasi dengan berbagai pihak yang kompeten dan
berkepentingan, membuka peluang kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan
pemerintah maupun dengan pihak-pihak swasta dalam rangka pengembangan GKT yang
lebih baik.
4. Restorasi Fungsi GKT
GKT
di masa depan, tidak lagi sekedar sebagai tempat pertunjukan semata, melainkan
akan lebih dioptimalisasikan menjadi multi fungsi, seperti tempat pelatihan
resmi kesenian-kesenian yang berkembang di Tasikmalaya, baik seni tradisional,
modern maupun kontemporer. Dan bila memungkinkan GKT juga akan difungsikan juga
sebagai penunjang kegiatan lainnya yang sejalan dengan seni dan kebudayaan
seperti tempat pameran produk-produk kriya dan produk kreatif lainnya.
5. Restorasi Citra
Yakni
memperbaiki wacana minor tentang GKT dari pihak internal seniman maupun dari
masyarakat umum dan pemerintah. Strateginya sederhana, kerjasama.
Dalam masa
kepengurusan hingga akhir 2013, telah banyak capaian yang dihasilkan. 5 program
restorasi pun telah dapat diwujudkan meski dengan perlahan-lahan. Berbagai
kebutuhan peralatan panggung seperti lighting hampir tercapai sempurna. Seniman
sudah kembali menggunakan GKT dengan tanpa keraguan lagi. Masyarakat umum pun
mulai sering berkunjung lagi.
Tapi masih ada
kelemahan yang belum dapat diatasi, yaitu menghadirkan pegawai dan penjaga
keamanan secara profesional. Artinya, BPGKT belum mampu menggaji personilnya
secara manusiawi selayaknya orang bekerja di perusahaan. Nyaris seluruh
personil BPGKT bekerja secara sukarela. Ada pun honor yang diberikan ketika ada
pertunjukan atau gedung sedang disewa, itu hanya alakadarnya. Sebagai pengganti
makan atau minum kopi pada hari itu saja. Tak ada lebihnya untuk dibawa pulang
ke rumah.
bersambung....
Dimuat pertamakali di Harian Kabar priangan, 4 Februari 2015
..........................................................................................................................................
( Bagian III - Habis )
SEJARAH YANG TERULANG DAN ANTI KLIMAKS
SEJARAH YANG TERULANG DAN ANTI KLIMAKS
Oleh : Irvan Mulyadie
Tepat pada tanggal 31 Desember 2013, GKT memasuki
babak baru dalam sejarah perjalanannya. Sebab di hari itulah Bupati Tasikmalaya,
H. Uu Ruzhanul Ulum mengumumkan secara resmi dan terbuka tentang penyerahan
sebagian aset Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang masih berada di wilayah Kota
Tasikmalaya kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya. Beberapa diantaranya adalah
aset-aset yang berada di kawasan kompleks olahraga Dadaha.
GKT pindah
kepemilikan
Jadi, pertanggal 1 Januari 2014, Gedung
Kesenian Tasikmalaya juga secara resmi menjadi milik Pemkot Tasikmalaya. Momen
bersejarah ini tentu saja mendapatkan apresiasi luar biasa dari masyarakat Tasikmalaya
pada umumnya. Mengingat sejak terjadinya pemisahan pemerintahan Tasikmalaya
menjadi Pemkot dan Pemkab pada 17 Oktober 2001 melalui terbitnya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2001, persoalan yang paling pelik serta tak kunjung selesai
adalah masalah pembagian aset. Dalam berbagai kesempatan, hal ini sering memicu
ketegangan secara politis di antara keduanya.
Bagi kami sebagai Badan Pengelola Gedung
Kesenian (BPGKT), peralihan penguasaan aset ini sangat melegakan, dan tentu
saja membawa harapan besar. Bagaimana pun, sejak terbelahnya Tasikmalaya
menjadi dua daerah otonom, nasib GKT semakin tak terarah. Di satu sisi, secara
kepemilikan masih dikuasai Pemkab, namun di sisi lainnya, GKT berada di wilayah
Pemkot. Akibatnya, GKT seperti terlantar dalam dilema yang pragmatis.
Sejak saat itu, GKT tidak lagi tersentuh
secara fisik. Pemkot, tentu saja tidak sudi untuk menyalurkan dananya, sebab
tak ada kewenangan untuk itu. Bahkan ada semacam parodi, bila aset yang ada di
wilayah kota tersebut diperbaiki oleh pihak Pemkot, maka itu sama saja seperti
mempercantik istri orang lain.
Sementara pihak Pemkab sendiri sudah
demikian kalkulatif, yakni jangankan untuk memperbaiki atau sekedar merawat
aset-aset yang ada di wilayah kota, biaya untuk membangun fasilitas
pemerintahannya di lokasi yang baru pun tidak ada.
Di awal tahun 2014 itu juga secara
struktur, untuk pertama kalinya, penanggung jawab pengelolaan GKT tidak lagi di
bawah Dinas Permukiman (Cipta Karya). Melainkan ada di bawah kewenangan Dinas
Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (DISPARBUDPORA). Namun demikian,
untuk masalah penanganan fisik bangunan seperti proses rehabilitasi bangunan,
kewenangan tetap ada pada Dinas Cipta Karya.
Pemilik Baru,
Masalah Baru
Setelah peristiwa bersejarah yang
telah disebutkan di atas, secara administratif posisi BPGKT menjadi sedikit
rancu. Sebab, terakhir kali kepengurusan BPGKT yang diangkat oleh Pemkab
Tasikmalaya, dalam SKnya adalah dari tahun 2012 hingga 2015. Sementara di tahun
2014, GKT sudah berpindah kepemilikan menjadi hak Pemkot Tasikmalaya.
Sesungguhnya, jauh sebelum adanya
peralihan aset ini, BPGKT sudah demikian aktif melakukan komunikasi dengan
pihak Pemkot Tasikmalaya. Terutama dengan pihak Disparbudpora. Namun demikian,
karena ketidak jelasan status aset GKT, serta banyak bergonta-gantinya pejabat
terkait akibat rotasi mutasi di lingkungan Pemkot, komunikasi yang dijalin
tersebut sering kali patah di tengah jalan. Sementara saat dilanjutkan dengan
pejabat penggantinya, kadang tak nyambung. Maklum saja, sebab masing-masing
pihak punya kepentingan sendiri-sendiri.
Pada hari Selasa, 11 Maret 2014,
saya diundang dengan kapasitas saya sebagai Ketua BPGKT oleh Pemkot Tasikmalaya
dalam seremonial peresmian proyek-proyek tahun 2013 di Kecamatan Cihideung.
Lokasi kegiatan tersebut di kompleks Taman Dadaha. Acara tersebut dihadiri juga
oleh seluruh unsur Muspida Kota Tasikmalaya.
Dalam sambutannya, Walikota
Tasikmalaya Drs. H. Budi Budiman berjanji untuk membangun dan memperbaiki
fasilitas publik yang ada di sekitar Dadaha. Termasuk Gedung Kesenian yang
rencananya akan direhabilitasi dengan anggaran sekitar 1 Miliar Rupiah. Tentu
saja kabar gembira itu mendapatkan ‘tepuk tangan’ yang meriah.
Hal ini telah membuktikan komitmen
Walikota sendiri terhadap apa yang telah dijanjikannya pada saat masa kampanye
Pilkada dulu. Salah satunya yakni tentang penuntasan masalah aset dengan Pemkab
Tasikmalaya, serta akan memperbaiki aset-aset tersebut untuk mengoptimalkan
fungsinya.
Tapi sayang, didalam perjalanannya,
proses rehabilitasi yang berlangsung sejak September hingga akhir Desember 2014
ini tidak menghasilkan bangunan GKT seperti yang diharapkan. Hasil pekerjaan
nampak sekali kurang berkualitas. Elemen yang semestinya tidak perlu diganti
karena masih layak, malah dibongkar. Sedangkan bagian yang benar-benar
membutuhkan perbaikan dibiarkan begitu saja. Tentu saja hal ini sangat
mengecewakan.
Padahal sejak jauh-jauh hari pihak BPGKT
telah mewanti-wanti supaya dana yang sangat besar itu dimanfaatkan secara
maksimal dan tepat sasaran. Sayangnya, pihak BPGKT tidak dilibatkan secara
resmi di dalam pelaksanaannya. Tentu tidak mempunyai keleluasaan untuk
mengontrol kualitas, atau sekedar memberi saran.
Bahkan di dalam perjalanannya, proses
Rehabilitasi GKT ini telah membuat berbagai peralatan vital GKT raib. Ada pun
barang-barang yang hilang tersebut antara lain jaringan kabel Lighting panggung, lampu-lampu khusus
untuk pertunjukan, pendingin ruangan, power
soundsystem, serta banyak lagi fasilitas lainnya. Yang kalau dinominalkan
bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Tapi anehnya, baik dari pihak pemborong
selaku pelaksana proyek maupun dinas terkait, sampai hari ini belum ada yang
menyatakan secara resmi untuk bertanggung jawab atas insiden itu. Apalagi
menggantinya. Semua nampak jadi serba berbelit-belit.
Masalah lain, sejak berpindahnya kewenangan
pengelolaan ke Disparbudpora Kota, eksistensi BPGKT kian tak jelas. Yang terasa
adalah, peran BPGKT menjadi kian dipersempit pergerakannya. BPGKT hanya
berwenang untuk menangani hal-hal teknis saja seperti menangani kebersihan dan
mempersiapkan pertunjukan semata. Sementara hasil penyewaan gedung harus
disetorkan langsung ke pihak Pemkot. Masih mending kalau pengelolaan GKT itu
sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, tapi ini tidak. BPGKT tetap harus
membiayai dirinya sendiri. Kondisi ini lebih parah dari saat GKT masih dikuasai
oleh Pemkab Tasikmalaya.
Bahkan, dari sisi program
penyelenggaraan acara yang akan dipentaskan di GKT, Disparbudpora lebih memilih
untuk membentuk kepanitiaan sendiri dengan membuat suatu presidium yang isinya
tidak mencerminkan seluruh aspirasi masyarakat kesenian Kota Tasikmalaya.
Sehingga mau tak mau, suasana berkesenian di Tasikmalaya ini jadi memanas.
Bahkan kelompok-kelompok yang berkompetensi seperti Sanggar Sastra Tasik,
Teater Bolon, Borelak, dan banyak lagi yang lainnya menarik diri dari kegiatan
tersebut.
Sangat disayangkan, sebab
komunitas-komunitas tadi adalah komunitas yang sudah tidak diragukan lagi
eksistensi serta prestasinya di bidangnya masing-masing. Dan sudah sering
mengharumkan nama besar Kota Tasikmalaya, baik di tingkat regional maupun pada
tingkat nasional.
Dan lagi-lagi, BPGKT tidak dilibatkan
secara proporsional di dalam penyelenggaraan acara yang diprediksi akan
menghabiskan APBD ratusan juta rupiah. Padahal secara pengalaman dan kapasitas,
BPGKT yang diisi oleh aktivis seni ini cukup mumpuni. Ini saya sampaikan, bukan
karena ada nilai uang yang besar di dalam kegiatan tersebut, melainkan secara
teknis di lapangan, GKT membutuhkan fasilitas yang memadai untuk menunjang
kegiatan-kegiatan kesenian tersebut. Sebab hari ini, GKT seperti wanita cantik
di luarnya, namun penuh penyakit di dalamnya.
Dari sini sudah jelas, niat tulus
Walikota Tasikmalaya untuk memperbaiki dan memakmurkan gedung kesenian belum
dapat diterjemahkan dengan baik oleh jajaran birokrasi di bawahnya. Hal ini sudah
saya sampaikan pada berbagai kesempatan supaya mendapatkan perhatian dari
pihak-pihak terkait. Salah satunya ketika saya bersama-sama Forum Warga
Tasikmalaya beraudiensi dengan Walikota Tasikmalaya pada 3 Februari 2015 di
Balekota, yang diterima oleh Wakil Walikota, Sekda Kota dan dihadiri pula oleh
Ketua DPRD Kota Tasikmalaya. Namun sampai tulisan ini diturunkan, belum ada
tanda-tanda ke arah perbaikan yang signifikan.
Saya jadi teringat peristiwa pada lebih
dari 17 tahun silam. Ketika pembangunan Gedung Kesenian Tasik tidak pernah
melibatkan kalangan seniman, sehingga hasilnya seperti bukan untuk gedung
pertunjukan. Juga pembentukan Dewan Kesenian yang hanya menimbulkan perpecahan
di antara pegiat kesenian. Ini seperti pengulangan sejarah. Sejarah yang anti
klimaks. Peun !
Tasikmalaya, 10 februari 2015
(Dimuat pertamakali di Harian Kabar Priangan, 11/02/2015, Halaman 14, Rubrik Budaya)
Komentar
Posting Komentar