Menggagas Kampung Kreatif

Oleh : Irvan Mulyadie

MEA adalah ‘hantu pengganggu’ sekaligus ‘malaikat keberuntungan’. Itu peluang dan tantangan yang mesti kita ambil. Kita tidak lagi bisa berjalan mundur untuk membatalkan kesepakatan tersebut. Jalan satu-satunya yang harus diambil adalah bertarung sampai daya penghabisan. Tong kumeok memeh dipacok.

Ya, sejak 31 Desember 2015, pemimpin di Asean telah sepakat membentuk dan memberlakukan  sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Hal ini dilaksanakan supaya daya saing negara-negara anggota Asean meningkat. Paling tidak mampu menyaingi Cina dan India dalam rangka menarik investasi asing. Penyerapan modal asing sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan kerja. Tujuannya satu, yakni meningkatkan kesejahteraan.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sebagai istilah dari pasar tunggal, memungkinkan satu negara memperjual belikan barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh asia tenggara. Dengan demikian kompetisi akan semakin ketat. Perang terbuka dalam soal harga dan kualitas barang pastinya akan sulit dihindarkan.
Mau tidak mau, sumber daya alam milik kita mesti lebih dioptimalkan penggunaannya. Perlu nilai tambah dengan tidak lagi memperjual belikan barang mentah. Rela atau pun tidak, sumber daya manusia Indonesia pun harus ‘head to head’ dengan pekerja profesional asing yang segera akan membanjiri negara yang terkenal sebagai eksportir tenaga kerja murah ini.
Tidak hanya barang dan jasa pokok yang menjadi kebutuhan hidup seperti sembako dan tenaga ahli, tidak menutup kemungkinan, pasar terbuka ini juga akan menggerus kearifan lokal bangsa kita. Terutama dalam seni dan budaya. Lalu apa yang harus dilakukan?
Peningkatan Daya Saing
Yang pertama kali harus disiapkan bangsa ini adalah peningkatan daya saing. Peningkatan kualitas produk dengan suatu sistem pengendalian mutu yang ketat namun fleksibel sesuai tingkatan kemampuan. Serta penyediaan tenaga ahli yang benar-benar mumpuni.
Suatu persaingan / perlombaan selalu mempunyai dua sisi yang khas, yakni pihak yang kalah dan pihak pemenang. Ada banyak faktor penentu dalam peristiwa kalah dan menang ini. Selain karena tingkat kesiapan antar pesaing menghadapi pertarungan, namun ada juga faktor keberuntungan. Inilah yang sejatinya mesti disadari dengan sepenuhnya.
MEA adalah ‘hantu pengganggu’ sekaligus ‘malaikat keberuntungan’. Itu peluang dan tantangan yang mesti kita ambil. Kita tidak lagi bisa berjalan mundur untuk membatalkan kesepakatan tersebut. Jalan satu-satunya yang harus diambil adalah bertarung sampai daya penghabisan. Tong kumeok memeh dipacok.
Yang kedua adalah dorongan serta dukungan dari pihak pemerintah sendiri. Dorongan berupa pelatihan tenaga kerja yang efektif dan tepat guna. Dukungan melalui stimulan permodalan yang saling menguntungkan. Perlindungan hukum yang benar-benar memayungi berbagai kepentingan secara adil. Serta pengawasan yang ketat dan berkesinambungan sehingga tidak terjadi kecolongan dan kebocoran.
Di tingkat makro, boleh jadi pemerintah pusat berani mengklaim kalau Indonesia sudah benar-benar siap menghadapi persaingan global setingkat Asean ini. Namun kenyataannya, ada banyak pemerintah daerah yang benar-benar gagal menafsirkan semua itu. Pasar diartikan pasar yang kasat mata. Tapi mengabaikan kekuatan masyarakat yang masih sangat lemah untuk menghadapinya.
Sebagai contoh, pembangunan pasar modern seperti toko ritel berjaringan dan mall seolah-olah tak terkendali. Yang akhirnya pengusaha warung-warung kecil serta pasar tradisional banyak yang menyerah. Masyarakat menengah bawah akirnya tunduk pada kapitalisme yang mencengkram di berbagai sektor ekonomi. Termasuk di daerah Tasikmalaya dan sekitarnya.
Ditengah-tengah persaingan global yang kian terasa, tentu saja butuh strategi yang tepat dalam rangka mengimbanginya. Pembinaan masyarakat menengah bawah mutlak diperlukan supaya tidak hanya menjadi korban kebijakan. Salah satunya dengan memberikan pendidikan praktis yang mudah dimengerti serta langsung dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggenjot sektor ekonomi kreatif, misalnya.

Kampung Kreatif Tundagan
Kampung Kreatif Tundagan dibentuk berdasarkan alasan-alasan logis guna menunjang kreativitas warganya. Dan hal ini sejalan dengan semangat kebersamaan yang berwujud jiwa gotong royong masyarakat. Terlebih Tundagan juga terkenal sangat religius, sehingga sangat pas pula dengan julukan Kota Tasikmalaya sebagai Kota Santri.
Perlu dorongan dari berbagai pihak. Terutama dari pemerintah Kota Tasikmalaya. Dan melalui program kampung Kreatif ini, diharapkan akan mampu menciptakan sinergi yang baik di antara pihak berkepentingan, dan mampu mengangkat citra Kota Tasikmalaya sebagai tujuan wisata baru yang berbasis kreativitas masyarakatnya. Lebih jauhnya lagi, sebagai upaya persiapan berbasis kerakyatan dalam menghadapi persaingan ekonomi secara global yang ditandai oleh MEA itu sendiri.
Secara administratif, Tundagan merupakan kampung yang memiliki dua wilayah Rukun Warga (RW.007 dan RW.016) yang memiliki 9 wilayah Rukun Tangga (RT) dengan penduduk hampir 2000 jiwa. Kampung Tundagan terletak di Kelurahan Linggajaya, Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya sendiri adalah kota terbesar di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Hal itu nampak jelas dari perkembangan pembangunan yang terus tumbuh. Tidak hanya pada soal bisnis, perumahan dan industri, melainkan pula di bidang-bidang lainnya seperti dalam hal sosial, pendidikan, agama dan kemasyarakatan yang merupakan salah satu penanda majunya kehidupan kebudayaan di wilayah tersebut.
Dan secara geografis, Tundagan berada pada Koordinat : 7°20'9"S  108°11'46"E. Ini merupakan daerah ‘segi tiga emas’ yang sangat strategis. Dimana di sebelah barat, merupakan tempat wisata Situ Gede yang bisa diakses dengan hanya beberapa menit bila ditempuh dengan hanya berjalan kaki, sangat dekat. Begitu pula di sebelah timur, merupakan Pasar Induk Cikurubuk yang merupakan salah satu pasar terbesar di Jawa Barat. Dan di sebelah utara, merupakan pusat pemerintahan Kota Tasikmalaya.
Ada banyak potensi di Tundagan. Baik berupa sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya. Secara kreativitas, warga Tundagan juga merupakan para pelaku ekonomi kreatif. Mulai dari olahan kerajinan tangan seperti sandal dan sepatu, atlit olahraga, para tenaga pendidikan, desain grafis, penggiat kuliner, praktisi film, aktivis teater, sanggar tari tradisi, pemusik, perupa, penata busana, perbengkelan, tukang cukur dan sebagainya. Bahkan pada bidang kesenian, Tundagan juga telah melahirkan beberapa seniman sekaliber nasional. Hanya sayang, hingga akhir taun 2015 kemarin, semua masih bergerak sendiri-sendiri. Belum ada simpul berarti yang mampu menyatukan seluruh kekuatan tersebut sehingga terkumpul energi kuat untuk merubah keadaan.
Memasuki awal Februari 2016, pencerahan baru terjadi. Organisasi kepemudaan bernama IPTB (Ikatan Muda-Mudi Tudagan Bersatu) yang sudah terbentuk sejak tahun 1973 mulai tampil dan menggagas terbentuknya kampung kreatif di wilayah Tundagan. Berbagai sosialisasi yang didukung berbagai elemen pemerintahan lokal dan tokoh-tokoh masyarakat untuk menyatukan persepsi masyarakat sehingga terwujudnya visi dan misi bersama telah dilakukan. Termasuk pemberian pelatihan dan penambahan wawasan kepemudaan di bidang ekonomi kreatif  berbasis keagamaan, lingkungan dan seni budaya. Dan hasilnya memuaskan, diterima dengan baik.
Sebagai penanda diresmikannya Kampung Kreatif Tundagan, pada 20 Maret 2016 nanti akan diadakan acara peluncuran secara simbolis melalui berbagai kegiatan kemasyarakatan. Tercatat, setidaknya dalam sehari semalam itu ada perhelatan festival gapura gang kampung, pesta melukis dinding yang kumuh akibat vandalisme, parade nasi liwet terpanjang, pameran kreasi daur ulang sampah, kaulinan jaman baheula, penanaman pohon sebagai upaya penghijauan dan pentas berbagai kesenian yang tumbuh berkembang di masyarakat. Juga pembacaan Deklarasi Kampung Kreatif Tundagan oleh berbagai tokoh lapisan masyarakat.
Penulis adalah budayawan muda Tasikmalaya, penggagas kampung kreatif Tundagan.

Tulisan ini pertama kali dimuat di Lembar Seni Budaya pada Harian Kabar priangan, 19-20 Maret 2016

Komentar