beberapa puisiku

Kisah Kita
-Imelda

( I )
Meloncat dari bahu ke punggung jalan
Matamu perak sekilau senja
Mari menonton wayang, katamu
Di alun-alun kota

Dalam manis hujan gerimis
Kudekap hatimu mendekati degup jantungku
Kemudian kita lupakan
Pejiarah yang berlari ke arah malam

Duduklahlah disini, ajakku, dan bersandar
Hujan ini takan mampu mengusir kita
Langit pun senyum
Rerumputan menghentikan dzikir gaibnya
Dan melirik ke arah kita

Dengar, kekasih !
Ada kidung dari panggung
Melagukan kerinduan dan kenangan
Mimpi yang terbit disini
Begitu kelam menapsirkan perpisahan
Sedang kita baru saja merayakan perjumpaan, lalu
Di aroma raflesia, Kumengubur caya bintang
Yang terpagut
Rintih musik dari cintamu


( II )

Deras mengalir semenjak lahir
Matamu sembab terkena sihir
Inilah sepi
Merajai kengerian dalam diri

Perawan, sungguhkah mimpi
Membaptis hari persilangan jiwa kita
Dalam tubuh yang menyatu
Dengan rajam ciuman waktu
Saat lenguh dengus nafas
Tak pernah diam kita redam

Dalam senggama, tuhan melintas
Membawa potret keluarga
Mengirimkan bayang neraka
Wangi api dosa-dosa
Yang pernah kita hisap bersama
Dari tiap kecut anggur rahasia

Bibirmu, pejam nikmat
Di sepanjang basah matamu
Tak pernah habis kutapsirkan
Seperti fajar yang abadi kita simpan
Diam-diam


( III )

Bulan redup memandang
Cahayanya pelan meresap
Jadi warna kecemasan
Di mataku, malam ini
Lengkap sudah kematian

Angin berhenti, pohon-pohon kaku
Mengubah diri jadi patung-patung batu
Namun waktu tetap beranjak
Memutar hari
Menggelar kisah-kisah kembali

Apa yang terjadi ? Katamu
Deras hujan yang kita kemas
Dalam kado pernikahan
Tak akan sampai ke lautNya
Meski sungai airmata masih mengalir
Ke setiap hilir musim tanpa nama
Membuat kita ragu melangkah: maju !

Hatiku yang lelah
Kini masih ingin sendiri
Setelah sunyi mengemarau
Di padang mimpi bergebalau

( IV )

Hari ini akulah luka
Mimpi-mimpi bergegas pergi
Adapun yang diam
Hanya kenangan

Entahlah. Apa yang kupedulikan
Dengan memandang sebilah pisau
Yang mencermin di atas meja
Di depanku, sementara
Ingatan lama mengalirkan darah logam
Pada saban borok fikiran ?

Kau jauh
Amat rapuh untuk disentuh
Tapi tak ada yang harus kulepaskan
Ribuan kata atau sebentuk sajak hitam
Meski resah terus merajam

Kau jauh, kemarilah !
Masih akan kunyalakan pertempuran
Dengan tangan mengepal dendam

Hari ini akulah luka
Tapi masih akan kuat menerima
Secambuk lagi kengerian dalam dada

( V )

Sekali peluk, mungkin cukup
Menetralkan racun impian
Yang terlarut
Di setiap gelas arak memabukkan

Maaf, kekasih
Aku masih belum sadar
Ketika sunyi kita rebahkan
Dengan hati tanpa cinta
Saat kita akan sujud bersampingan
Sepanjang malam

Tasik-Ciamis



Kurelakan Kau Memilih


Kurelakan kau memilih
Raut musim yang selalu melukis hari
Di kedua bola matamu
Meski resah mengukir hati
Jadi bayang fatamorgana
Dan membeku dalam dingin sajak-sajakku

Bagiku, mungkin mimpi hanya gelisah
Kerinduan maha jauh
Pada perbatasan jiwa
Yang tak pernah menemukan ujung senja

Kurelakan kau memilih
Bintang-bintang yang kemerlip di angkasa
Berkilau, membercak mutiara
Mengasingkan serpih waktu

Sebab aku daun berdebu
Tak ingin kasih orang luka
Menyirami layu cintaku



Photo Painter


Siapakah anak kucing yang termangu
Di pojokkan kota santri yang mambisu
Matanya sayu memandang
Pada jauh kemilau bintang

Enroe ?

Ya !

Di jalanan telah baku kebebasan
Kekerasan. Ia terbaring
Melemaskan kengerian di gang malam
Tapi mimpinya terus saja mengembara
Bagai filsup yang kasmaran

Sebuah lonceng mengerang pelan
Di lehernya, begitu lirih
Kesadaran baru saja dibangunkan
Kuku jiwa runcing menegang
Riuh lagu dari perut keroncongan
Melukiskan kesunyian, dan itulah
Dengkur dzikir paling satir
Yang abadi



Pernikahan


Lelaki itu, sebuah taqdir
Perjalanan yang terbawa
Dari kisah para kembara

Biasa

Bila pagi telah tiba
Ia lari ke arah barat, menghindar
Deras panasnya cahaya fajar
Sambil coba menginjak-injak
Bayang hitam kepalanya yang memanjang

Sendiri

Lelaki itu, siklus hidup
Karma Adam yang tercipta
Sebelum Hawa mengidamkan
Buah dosa yang pertama

Dari sorga



Malioboro

Selalu saja, angin
Menawarkan kabar buruk di setiap perjalanan
Pada tubuh yang meringkih ‘nahan sakit
Sementara hampir habis waktu kunjungan
Melawat kota bekas jaman penjajahan

Sia-sia !

Tak sempat direkam sajak untukmu
Setelah satu lembar kartu pos
Dilemparkan ke arah malam
Yang tertahan, sebuah lukisan
Membawaku pada rindu tak beralasan

Seperti layaknya ikan
Yang ditangkar - aquariumkan
Aku pun bimbang
Di suatu keadaan membingungkan
Saat mimpi tak menemu satu jawaban : Tuhan ?



Perpisahan

Kulepaskan sayap tahun
Dengan resah
Membiar kenangan terbang
Ke cermin langit
Dalam diri, gairah mendadak pucat
Di selangkang dingin malam
Aku kemas
Masalalu yang mulai getas

Komentar