Pentas Teater Dongkrak

MENUNGGU GODOT
Oleh : Irvan Mulyadie


Apa yang terjadi, kalau ternyata sebuah pertanyaan tidak menemukan jawabannya? Atau apa yang selalu kita nantikan tidak pernah datang? Mungkin gelisah, cemas, perasaan kosong, dan sia-sia. Ya, setidaknya itulah yang disajikan oleh Teater Dongkrak dalam pentas Menunggu Godot karya Samuel Beckett (1906-1989) dan disutradarai Jabo Widiyanto, yang pementasannya masih berlangsung sejak 10-16 Agustus 2009 di Gedung Kesenian Tasik.


Sejarah Godot

Drama yang mengetengahkan “kekosongan” di sepanjang pementasannya itu seakan-akan membawa kita ke arah perenungan mendalam pada nilai-nilai yang sejatinya selalu menjadi pergolakan jiwa manusia. Drama ini menceritakan tentang perjalanan hidup dua orang sahabat, Didi (Vladimir) dan Gogo (Estragon). Selama ini mereka menantikan kedatangan seseorang bernama Godot. Mereka pun bersepakat bersama untuk bertemu di pinggir jalan, dekat sebuah pohon.

Ternyata, penantian itu menjadi suatu penantian yang sangat panjang. Dan sementara mereka menunggu, mereka melewatkan waktu dengan memperdebatkan hal-hal di sekitar mereka seperti sepatu, topi, pohon, peristiwa penyaliban ataupun kisah penyelamatan. Tetapi bukannya Godot kemudian yang datang, melainkan Pozzo dan Lucky, seorang tuan dengan budaknya. Dan itu pun berlangsung hanya beberapa saat saja.

Waktu terus berjalan dan mereka masih saja terus menunggu. Semua peristiwa terulang kembali. Nyaris seperti sebelumnya, obrolan-obrolan sepele, kedatangan lucky dan pozzo, serta utusan godot dengan berita yang sama. Semua itu dikemas Beckett tidak dengan bahasa yang suram, tidak jatuh dalam situasi yang tragis melainkan dalam bahasa yang lucu, unik, kadang komikal khas beckett yang pengungkapan monotomi hidup tidak terjebak pada irama yang membosankan. Bahkan terkesan sangat berat.

Menunggu Godot awalnya ditulis dalam bahasa Perancis pada 1948 dengan judul En Attendant Godot, Beckett's play dan dipublikasikan di Perancis pada Oktober 1952. Sedangkan pentas pertamanya terjadi di Paris pada bulan Januari tahun 1953. Tapi yang mengejutkan adalah dalam pentas perdananya tersebut banyak penonton yang merasa kecewa melihat pertunjukan tersebut. Sebabnya sudah pasti, karena Beckett sendiri dianggap telah membawakan teater yang bertolak belakang daripada kebiasaan pementasan teater pada jaman itu.

Naskah ini cenderung absurd. Namun yang terjadi kemudian malah dengan naskah inilah yang telah mengantarkan seorang Irlandia, Samuel Beckett pada kejayaannya dengan meraih hadiah Nobel Sastra pada tahun 1969. Dan percaya atau tidak, Beckett sendiri dianggap sebagai revolusioner drama yang paling berpengaruh pada abad 20.

Godot dan HUT RI

Ada yang sangat menarik bagi saya dengan pentas yang dibawakan oleh Teater Dongkrak kali ini. Yakni pementasan teater dengan judul Menunggu Godot ditengah-tengah persiapan Bangsa Indonesia yang akan menyambut hari ulang tahunnya yang ke-64 ini. Apalagi pementasan yang dianggap berat tersebut umumnya diperuntukan untuk apresiator pelajar setingkat SMA.

Memang, sesuai dengan cerita, drama ini merupakan suatu kritik tajam bagi bermacam persoalan manusia yang cenderung hanya menyisakan persoalan dengan jawaban serba tak memuaskan. Dan saya tidak tahu persis maksud Sutradara dengan membawakan lakon ini. Apalagi di tengah-tengah kelesuan wacana kreatif teater itu sendiri di Tasikmalaya.

Apakah ditujukan sebagai salah satu bahasa kritik terhadap nilai-nilai kemerdekaan yang senantiasa eksis diperingati tiap tanggal 17 Agustus? Atau Cuma kebetulan saja? Hanya yang jelas, benang merah antara makna kemerdekaan dan ‘Godot’ ada pada penantian panjang terhadap sesuatu yang masih bersipat semu belaka. Paling tidak itu yang dirasakan saya saat ini.

Euforia kemerdekaan yang ditandai dengan pesta rakyat dalam beragam bentuk dan versi tak selamanya mampu menjawab akan makna kemerdekaan itu sendiri. Bahkan di era kebebasan seperti sekarang pasca reformasi dikibarkan. Begitu pun dengan demokrasinya. Seperti menunggu Godot yang tak pernah datang. Kemerdekaan yang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang kosong dengan tanpa penyikapan secara nasionalime ke arah pembangunan yang lebih baik. Setidaknya dari segi mentalitas dan jiwa heroisme yang pernah didengungkan oleh para pahlawan terdahulu.

Kembali pada soal pementasan, agaknya Teater Dongkrak telah cukup dewasa dalam menafsirkan situasi yang diambil realita kehidupan kebangsaan saat ini meskipun memandangnya dari dalam bingkai seni budaya. Yang jelas, saya menganggap pentas ini sebagai kado perenungan bagi kemerdekaan Bangsa Indonesia yang akan genap 64 tahun pada 17 Agustus 2009.

Ya, meskipun secara teknis pentas ini masih kelihatan mencari-cari bentuk dan daya ucapnya. Hal ini terlihat dari ketidak utuhan ide dalam pemilihan kostum, artistik, dan musik yang masih pasif dan tidak menampakan terobosan yang baru. Bahkan dalam segi akting dan pengadegannya yang masih terlihat kateug. Namun sebagai peristiwa pertunjukan, pentas Menunggu Godot dari Teater Dongkrak ini masih cukup layak untuk diapresiasi. Bahkan banyak kejutan yang terkadang mengalir begitu saja. Penasaran? Nonton saja….!!!


Penulis adalah pengamat dan praktisi sosial budaya. Tinggal di Tasikmalaya.


Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Priangan tanggal 12 Agustus 2009

Komentar