Jejak Apresiasi Untuk Kumpulan Cerpen

PELANGI SELEPAS GERIMIS
Oleh : Irvan Mulyadie

            Menulis cerita pendek, tidaklah semudah yang dibayangkan. Apalagi jika ingin mencapai kualitas mutu tertentu di dunia sastra. Perlu perjuangan sungguh-sungguh dengan terus memperbanyak latihan menulis, membaca banyak referensi serta tak bosan-bosan menimba ilmu dari para ahlinya. Ini penting untuk calon cerpenis dan penulis lainnya. Sehingga karya yang dihasilkan mampu memberikan pengalaman batin yang lebih kaya dan unik kepada pembacanya, ada pesan moral yang disampaikan, dan tentunya mesti memiliki kekhasan tersendiri.


            Barangkali itulah catatan penting yang harus saya sampaikan setelah membaca kumpulan cerpen Pelangi Selepas Gerimis yang ditulis oleh anggota Komunitas Aksara Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya. Setidaknya, ada 23 cerpen yang disuguhkan. Berbagai tema hadir dengan cara dan gaya tuturnya masing-masing. Mulai tema kritik sosial, cinta, persahabatan dan relijius. Judul-judulnya pun menarik, bahkan provokatif.
            Di Balik Jendela karya Rina Suwangsih, secara bahasa, sudah cukup baik membangun suasana dalam cerpen ini. Dengan memilih gaya ungkap ‘aku’ misalnya. Hanya saja suasana yang dibangunnya itu terlalu kompleks. Sehingga apa yang diungkapkannya itu terasa seperti kumpulan lukisan abstrak di antara foto-foto yang realis. Tokoh Aku yang sejatinya ingin bicara banyak tentang pesan dan kesan dalam hidupnya, malah tergelincir ke arah Aku yang terlalu banyak bicara. Ini jelas berbeda. Bahkan Rina terkesan berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan cerpennya sepuitis mungkin. Ini bagus sebetulnya, jika itu diikuti oleh penceritaan yang bagus pula.
Kalau saja ceritanya dibikin sederhana, tidak dibebani unsur psikologis yang terlalu berat dari si tokoh Aku-nya itu, mungkin cerpen ini akan terasa pukulannya. Bagaimana misalnya si aku ini menceritakan saja secara agak detil tentang pengamatannya di balik jendela itu atas kejadian sehari-hari yang biasa terjadi di luar sana. Dengan penjelasan ruang-waktu yang jernih pula, maka tak menutup kemungkinan, dengan bahasa tutur seperti yang dilakukan Rina, akan menjadi karya yang bermutu.
Ada pun dengan Hujan Di Penghujung Mentari karya Via Fitriani, Untuk ukuran cerpen di Indonesia, cerita ini memang terlalu panjang, bahkan kalo ini dimuat di  majalah, pasti judul halamannya bukan cerpen, tetapi novelet. Nah, sekedar berbagi, sesungguhnya Hujan Di Penghujung Mentari karya Via Fitriani ini sudah menampakan upaya serius dari si penulisnya untuk menghasilkan suatu karangan utuh, detil, dan berusaha keras ingin mudah dimengerti.
Padahal, kalau saja ada rancang bangun yang ketat dan sabar, kisah ini akan selesai dengan hanya 2-3 halaman A4 saja. Tidak perlu sampai 14 halaman seperti yang telah disodorkan pada saya kemarin. Boros sekali itu. Artinya apa? Perlu ada revisi disana-sini mengingat kepanjangan cerpen itu sendiri adalah cerita pendek.
Untuk menggambarkan keakraban antara Aila dan Khansa bisa saja cukup dengan satu kalimat, misalnya : Ketika pertemuan itu terjadi, mereka begitu histeris, seperti saudara kandung yang telah lama dipisah samudera.
Satu kalimat ini sudah cukup efektif memberikan kesan kepada pembaca untuk membayangkan bahwa Aila dan Khansa memang sahabat dekat. Jadi saran saya untuk Via adalah, jangan terlalu emosional dalam menulis cerpen. Hemat energi, kalau sekiranya butuh ruang yang lebih luas untuk menyampaikan gagasan, sebaiknya dibikin novel saja. Dan sebaiknya pemilihan judul ini dipertimbangkan lagi, karena terkesan rancu. Mungkin akan lebih pas bila judulnya Hujan di Penghujung Hari. Sebab di mentari tidak pernah ada hujan.
Cerpen Ketika karya Reni Nurhasanah merupakan salah catu cerpen menarik dalam kumpulan ini. Walau pun bercerita tentang persahabatan dan cinta seperti kebanyakan cerpen yang lain, tapi Reni sudah keluar dari cara pikir pada umumnya. Kalau biasanya kita membaca cerita persahabatan yang diwarnai cinta segi tiga, tapi di dalam cerpen ini kita malah disuguhkan  dengan kisah persahabatan yang dibebani oleh tragedi pemerkosaan, dan bahkan diakhiri dengan adegan pembunuhan si tokohnya sendiri.
Kalau saja Reni sedikit bersabar dengan jangan dulu mengakhiri cerpennya, kisah ini akan berkembang menjadi kisah yang penuh teka-teki. Tapi harus logis. Jadi ini berbanding terbalik dengan cerpen Via yang harus ketat berhemat, justru Reni perlu mengembangkan cerita dengan lebih semangat lagi.
Dengan ketergesa-gesaannya, cerita yang sudah cukup bagus ini sedikit ternodai dengan beragam kejanggalan-kejanggalan yang seharusnya bisa menggiring kisah ini menjadi cerita misteri yang mengasyikan. Misalkan pembaca perlu diberi gambaran lebih pada sosok korban, bagaimana usaha kepolisian mengungkap sisi kejahatan, bagaimana reaksi pihak sekolah, teman-teman korban, surat kabar atau kantor berita, dsb.
Masih senafas dengan cerpennya Reni Nurhasanah, cerpen Buku Harga Diri karya Eli Nurlela Andriani berusaha menunjukan perbedaannya dengan sesama cerpen yang ada di kumpulan buku Pelangi Selepas Gerimis ini. Bahkan sudah menunjukan kualitasnya. Ini bisa kita amati dengan berbagai tekanan dan ungkapan psikologis si tokoh cerpen yang ternyata seorang penulis buku yang telah menyebabkan seseorang harus terancam posisi status sosialnya. Sebetulnya ini masih terbuka untuk terus dikembangkan lagi. Jangan tergesa-gesa ingin mengakhiri cerita. Ending yang menggantungkan kisahnya untuk diserahkan kepada pembaca agar menyelesaikannya sendiri membutuhkan usaha yang serius. Perlu pertimbangan matang.
            Membaca cerpen Teror karya Devi Anggareni, saya seperti diseret ke dalam pusaran labirin yang penuh jebakan. Saya mencoba menerka-nerka dari awal tentang apa yang ingin disampaikan cerpen ini, terus membacanya hingga ke tengah, sampai akhirnya dikejutkan dengan kesimpulan sederhana: Kematian!
Devi Anggraeni cukup berhasil membangun pertanyaan-pertanyaan visual yang menghipnotis pembaca untuk tetap bertahan dengan bacaannya. Dia mengumpamakan tubuhnya sebagai suatu organisasi struktural seperti tangan, mata, badan, atau otak sebagai bagian-bagian tersendiri. Satu sama lain saling berdaulat. Sosok otak telah kehilangan fungsinya sebagai pemimpin koordinasi di antara tubuh itu sendiri. Dan menyadari, tubuh itu hanyalah cangkang yang tak berarti apa-apa tanpa adanya Ruh.
Ini sangat menarik, tinggal sedikit lagi untuk mengasahnya hingga menjadi cerpen yang runcing. Pondok nyogok. Yang bisa menusuk lebih dalam lagi pada kesadaran manusiawi. Dan seandainya bahasa atau simbol-simbol biologis atau bahasa medis masuk dengan cara yang masif di cerpen ini, niscaya kekuatan hipnotisnya tidak akan terbendung lagi. Ini bagus, dan mengingatkan saya pada seorang Putu Wijaya yang selalu menyisipkan banyak teror ke dalam karya-karyanya.
            Ada pun dengan cerpen The Last Mosquito yang ditulis Pidi Mohamad Setiadi, secara teknis, cerpen ini telah dipikirkan cukup matang oleh pembuatnya. Alur cerita yang mengalir dari A sampai Z terasa ringan dan naif. Ini karena besar kemungkinannya, bahwa Pidi memang sengaja menulis cerita ini untuk kalangan anak-anak. Imajinasinya cukup liar meski nampak sederhana di dalam pengungkapannya.
Walau pun cerpen ini terkesan dibuat untuk anak-anak, namun kalau kita jeli, Pidi sebetulnya ingin menyampaikan juga tentang gagasan yang lebih besar, tidak hanya kisah cinta sepasang nyamuk terakhir, melainkan bicara tentang efek atau sebab dan akibat dari kemungkinan jika tidak adanya lagi nyamuk di dunia. Ia menduga, jika tidak ada nyamuk lagi, maka manusia akan terpengaruh juga kehidupannya. Itu seperti membalikan fakta yang ada.
Hari ini dan di masalalu, kita selalu menganggap nyamuk itu sebagai sosok yang jahat, vampir mungil yang dapat menyebabkan penyakit tertentu bagi manusia. Namun di sisi lain, nyamuk juga ternyata adalah pahlawan -justeru- bagi manusia itu sendiri. Bagaimana misalnya nyamuk-nyamuk itu berkontribusi terhadap perekonomian manusia. Dengan adanya pabrik kimia pembasmi serangga, misalnya. Sebab, Pidi yakin dalam cerpennya, kalo tidak ada lagi nyamuk di dunia, maka bisa dipastikan, sejumlah manusia akan kehilangan mata pencaharian, pekerjaannya. Ini terdengar naif, tapi itulah imajinasi.
Kekurangan dari cerpen ini hanyalah pada detil-detil kecil namun penting, seperti memperlakukan nyamuk dengan terlalu manusiawi. Akibatnya adalah kesan alami dari dunia binatangnya sendiri yang nyaris hilang tanpa bekas. Hal ini nampak seperti pada adegan seekor Laron yang harus menguburkan jasad Ibu Nyamuk dan telur-telurnya.
Short Message Untuk Ibu yang ditulis Santi Maulani agak unik. Semula, ketika memulai membaca cerpen ini, saya mengira akan mendapatkan kejutan berarti. Apalagi cerpen ini dibangun dengan fondasi yang cukup baik : Lala ingin mengungkapkan sesuatu pada Ibunya. Maka timbulah pertanyaan, apakah yang ingin disampaikan Lala pada ibunya? Latar belakang apa yang membuat Lala begitu sulit mengungkapkan perasaan pada Ibunya sendiri?
Dugaan yang muncul, berarti ada masalah yang besar atau perlu pertimbangan matang dalam pengungkapkannya. Ini seharusnya awal misteri yang patut dipecahkan. Tapi agak mengecewakan, ternyata cerpen yang singkat ini, seperti sms dari seseorang yang tak diharapkan. Nyaris tanpa ada pesan yang berarti di dalamnya. Sayang.
Cerpen Cintaku Menembus Awan karya Febri Rezki Putri, sebetulnya cukup menjanjikan. Itu terekam dengan tutur bahasa yang mengalir cukup lancar. Namun lagi-lagi, temanya masih klise. Membayangkan keindahan cinta itu memang mudah, namun untuk dapat menuliskannya dan menjadi rangkaian cerita, itu selalu menjadi masalah serius bagi para sastrawan pada umumnya. Apalagi jika harus menulis puisi cinta. Menghindari bahasa klise itu sangat sulit sekali. Perlu perjuangan khusus dan terus  menerus.
Namun sebagai penggambaran rangkaian cerita ini saya kira cukup baik. Ini terlihat dari kesadaran penulisnya yang melek ruang dan waktu. Sehingga informasi visual dari cerpen ini terasa akrab di hadapan pembaca. Dan ini perlu terus dilatih.
Si Kecil Pengais Batu cerpen karya Dewi Novi Lestari, kalau saja cerpen ini konsisten dan fokus menceritakan sosok anak kecil pengais batu, niscaya ini akan semakin menarik untuk dibaca. Kenapa? Karena Dewi tengah menyodorkan suatu realita sosial yang meskipun dalam bentuk cerpen, namun di dunia nyata peristiwa-peristiwa seperti ini sering terjadi dan banyak diberitakan. Kisah ini bisa berkembang menjadi cerita inspiratif, menggugah sekaligus mengharukan. Tema-tema seperti ini patut dikembangkan.
Selanjutnya ada Mimpi  karya Ririn Riani Kartika. Cerpen ini sangat datar, namun selesai dengan baik. Ada kejutan tak terduga di akhir cerita. Walau ceritanya  masih kategori klise, Ririn sudah menulisnya dengan cara yang menggembirakan. Bagaimana ia telah bisa membagi-bagi ruang dan waktu hingga ceritanya jernih, terang benderang. Dan ini cukup menjanjikan.
Mengejar Bola Pingpong karya Ati Nurrohmah. Cerpen ini disajikan dengan detail bahasa teknis yang bagus. Paduan fiksi dan liputan berita olah raga. Inilah yang semestinya terus dikembangkan. Cerpen seperti ini tidak hanya enak untuk dibaca, tapi bisa menjadi bahan edukasi pula. Lebih lanjut, mampu memberikan pesan moral yang baik sebagai motivasi diri untuk bisa hidup lebih  baik. Cerpen Mengejar Bola Pingpong adalah salah satu favorit saya di kumpulan ini.
Sebetulnya masih ada lagi beberapa cerpen yang menurut saya cukup bagus dan layak mendapatkan apresiasi. Semisal Mayit? Uuu takut!  karya Helmi Hidayat yang menyuguhkan humor pesantren dengan kental. Juga Seekor Lalat dan Sungai Kehidupan karya imajinatif dari Pidi Mohamad Setiadi. Ada pula Cinta Batu Niza  yang ditulis Eli Nurlela Andriani, terasa imajinatif, cerpen tentang cinta yang dituturkan dengan cara yang tak biasa. Menarik. Juga dengan cerpen Bahasa Semesta karya Reni Nurhasanah. Itu merupakan cerpen yang cukup bagus. Namun logika cerita kurang diperhitungkan. Bagaimana mungkin misalnya perbudakan bisa terjadi, sementara pihak kepolisian sepertinya dekat dengan tempat kejadian perkara?
Sementara untuk cerpen-cerpen yang lainnya yang didominasi tema-tema cinta seperti Cinta Sepotong Keju karya Nisa Nurlaila, Dalam Lamunan dan Harapan  karya Fida Amatillah, Manusia Kucing Pink  karya Diana Anggraeni Aprianti, Senja dan Hujan  karya Rina Suwangsih, Bintang  karya Santi Maulani, Takdir  karya Widya Wardhani Sutiana, Tentang Bayu karya Rra, serta cerpen Indah Pada Saatnya masih harus diasah dengan lebih baik lagi.
Cinta memang sangat indah bila dirasakan, namun selalu saja sulit untuk dapat diungkapkan hanya dengan kata-kata. Bahkan untuk seorang sastrawan sekalipun. Perlu strategi tersendiri dalam pengucapannya. Supaya tidak terjebak dalam kisah-kisah yang klise. Tapi memang, cerita tentang cinta selalu kuat untuk menggoda.

Tulisan disampaikan dalam peluncuran kumpulan cerpen Pelangi Selepas Gerimis
Di Kampus UPI Tasikmalaya, 9 Februari 2014. Dan dimuat di Lembar Budaya Harian Radar Tasikmalaya, di hari yang sama. 

Komentar