monolog

sebuah naskah monolog
Si KOR
Karya : Irvan Mulyadie


PANGGUNG GELAP. SEBUAH LEDAKAN TERDENGAR DI LUAR GEDUNG PERTUNJUKKAN. ORANG-ORANG BERTERIAK. TAK JELAS APA YANG DIUCAPKANNYA. DAN SUARA-SUARA ITU MULAI MENDEKAT. LEBIH DEKAT. DEKAT SEKALI. NAMUN PERLAHAN TAPI PASTI SUARA-SUARA ITU PUN MENJAUH. BERLALU ! SUASANA MENJADI HENING KEMBALI. HINGGA SENANDUNG YANG AGAK SUMBANG ITU BERDERAI :

Musim-musim bertaruh diri
Pada cuaca dan arus angin
Batu-batu di gigir jalan
Bermimpi terus menjadi bintang
Hari-hari jadi penuh dengan bualan
Tak ada lagi yang sadar
Bahkan bagi yang bersandar
Pada bayang-bayang hujan
Airmata….oh….airmata

PERLAHAN SEKALI, LAMPU MERAH MENYALA TEPAT DI ATAS SEBUAH KURSI YANG BERADA TEPAT DI TENGAH-TENGAH PANGGUNG. DAN MEMBENTUK SEBUAH LINGKARAN CAHAYA DENGAN POROS KURSI TERSEBUT. SESEORANG TELAH DIAM DI ATASNYA. DUDUK TENANG. TAPI LAMPU SEMAKIN TERANG KETIKA ORANG TERSEBUT MULAI BERGERAK MEMUTAR TUBUHNYA YANG MASIH LEKAT PADA KURSI DENGAN GERAKAN YANG SANGAT DRAMATIS. LALU MENGAHADAP KE ARAH PENONTON. NIKMAT SEKALI TAMPAKNYA.

WAJAHNYA PENUH KHARISMATIK. SEDIKIT KUMIS. STELAN BAJU SAFARI. RAMBUT MENGKILAT SEPERTI BASAH. DAN BERSEPATU ALA COWBOY. SEBELAH KAKINYA MENUMPANG DI ATAS LUTUT KAKI YANG LAIN. DIA TERSENYUM PADA PENONTON. SENYUMAN RAMAH YANG RADA ANEH. DAN SEBELUM MULUTNYA BICARA, IA MENGANGGUK DENGAN PENUH RASA HORMAT. TAPI TAMPAK KONYOL.

“Selamat datang, Saudara-Saudariku…. Selamat berjumpa. Dan apa kabar ? Senang rasanya saat ini saya dapat bertatap muka dengan anda sekalian. Tak lain, karena saya selalu rindu dan menantikan saat-saat seperti ini datang. Meskipun pada kenyataannya, sama sekali kita ini tak pernah bertemu sekali pun di masa lampau. Tapi tak apa-apa. Saya tak pernah punya pikiran jelek pada siapapun. Tak terkecuali kepada anda-anda sekalian yang sedang berada disini, dan menyimak dengan seksama maupun belum mencapai pada tingkat pengistilahan nilai-nilai dari seksama itu sendiri. Boleh-boleh saja. Rilek saja. Karena saya percaya, bahwa masih ada cinta yang kesasar pada pandangan pertama….he….he…he. Dan itu, suaaaaangaaat pueeentiiing sekali !“

“Hidup memang penuh putaran. Bahkan putarannya tak pernah dapat kita kejar meskipun dengan langkah-langkah yang strategis berbantu alat serba canggih seperti apa pun. Sebab itu adalah kodrat. Sangat alami saya bilang, kalau kita tidak mau mengatakan semua itu sebagai sebuah bentuk ‘skenario besar’ yang konon dari sang maha pencipta manusia, dunia, langit dan bumi beserta isinya. Tuhan !”


“Dan bersamaan dengan waktu yang mengalir, hidup pun tak ubahnya seperti air. Mudah membeku bila kedinginan. Menguap kalau dipanaskan. Bahkan menyublim dalam kondisi-kondisi tertentu sehingga akal sehat kita ini tidak lagi diberi tengat jarak dan waktu untuk bisa berpikir kembali tentang apa yang sudah terjadi. Apalagi yang belum. Ner, teu? Tapi itu sangat berguna. Setidaknya untuk orang-orang yang tak putus asa.”

“Dengan gairah cinta yang membara, tentu hidup terasa indah. Dan kita tidak perlu lagi bosan menunggu akan datangnya hari kiamat apabila hanya ingin mendapatkan sebentuk sorga. Sorga yang sebenar-benarnya sorga yang pernah tercipta dalam setiap angan-angan kita. Kelamaan. Dengan mimpi yang benar, semua itu dapat diraih mulai sekarang. Tinggal kita mau saja melangkahkan kaki menujunya. Juga mengekarkan genggaman tangan untuk dapat mempertahankan apa-apa yang sudah pernah kita raih. Bahkan terus mengembangkannya. Dengan badan yang sehat, pemikiran yang tepat dan disertai pemahaman yang akurat. Serta yang terpenting,….. pake siasat !”

“Intinya adalah strategi. Tentu, bagi orang-orang yang belum terlatih, semua itu akan mustahil diwujudkan. Sebuah sorga tak hanya dibangun atas dasar pemikiran yang kerdil, melainkan dari sebuah cita-cita besar yang konsisten diperjuangkan. Apalagi kalau ditempuh dengan kaki yang telanjang. Sebab jalannya penuh rintangan. Onak dan duri telah tersebar dimana-mana. Dan sewaktu-waktu bisa dengan mudah menggores telapak kaki anda yang tidak hati-hati melaluinya. Nah, apalagi jika tangan anda juga hampa. Kosong. Tak membawa apa-apa pun sebagai bekal di perjalanan. Ya sudah, mati saja.”

“Ini soal perjuangan, Saudara. Perjuangan! Jadi jangan main-main. Hidup dan mati kita sudah kita pertaruhkan disini. Dan tentunya, tak penting lagi menggunjingkan tentang seberapa banyak pengorbanan harta-benda serta keluarga apabila dibandingkan dengan suksesi yang akan nanti kita dapatkan. Semua itu kecil….. Ya, seperti hukum ekonomi saja. Membeli atau menjual. Dibeli atau dijual, gitu. Politik pun demikian. Dengan modal seminim mungkin, kita raih keuntungan sebesar-besarnya. Tidak apa keluar sejumlah uang kita guna mendapatkan banyak dukungan dalam kampanye. Toh kalau berhasil, kan kita juga yang menikmatinya. Sebarkan saja berbagai jala guna menangkap pundi-pundi suara. Tebar pesona dimana-mana. Mulai tunjukan jasa-jasa kita walau pun kecil dan sangat kita sadari semuanya itu tak begitu berarti. Bikin pernyataan-pernyataan kontroversial. Pancing semua lawan politik anda supaya supaya mau berkonfrontasi secara terbuka. Kalah banyak dukungan kagak apa-apa. Yang penting kita angkat suara. Yang penting konflik. Yang penting populer. Dan persetan dengan setan.”

“Oya, sebagai orang politik, tentu saja kita juga mesti tahu beberapa rumus basi namun masih sering dipakai sehingga kini. Kalau yang kita kejar hanya duit, ikuti saja berbagai bursa pencalonan untuk suatu kedudukan dalam politik. Lebih kecil resikonya. Toh bila ada orang yang benar-benar ngotot ingin mencalonkan dirinya, maka ia akan menyumpal mulut anda dengan gula-gula. Buat diri anda supaya tetap terlihat meyakinkan; bahwa anda punya pendukung begitu banyak dan hebat-hebat. Kalau gak punya, buat saja kebohongan besar. Ada banyak LSM-LSM gurem yang terbiasa memanfaatkan keruhnya situasi dan kondisi bangsa ini”

“Kunjungi fakir miskin di daerah-daerah yang diperkirakan merupakan kantong-kantong suara yang cukup dominan. Beri saja sedekah. Gak perlu semua, yang penting ada publikasinya di media massa. Kunjungi beberapa orang penting di negeri ini supaya kita kelihatan banyak kenalan. Kunjungi pesantren dan pengajian serta rumah-rumah ibadah lainnya. Ambil hati para pemuka agamanya. Beri sedikit ocehan gombal dengan sebagai uang muka: kiriman semen dan batu bata untuk merehab bangunan yang rusak. Kalau semua masih bagus, anggap seperti sudah rusak. Bilang saja catnya luntur. Lalu catut nama mereka dalam setiap obrolan dan kesempatan supaya publik pun yakin bahwa kita ini benar-benar orang penting yang terpenting juga sangat dipentingkan. Jadi, jangan ragu dengan memasang embel-embel agama dalam kampanye. Jangan? Kenapa? Ah, sok suci anda ini. Dosa? Kata siapa….. This is just a game. Ini hanya permainan. Dalam politik kan sah-sah saja. Apa ada yang marah? Ya, terserah. Ini kan kenyataan.”

“Nah, untuk lebih memperbesar wacana, di atas sudah saya singgung sebelumnya. Yakni guna memuluskan jalan anda mencapai tampuk kekuasaan, salah satunya adalah anda juga harus punya satu dekengan lagi. Aparat keamanan? Bukan, sudah terlalu klise itu. Memang, asal punya duit cukup kita sudah bisa membeli perangkat penegak hukum di negeri ini. Preman? Itu sih gampang. Tinggal kasih saja minuman keras beberapa krat dan uang recehan, beres. Coba tebak…. Siapa? Tepat sekali. War-ta-wan. Memang wartawan. Anda tahu? Tak semua wartawan itu punya idealisme sebagai media controling yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Justeru kebanyakannya adalah Uka-uka. Alias WTS (Wartawan Tanpa Surat Kabar). Kenapa harus wartawan? Lho, kan biar kita populer…..”

“…..eee, hampir lupa. (SETENGAH BERBISIK) Kalau anda memang berminat bekerjasama dengan semua pihak, saya punya catatan kecil pribadi yang sangat rahasia. Mau tahu? Gini, jangan sekali-kali berkampanye di hadapan seniman. Apalagi ngasi bantuan segala. Pengalaman membuktikan, kalau seniman dikasi bantuan, uangnya diambil milihnya kagak. Sontoloyo…..”

“Dan begitulah saudara. Dalam kehidupan seperti ini, saya harus terus menguras otak agar apa yang tengah saya miliki tidak jatuh ke tangan orang yang tidak kita inginkan. Saya harus terus mengawasi gerak-gerik musuh. Mendeteksi setiap perubahan yang terjadi. Insting, itulah modal utamanya. Ya, seperti perang juga. Apa yang kita lakukan harus disertai dengan perhitungan resiko yang penuh kehati-hatian. Karena kalau tidak demikian, sia-sia saja semuanya….he….he. Dan saya pun akhirnya tidak pernah merasa puas mensyukuri apa yang telah menimpa diri saya. Ketiban rejeki sebesar ini. Otak !”

“Wah…..saya jadi teringat akan kisah di masalalu. Yakni ketika Nabi Sulaiman diberikan beberapa pilihan oleh Tuhan. Dan yang dipilih Sulaiman itu hanyalah ilmu. Kecerdasan. Padahal pilihan yang terbaik secara naluri telah disodorkan kepadanya. Harta banyak melimpah ruah serta tahta kerajaan, juga wanita yang sangat cantik. Tapi beliau tidak memilih semua itu. Ia hanya tertarik pada pengetahuan. Dan dengan kepintarannya, akhirnya semua pilihan yang lain pun ia dapatkan di kemudian hari. Hebat !”

“Hla, begitu juga dengan saya. Coba, anda lihat baik-baik diri saya. Sebentar saja. Ayo! Nah, sekarang apa yang anda lihat? Apa? Kumis saya jelek? Bukan itu, lihat lagi. Jangan menyinggung soal kumis. Gini-gini juga pernah menaklukan artis selebriti. Dan ngomong-ngomong soal selebriti, ada juga lho yang jadi simpanan kawan-kawan saya. Piaraan, gitu. Ah, cobalah sekali lagi. Lihat saya, lihat! Nah, nah….. Apa? Kursi? Ya, tentu saja ini kursi. Tapi coba anda semua perhatikan sekali lagi. Bukan hanya kursinya. Melainkan makna daripada kursi ini. Sudah? Ha…ha….. Saya yakin seyakin-yakinnya anda semua pasti mafhum. Mengerti….”

ORANG ITU BANGKIT DARI KURSINYA. DAN MEMAMERKAN APA YANG DIMILIKINYA KEPADA SEMUA PENONTON. LALU MENYELINAP KE BELAKANG KURSI YANG BARU SAJA DIDUDUKINYA. MENYENTUH-NYENTUHNYA DAN BICARA.

“Kursi inilah yang selalu jadi rebutan banyak orang. Tak peduli dengan tingkat status kasta sosial orangnya sendiri. Hanya orang dengan selera rendahan saja yang tidak mau duduk di atasnya. Anda tahu? Sebab di kursi panas inilah seluruh impian digantungkan. Harapan-harapan kita akan lebih cepat terwujud jika sudah mendapatkannya. Disinilah cita-cita menemukan titik klimaksnya. Orgasme dalam segala kemegahan duniawi yang terkadang terlalu muluk untuk dihayalkan. Tapi ini kenyataan. Riil. Sehebat apa pun orangnya maka ia belumlah begitu sempurna bila tidak pernah sekalipun menyentuh kursi seperti ini. Sebab itu adalah dunia, Saudara. Dunia !”

“Namun, ingat! Tak sembarang orang boleh memilikinya. Kursi ini diperuntukkan hanya bagi orang-orang yang terpilih dan berani nanggung resiko. Konsekwensinya, kalau tidak mampus oleh massa karena dianggap penipu, maka matilah dalam penjara. Dan jangan salah, Saudara. Jikapun anda harus mati, maka nama anda sekalian akan terus dikenang sepanjang masa. Apalagi jika anda gugur di medan laga. Karena ini perjuangan. Dan yang mati dalam sebuah pertempuran adalah pahlawan. Catat itu. Pah-la-wan. Luar biasa bukan?”

“Dengan tenang dan khidmat, upacara penguburan anda berlangsung lancar. Tak kurang satu apapun. Karangan-karangan bunga menumpuk dengan ucapan bela sungkawa yang berlebihan. Dan ribuan pendukung serta simpatisan sarat berderet dari ujung ke ujung taman pemakaman. Disertai haru birunya tangisan yang menyeruak menusuk-nusuk angkasa jagat raya….”

“Bahkan dengan roh anda yang sudah berpindah alam itu, akan merasakan juga kebanggaan yang tiada taranya atas kesedihan yang terjadi pada dunia karena telah terpisah dari kehidupan anda. Ketentraman sepenuh jiwa. Bukan hanya nama anda yang akan selalu disebut-sebut dalam tiap kesempatan resmi maupun tak resmi. Dalam obrolan biasa maupun dalam sebuah perdebatan. Tapi khalayak juga senantiasa akan menerima berbagai asumsi, apologi, atau pendapat yang pernah anda semua lontarkan. Paling tidak sebagai bahan kajian para ilmuwan dan sejarahwan. Gagasan-gagasan anda yang cemerlang selalu tertulis di koran-koran serta buku-buku sejarah dengan judul yang ditulis dalam hurup tebal dan besar juga bergaris bawah. Di situ, potret tampang anda pun terpampang dengan bagus, sehingga orang-orang mengenalinya dengan baik dan akrab. O, Si Anu yang pahlawan itu? Ya, saya pernah mengenalnya….. Begitulah kira-kira mereka bicara dalam penuh kekaguman mengenangkan kehidupan anda. Luar biasa. Seakan-akan dengan banyaknya menyebut-nyebut nama anda, dan dengan seringnya menceritakan kembali kisah-kisah yang sudah pernah anda lalui, mereka bisa mendapatkan pahala. Coba, terpikirkah oleh anda akan semua yang sudah saya ucapkan barusan? Tapi,…”

“….Tentunya jika anda dinilai baik oleh mereka. Dan mereka yang saya maksud adalah orang-orang yang selama ini mendukung kita meskipun dengan beragam alasan. Tim sukses istilahnya. Mulai dari yang suka memanfaatkan keadaan dan kesempatan, hingga orang yang terpaksa didesak oleh keadaan. Dari penjilat yang suka mencari kedudukan, sampai pada penjahat yang berstatus terhormat di dalam sistem ketata negaraan. Dan kebaikan disini selalu cenderung subjektif. Tidak apa menjahati pihak lain asalkan jangan menghianati kawan sendiri. Tak mungkin mereka mengenangkan orang yang berperilaku mencla-mencle’ dan gak jelas. Apalagi musuh-musuh di luar sana sudah menantimu dengan berbagai serangan yang sewaktu-waktu dapat dilancarkan. This is a time bomb. Musuh-musuh yang dimulut dan kepalanya terdapat dendam amat dalam nan mengerikan. Teroris elit berwajah manis. Habislah ente. Jangankan sekedar ucapan selamat, sedikit sanjungan pun takan mungkin diperoleh. Cemoohan dan fitnah bersarang telak di wajah anda dengan telak. Yang gak hanya buruk rupanya, melainkan pula bau busuk punya aroma. Emoh orang mendengarkan nama anda disebut-sebut. Najis tujuh lapis…..!!!”

“Yah,….begitulah saudara. Romantika dari sebuah estetika dramaturgi kenyataan. Terkadang, bila saya membayangkan hal itu akan terjadi pada diri saya, saya jadi ngeri sendiri. Takut. Namun ketakutan pun akan sirna sendirinya apabila anda telah merasakan apa yang sekarang ini sudah dan sedang saya nikmati. Kebahagiaan. Tak pernah dapat saya lukiskan. Bebas pergi kemana saja walau ke ujung dunia sekalipun. Kan ada negara yang membiayai. Kalau di dalam kas organisasi udah kempes, ya, ngorder proyek saja ke dinas-dinas. Apa? Gak mungkin? Apanya yang kagak mungkin di negri ini, bro. Dan ingat. Gak perlu banget nama kita dicantumkan di dalam kontrak pekerjaan. Pinjem aja benderanya ke pengusaha-pengusaha yang udah jadi kroni. Atau kalo gak mau bikin perusahaan fiktip, jual saja nama yayasan yang bisa diajak sekongkol buat minta sumbangan. Rebes, aeh, beres. Dan perjalanan yang saya maksud di atas tentu haruslah punya alasan yang mendasar. Dengan tema ilmiah dan selalu mengatasnamakan rakyat. Studi bandinglah, penelitian, atau apaun saja asal tak mencurigakan meskipun kenyataannya kita hendak liburan gratis dan mewah. Prosedur harus ditempuh dengan rapi. Supaya berkas-berkas yang menjadi barang bukti tampak sempurna dan gak bermasalah. Skenario yang hebat, bukan? Apa? Perempuan? Alah, jangan ngomong tentang masalah yang sepele itu…..”

“….Anda tahu? Setiap saat jika saya memang menginginkannya, perempuan-perempuan itu pun akan rela ngantri demi mendapatkan jatah untuk saya tiduri. Gak percaya? Lihat saja nanti. Oya, sebentar lagi mereka akan datang. Kemarin saya ada deal-deal-an bersama pengusaha yang sodaranya mantan pejabat itu. Dan dia berjanji kalau proyeknya sudah gol, maka saya akan dapat V sekian persen dari sejumlah nilai yang ia peroleh. Plus bidadari penyelamat kaum adam yang sudah biasa kehausan pada saat libidonya mulai melonjak-lonjak minta dikasih jatah kepuasan…..”

KETIKA IA MASIH TERUS SAJA BICARA, MAKA TERDENGAR LAGI SUARA-SUARA ANEH SEPERTI YANG TERDENGAR DI AWAL MULA PERTUNJUKKAN. MESKIPUN BELUM JELAS TAPI CUKUP MEMBUAT PERUBAHAN SUASANA PERMAINAN. DAN IA SEMAKIN TERBUAI OLEH BERBAGAI IMPIANNYA. TERUS MENGOCEH SAMBIL MERASAKAN SEOLAH-OLAH IA SEDANG BERSETUBUH. DAN ITU TAMPAK BEGITU MENYEDIHKAN !



“Nah, anda juga mendengar mereka datang, kan? Ya, itu dia. Langkah kaki yang sangat merdu. Bagaikan irama musik rebana. Atau bunyi tabuhan tam-tam dalam dangdutan…. Ha….ha.…ha. Aduh, saya jadi kepengen cepet-cepet asyik masyuk. Kehangatan…oh…yes. Kelembutan…..oh…no. Sebentar lagi suguhan sorga akan datang…..”



SUARA-SUARA SEMAKIN NYARING TERDENGAR DENGAN IRINGAN MUSIK TEGANG YANG MULAI MEMANASI SUASANA. IA MULAI MENYADARI KEADAAN. IA SEPERTI MELIHAT DAN MERASAKAN BERAGAM SOSOK MUNCUL DI HADAPANNYA. TIBA-TIBA TUBUHNYA BERGIDIK KERAS. IA MULAI TAK TERKENDALI. TANGANNYA MENUDING-NUDING KE ARAH-ARAH YANG KOSONG. BAHKAN MENJERIT-JERIT TAK KARUAN.



“Hey, siapa kalian yang bicara kotor itu di hadapan saya? Ayo ngaku! Tak kalian lihatkah akan siapa yang sedang kalian hadapi saat ini? Heh, apa yang akan kalian lakukan? Ah, kalian ini hanya tahu arti menggoyang tanpa mau bersusah payah untuk menggayung. Apa? Menyerahkannya? Enak saja. Saya dapatkan kursi ini karena saya memang berhak mendapatkannya. Sebab ini adalah hasil sebuah pilihan. Atas nama kemiskinan saya bicara. Juga atas nama harkat dan martabat bangsa ini juga saya berjaya. Dan jika saat ini saya sedang menikmati hasil perjuangan, ya, jangan sirik dong. Ini kan hasil keringat saya sendiri…..”



ORANG ITU SEMAKIN KALAP.



“…..eeeh. Mau apa kalian? Jangan bilang saya penipu. Kalianlah yang telah menipu diri sendiri karena telah percaya pada saya. Lho, saya bukan pembohong. Saya telah menympaikan apa yang telah kalian amanatkan pada saya. Sungguh. Tak sedikit pun saya menyembunyikannya. Tapi kalau itu tidak terealisasi, ya, apa boleh buat. Emangnya dewan itu milik saya sendiri? Emangnya partai itu punya saya sendiri? Dan emangnya jabatan saya ini saya sendiri yang menentukan? Pemerintah? Tidak…. Saya hanya sedikit membeli peluang untuk bisa merasakan akan bagaimana rasanya bila saya sedikit punya kesempatan menduduki kursi ini. Tak ada hal lain lagi. Apa? Tidak adil? Memangnya ada keadilan di negeri ini? Jangan sok suci kamu…. Awww….!!! Siapa yang memukul kepala saya? Jangan anarkis, dong. Kita bisa bicarakan baik-baik persoalan ini. Secara kekeluargaan sajalah…. Awww….!!! Jangan pukul saya lagi…. Kita ini negara hukum….jangan main hakim sendiri, ya. Ini melanggar HAM, tau?! Boleh saja kalian ngomong dan demonstrasi. Tapi bukan begini caranya. Demo Crazy ini namanya. Gila? Hey, jangan bilang saya gila. Saya masih waras. Saya masih waras ! Oh,….jangan ambil kursi saya. Jangan ambil nyawa saya…. He, jangan mendekat. Ingat, dengan membunuh saya, berarti kalian telah membunuh banyak suara dari sekian puluh ribu jiwa masyarakat di negeri ini. Dan itu dosa, nyaho….. Dosaaaa…….!!! Tolong…., Tolooooooong !”

SUARA-SUARA SEMAKIN KERAS. DAN IA SEMAKIN PANIK. TERIAKANNYA TERSAPUT GEMURUH DALAM YEL-YEL TANPA TUAN. BUNYI TEMBAKAN TELAH BEBERAPA KALI MEMBUATNYA HARUS MENUTUP TELINGA. ADA SEMACAM GAS AIRMATA MENYELIMUTI TUBUHNYA. GUN SMOKE. LAMPU MENYOROT MENYAYAT-NYAYAT PANGGUNG. HANYA ADA ASAP. HANYA ADA SUARA. HANYA ADA KENGERIAN YANG TAK DAPAT DIJABARKAN DI ATAS PANGGUNG. TERSERAH….



DIA NAIK KE ATAS KURSI, TAPI JATUH KEMBALI. IA BERUSAHA MEMPERTAHANKAN APA YANG IA YAKINI SEBAGAI SESUATU YANG PALING BERHARGA DALAM HIDUPNYA. NAMUN SIA-SIA. IA NAMPAK KELELAHAN. MUSIK OVER SIZE. MAKIN KERAS. MAKIN MENCEKAM. MENGERIKAN. TAPI DENGAN TIBA-TIBA APA YANG TERJADI SEAKAN TERHENTI. LAMPU MATI. MUSIK MATI. TAK ADA SUARA LAGI. HANYA KEGELAPAN.

TAPI, SEBENTAR!

DALAM JEDA YANG TAK TERLALU LAMA, SEKALI LAGI LAMPU MENYALA. KALI INI WARNANYA HIJAU. FOKUS MENYOROT KE TENGAH PANGGUNG. NAMPAK KURSI YANG TELAH KOSONG. TAPI DALAM KEADAAN YANG TERJUNGKIR. BLACK OUT !


---TAMAT---


Malam Jumat di Imah Tasik(sekarang Gd.DPRD), 17 Januari 2003
Di ketik ulang Malam Minggu, 23 Juni 2007

Komentar