cerpen

Kompor
Cerpen: Irvan Mulyadie

Sudah sejak lima minggu yang lalu, tak ada lagi asap hitam mengepul tebal menyesaki langit Kampung Gunung Hareueus yang terletak di pinggiran Tasikmalaya. Biasanya, paling tidak tiga hari sekali pabrik kompor milik Mak Nini membakar drum-drum bekas untuk menghilangkan sisa-sisa aspal yang melekat. Drum-drum tersebut dibelinya dari para pemborong jalan. Nah, karena semua itu menjadikan cakrawala begitu bening tak ternoda. Bahkan ketukan palu yang selalu nyaring terdengar memukul-mukul kaleng di atas penampang besi bekas rel kereta api pun sudah jarang lagi terdengar.

Ya, pabrik kompor sangat sederhana yang merangkap rumah tinggal milik Mak Nini itu kini terancam gulung tikar. Di rumahnya teronggok begitu banyak barang jadi dan setengah jadi yang ditinggalkan para pemesannya. Mereka tak mau ambil resiko dagangannya tak laku akibat adanya kebijakan pemerintah yang mengeluarkan program konversi dari penggunaan minyak tanah ke gas.

Di depan hasil karya tangannya, nampak Mak Nini yang berusia yang hampir menjelang 63 itu sedang termenung menatap kosong tumpukan barang dengan gurat kesedihan yang cukup dalam menghiasi keriput wajahnya. Namun kapalan tangannya mulai menipis karena tak ada aktivitas mengayaunkan palu yang berat lagi.

“Kenapa nasinya tak dimakan, Mak?” Tanya Ai, cucu perempuan satu-satunya.

Mak Nini tak bergeming. Bukannya ia tidak mendengar sapaan lembut bernada kasihan itu. Melainkan ia sedang tak ingin saja menjawabnya. Ia kini sudah terbiasa mendengar suara belas kasih dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan yang keluar dari mulut usil tetangganya yang dulunya sering protes karena sering merasa terganggu dengan pukulan kaleng di siang-siang bolong, Bu Songong.

***

Sementara di ruangan bale desa, terdapat banyak ketua RT yang sibuk menyerahkan data-data penduduk calon penerima bantuan langsung kompor gas yang lengkap dengan tabungnya. Tapi wajah-wajah mereka tak menampakan kegembiraan apabila dibandingkan dengan ketika mereka mengurusi bantuan Raskin. Karena setidaknya mereka mendapatkan keuntungan dari para penerima Raskin dengan menaikan harga beras per-Kg sedikit lebih tinggi dari harga yang telah ditentukan pemerintah. Atau mungkin mereka belum mendapatkan celah saja.

Dari sekian banyak keluarga, hanya Mak Nini saja yang tak terdaftar dalam data tersebut. Mak Nini bersikukuh dengan pendiriannya. Mak Nini tidak mau menerima uluran tangan pemerintah ketika Pak RT bertandang ke rumahnya untuk mengkonfirmasikan peluangnya mendapatkan bantuan kompor dan tabung gas. Bagaimanapun, Mak Nini adalah keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Penghasilannya yang tidak menentu ditambah dengan modal usahanya yang kini mulai habis terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kian membuatnya semakin terpuruk. Ia bertekad untuk setia menggunakan kompor minyak tanah buah karyanya sendiri daripada menggunakan kompor gas yang akan membuat hatinya semakin sakit. Meskipun minyak tanah itu harganya tak lagi terjangkau. Atau ia akan menggunakan kayu bakar saja. Banyak ranting-ranting kering dari bukit di sebelah rumahnya yang bisa ia manfaatkan. Ya, walau bukit yang dimaksudnya adalah bukit yang sedang diperkosa oleh alat-alat berat pengeruk pasir. Mak Nini protes !

***




Pada suatu hari yang telah ditentukan, warga Kampung Gunung Hareueus menerima bantuan itu. Ada semacam perasaan yang mengambang diantara mereka; ketika harus membayangkan bahwa hari-hari yang telah mereka lalui dengan kompor minyak tanah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya hanya akan tinggal kenangan. Lalu hendak dikemanakan bekas kompor minyak tanah mereka? Dibuang, terlalu sayang. Disimpan juga kalau lama tak digunakan rusak juga pada akhirnya. Dijual ke tukang rongsokan pun takan seberapa harganya.

Beberapa minggu telah berlalu. Tapi kini masyarakat sudah mulai terbiasa menggunakan kompor berbahan bakar gas. Waktu memasak kian cepat. Tingkat kehematan kompor gas pun kian teruji. Dan murah lagi. Hanya saja bagi sebagian orang yang sudah terlanjur jatuh cinta dalam menggunakan kompor minyak tanah, sulit juga mengumpulkan uang guna membeli refill gas. Itu karena mereka terbiasa mengecer minyak tanah yang sekarang sudah dicabut subsidinya.

Namun kabar buruk menghebohkan itu segera menyebar ke seantero negeri. Beberapa pengguna kompor gas yang teledor telah membuat suasana tenang menjadi penuh teror. Bukan teror dari luar, tapi teror dari dapur rumah masing-masing masyarakat yang telah mendengar banyak ledakan terjadi akibat rendahnya kualitas kompor gas yang diberikan oleh pemerintah. Media massa kebanjiran berita dengan munculnya isu baru pengadaan barang kompor gas yang terkesan ilegal. Kritikan pedas yang sudah sejak awal dilayangkan untuk pemerintah pusat dengan adanya konversi minyak tanah ke gas, kini semakin panas saja.

Di kampung Mak Nini pun demikian. Gara-gara kompor gasnya tak berkatup pengaman, rumah Bu Songong terbakar hebat. Habis. Untung saja tidak ada korban jiwa.

”Saya akan memasak sayur lodeh. Tapi ketika menyalakan kompor gas, tiba-tiba
api berkobar begitu saja.” Lirih Bu Songong saat dikonfirmasi oleh sejumlah
wartawan lokal. Ia lemah terbaring di RSU dengan sekujur tubuhnya yang luka bakar.

Tak hanya Bu Songong, beberapa orang dari tetangga kampung pun mengalami hal serupa. Kini mereka mempersoalkan lagi kebijakan itu. Mereka diliputi ketakutan dalam menggunakan kompor gratisnya. Dan pada saat-saat demikian, Warga mulai mengingat lagi jasa Mak Nini. Bahkan mereka merasa berdosa karena telah meninggalkan begitu saja kompor-kompor minyak tanah yang sebagian besar buah karya dari Mak Nini.

***
Mak Nini telah melihat dan mendengar semua kejadian itu dengan hati yang kaku. Ada perasaan asing yang kini hinggap di hatinya. Sedikit pun juga ia tak sedih atas kebakaran yang dahsyat. Tapi ia pun tak merasakan kebahagiaan. Harga minyak tanah masih tinggi. Dengan perlahan namun pasti, onggokan kompor yang tadinya bertumpuk dalam pabriknya kini tinggal beberapa buah saja.

”Makan dulu, Cu. Biarkan saja bon-bon itu.”
”Ya, Mak. Sebentar lagi.”
”Oya, tadi pak RT bilang mau mengambil kompor yang dulu pernah dipesennya.
Nanti kalau kamu sudah makan antarkan itu, ya.”

Ai hanya tersenyum dengan terus menulis di buku tebal yang sudah kumal. Sekarang ia sedikit lega, karena Mak Nininya sudah tak sering lagi melamun. Bahkan wajahnya sudah secerah dulu ketika kompornya laris kembali. Dan besok, drum-drum bekas aspal proyek jalan akan kembali mereka bakar. Tapi untuk kali ini, Bu Songong tak bakal ngomong.

Mangunreja, 9 April 2008

Komentar