Grayscale


Dilema Lingkungan Hidup di Kaki Gunung Galunggung

Catatan perjalanan: Irvan Mulyadie

Suatu hari, dalam sebuah kesempatan yang sengaja dicari-cari pada sela kesibukan kantor, saya pergi dengan motor bebek cicilanku yang masih satu setengah tahun menuju LUNAS. Cukup mengerikan juga, mengingat rute yang ditempuh cukup jauh. Tak ada tujuan pasti saat itu. Yang penting saya dapat lepas dari semua kesibukan meskipun hanya sementara. Ya, itu memang sudah sering saya lakukan akhir-akhir ini.

Sambil melamun dan setelah hampir dua jam berkendaraan, akhirnya saya baru sadar bahwa saya sedang menuju ke lokasi pemandian Cipanas Gunung Galunggung Tasikmalaya. Hanya beberapa km lagi dari loket penjagaan. Namun saya tidak tertarik kesana.

Perhatian saya justeru tersita pada banyak pemandangan mengerikan yang melebihi situasi hati saya yang sedang kacau. Di sisi kiri jalan antara Tawang Banteng – Cipanas, nampak terkapar lahan tandus seluas pandang. Truck-truck pengangkut pasir nampak hilir mudik dengan garangnya. Di sudut lain, mesin-mesin pengeruk pasir juga nampak rakus melahap bebukitan kecil yang terbentuk dari hamparan lahar dingin 26 tahun lalu ketika Galunggung meletus.

Memang, setelah bencana itu berlangsung cukup lama dan memakan banyak korban harta benda tapi berkahnya selalu ada. Hamparan sawah yang tersulap alam menjadi padang pasir berkualitas tinggi, seakan memberikan sebuah jalan alternatif bagi warga sekitarnya. Yang tadinya petani yang biasa memanen padi dan hasil bumi lainnya, kini berubah statusnya menjadi tuan tanah yang dengan mudah menjajakan muntahan lahar yang menutupi setiap petak sawah dan kolam. Tidak hanya itu, Pemda pun tak luput juga meraup keuntungan dari banyaknya penggalian pasir disana dengan pajak dan retribusi yang mampu menyumbang pembangunan.

Namun yang baru saya sadari, ternyata setelah penggalian itu dilakukan mereka menelantarkan tanah tadi dengan tidak bertanggung jawab. Dibiarkannya lahan-lahan mati itu seolah tak ada lagi artinya. Akibatnya, para wisatawan yang hendak pergi menikmati keindahan Gunung Galunggung harus memulai dalam petualangannya dengan menyaksikan terlebih dahulu suatu suguhan dramatis: kerusakan alam akibat kerakusan manusia.

Ironisnya, kegiatan yang dianggap sebagai sumber strategis PAD (Pendapatan Asli Daerah) tersebut tak lantas membuat lokasi sekitar Gunung Galunggung itu menjadi lebih baik. Hanya si empunya hajat saja kiranya yang dapat menikmati hasil dari semua itu. Selebihnya jalan-jalan rusak berat. Permukiman penduduk nampak kusam diliput debu di sepanjang pinggiran jalan.

Semestinya ada jalur jalan alternatif yang memisahkan antara pengguna jalan menuju kawasan wisata dengan kendaraan-kendaraan khusus pengangkut pasir supaya tidak terjadi hal-hal yang membuat semua itu nampak semrawut. Tak jauh beda dengan penggalian pasir di Kampung Sinagar yang lokasinya agak tersembunyi. Saya pun menyaksikan tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya lahan-lahan subur.

Dan ini sebuah dilema. Serius. Disisi lain kita ini butuh makan, menafkahi keluarga dan negara dengan semua potensi yang terpendam dan terdapat di alam ini. Namun untuk masa depan anak-anak kita, justeru dengan lingkungan yang rusak hanya akan membawa beban penderitaan yang tak mungkin ditebus dengan hanya kekayaan segelintir orang yang merusak alam dan lingkungan hidupnya. Lalu apakah kita akan selalu menggantungkan nasib dan masadepan kita hanya pada pemerintah?

Dalam hati selalu saja kuyakinkan: No, way!


diterbitkan pertamakali di buletin kampus stisip tasikmalaya, 2008

Komentar