lyrik

IBU

Lyrik : Irvan Mulyadie


Manusia yang pertama kali menyerahkan jiwanya padaku, sungguh dia adalah ibuku. Perempuan hamil yang pada empat bulan purnama mengidamkan rembulan itu larut pada segelas air tawar yang diembunkan saban malam. Lalu ketika pagi mengetuk salam, dengan cemas ia mengharap cahaya silau keemasan meninggalkan sepoles jejak di dalamnya.


Air itu begitu bening, katanya, dan sejuk.


Maka ketika satu demi satu tegukan ringan mengaliri kerongkongan ia pun akan merasakan; rembulan itu merobah diri jadi selembar dedaun kering yang terjatuh di pucuk musim. Warnanya merah lembayung dengan aroma menyeruak daripadanya seharum kuntum bunga kecubung.

Pada purnama ke tujuh, ia pun mandi bersama tujuh nama bunga dalam tujuh warna puspa serta berbagi rujak cuka yang isinya tujuh umbian pula. Seperti dongeng di masalalu, saat Sumbi merobah diri jadi taman di kahyangan ketika lari dari kejaran Sangkuriang, anaknya. Betapapun ia adalah cinta yang maha dalam.

Betapa ringan waktu berlalu. Hanya kibas ekornya saja yang terlihat melambai-lambai dan menjauh. Hari yang pucat. Setahun ke depan Gunung Galunggung yang meletus menandai penyambutan ulang tahunku. Melukiskan angka satu pada kening dan usiaku. Tapi ibu sudah mulai melupakan rasa sakitnya itu setelah habis sembilan bulan memberi ruang pertumbuhan yang sangat hangat bagi tubuhku yang masih rapuh.

Begitu fasih ia bernyanyi menyenandungkan belaiannya pada usap demi usapan belaian kasih di kepalaku. Tangan yang lembut. Shalawatnya bagus. Dan susunya yang berputing kecoklatan betapa kenyal bila tergigit oleh mulutku yang belum rapi punya gigi.

Sangat geli, desahnya, tapi ikhlas.

Ya, sebenarnya aku tak pernah bisa mengingat lagi peristiwa yang demikian. Hanya masih merasakan kedamaian bila hadir disampingnya. Membayangkan ibu tersenyum kepadaku walau hatinya sarat derita. Bahkan menangis saban hari meski tak pernah menampakan airmata penanda duka. Dan aku hanya tahu dari kerling variasi tatap matanya. Yang senyap !

Seperti juga hari ini saat kutabur kembang rampai tujuh rupa di atas gunduk tanah kuburnya. Pusara itu telah berlumut. Nama yang akrab semasa ia masih hidup sudah mulai regas memudar. Tapi ia masih sempat memberi senyum dalam kenangan…..

Cinehel-Tasikmalaya, 22 April 2007

Komentar