Surat Cinta untuk Garnita


cerpen: Irvan Mulyadie

Sungguh, tak ada yang lebih kuharapkan daripada besarnya rasa dan ketulusan dari kasihnya. Aku selalu menanti agar suatu saat itu benar-benar dating menghampiri. Tidak melulu dalam bayangan dan khayalan. Harus terjadi dan nyata. Ah, tapi akankah?

Begitulah Imul mengakhiri tulisannya di atas lembar kemerahan buku hariannya. Sebetulnya, itu bukanlah sebentuk buku . Melainkan sobekan kertas bungkus rokok yang disusun menyerupai buku.

Sudah dua minggu ini Imul selalu merindukan gadis mungil yang selalu menghiasi lamunannya. Bahkan saking kuatnya ia melamun, hampir saja sepedanya menabrak gerobak roda tukang cimol. Aneh memang, mengingat orang-orang di sekitar Imul mengetahui dengan baik, bahwa Imul adalah lelaki yang super cuek mengahadapi perempuan manapun juga. Secantik apapun gadis itu.

Ia dingin. Teramat dingin. Lebih dingin dari es serut di dalam cendol.

“Lho, kenapa mesti malu ? Bukankah perasaan itu mutlak milik individu ? Buat apa membohongi diri sendiri ? Kalau memang suka, jangan lagi ditutup-tutupi. Katakan saja ! Ini zaman reformasi, bung. Tak penting lagi soal status seseorang dalam hidup bermasyarakat. Apalagi ini masalah perasaan universal manusia. Cinta. Perasaan yang paling hakiki dan lebih penting dari hidup itu sendiri….” Kata Alend berdarah-darah menanggapi keluhan dari sahabatnya.

“Tapi lend,….ia masih ABG. Aku takut kalau aku mengatakannya ia akan langsung menjauh. Aku lebih cocok jadi abangnya, ketimbang…..”

“Ahk, bulsit itu. He dengar ya….!!! Cinta itu tak pernah mengenal usia, status sosial, atau apapun juga. Lihat aja Shakespare, betapapun Romeo dan Juliet menghadapi tantangan keras keluarga, mereka tetap bersikeras ingin bersatu. Mereka rela berkorban. Dan, kamu baca juga deh tentang kisah Sangkuriang….”

Belum selesai Alend bicara Imul sudah memotong. Imul menyadari kalau Alend akan bicara berkepanjangan membahas hal sekecil apapun. Ia menderita sindrom baca buku.

“Nah, apa hubungannya Sangkuriang sama Shakespare ?” protes Imul.

“Itu dia kesalahanmu. Tidak mau bercermin ke masa lalu. Maksudku, perasaan agungnya cinta serta hasrat untuk saling memiliki adalah karma yang tak bisa dengan begitu saja seseorang menolaknya. Bahkan kita harus punya keberanian lebih untuk bisa mengahapus garis darah sendiri. Kalau perlu bunuh diri. Mengerti…..!?!”

Kemudian suara Alend semakin sesak menerobos paksa masuk pada lobang telinga Imul. Suara itu bagai ribuan desing peluru yang ditembakkan dari senapan laras panjang pada sebuah perang saudara. Kemudian peluru itu terbang menghujan bagaikan jutaan Tawon di udara. Bising sekali. Saking kerasnya suara itu, tak terdengar lagi oleh telinganya. Imul sudah pekak. Imul Tuli seketika.

Imul pucat. Terbayang kembali senyum gadis mungil itu di kepalanya. Matanya memandang kosong ke arah pohon-pohon Palm di sekitar lapang Dadaha. Dan di dalam imajinasinya, pohon-pohon itu adalah tiang yang menyangga beratnya langit yang luluh lantak hampir menimpa pada tubuhnya. Ia pun linglung tak berdaya.

Ini terlalu dramatis. Terlampau absurd untuk jadi cerita pendek yang harusnya bisa laku di pasaran. Padahal kisah ini sederhana saja. Cintanya Imul pada Garnita. Cinta pria yang beranjak dewasa kepada gadis yang masih ingusan. Betul !
Dan untuk tidak menjadi klise, tentu saja harus unik penyajiannya. Imul harus mengungkapkannya dengan warna dan citarasa yang berbeda. Meski tak harus mengada-ada. Tapi bagaimana caranya ?

Surat cinta, ya. Imul ingin mengungkapkan perasaannya itu lewat surat saja pada gadis yang untuk pertama kalinya Tuhan mempertemukan dengan dirinya. Ketika dalam sebuah acara sekolahan di kampusnya Garnita. Ia jadi instruktur tamu ketika itu. Memberikan sekedar gambaran dari pengalaman terhadap pandangan kemanusiaan. Dan Imul jatuh cinta pada pandangan pertama. Sial !

Lagi-lagi kalimat basi. Ia ingin hal yang unik sebagai ungkapan perasaannya.. Ia pernah berfikir untuk memberikan sekotak coklat, namun urung dilaksanakan. Terus ingin memberikan sekuntum bunga mawar merah, itupun ia batalkan. Terakhir, ia dapat insprirasi dalam menyatakan perasaannya itu, yakni dengan seekor kecoa. Edan. Untung saja seseorang yang pernah nonton film BETH memperingatkan bahwa itu sudah ada. Ajaib, padahal Imul nonton atau pun dengar ada film seperti itu pun tidak pernah. Dan ia punya kesimpulan, bahwa inilah yang ia namakan sebagai’lalu lintas ide’. Bukan plagiat.

Ia tiba-tiba jadi bodoh. Kalau mengatakannya langsung, ia tak cukup punya keberanian. Ia pengecut. Imul pun mengakuinya. Tapi hanya pada urusan cinta. Tapi tidak untuk hal lainnya.

Ah, Imul hanya takut kalau pada akhirnya nanti keputusan yang keluar dari mulut Garnita adalah sebuah penolakkan. Ia takan siap untuk ditolak. Dulu,
Ia pernah merasakan betapa sakit hatinya ketika Ferty memutuskan tali kasih dengan tanpa alasan jelas. Padahal Imul yakin kalau Ferty juga mencintainya sepenuh hati. Belakangan ia menyadari, bertahun-tahun setelah Ferty menggantungkan kisah itu dengan tak lagi menemuinya. Larangan keluarga telah membuat Ferty begitu tega memutuskan jalinan asmara yang sudah tiga tahun mereka jalani bersama. Alasannya sangat ‘geuleuh’. Soal materi. Picik !

Sebetulnya Garnita tidak begitu istimewa. Ia biasa-biasa saja. Tapi yang membuat Imul mabuk kepayang adalah pada kemisteriusan gadis ini. Baginya, tidak banyak perempuan unik seperti itu. Bahkan sama anehnya dengan diri pribadinya.
Ada banyak kesamaan antara Imul dengan Garnita. Terutama pada diri keduanya yang mempunyai sifat penyayang dan suka bersahabat, namun sangat tertutup bila bicara masalah pribadi. Apalagi keduanya punya hobi merawat binatang berbentuk kucing. Sepele. Dan Imul tahu itu dari seorang kawan Garnita yang bernama Sri. Pelukis tokoh kartun yang tak kurang anehnya karena tak suka pada lelaki yang ganteng-ganteng. Otomatis, makin sukalah Imul pada gadis yang satu ini. Bahkan bintang zodiak keduanya kembar siam. Alias sama: PISCES!.

Malam ini, tepat sudah 13 hari usia pertemuan mereka. Sepasang angka sial bagi mereka yang percaya pada takhayul. Imul gelisah. Demi pada tiap harinya ia isi dengan berbagai mimpi-mimpi dan hayalan dengan gadis pujaannya. Berbagai saran dan tanggapan ia telan dari para sahabatnya yang kasihan atas segala penderitaannya. Ia banyak mendapatkan support, bahkan dari ayahnya sendiri yang selalu mendengarkan dengan setia satu-satunya anak lelaki kesayangannya :

“Jangan pernah tinggalkan Tuhan, nak. Sebab IA takan pernah menelantarkan hambanya yang selalu dekat padaNYA. Dan berdoalah…..”

Begitulah wejangangan ayahnya pada satu kesempatan saat keluarganya berkumpul mengelilingi meja makan malam hari. Memang, tak ada sekat yang menjadi dinding pemisah diantara ayah dan anak ini. Mereka akrab dan bersahabat.
Di hadapan sebuah mesin ketik, Imul tercenung untuk sejenak. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ia baru saja menunaikan ibadah sholat Isya. Dan kesunyian menyergapnya kembali. Untuk ke sekian kali, rupa Garnita terbayang lagi. Wajahnya yang oriental khas asia menyesaki fikirannya. Lalu merambat pada hatinya yang mulai terasa berdebar-debar.

Perlahan namun pasti, ia hempaskan beban itu lewat tarikan nafas panjang. Kemudian dengan tanpa dikomando, sepuluh jari-jari tangannya menekan tuts mesin ketik dengan irama kegelisahan. Perasaannya tumpah ruah seketika. Ya, hanya itu yang mampu ia lakukan untuk sekedar mengusir sepi dan kerinduannya. Serumpun syair pun lahir.

Sebuah Sajak untuk Garnita

Kekasih, pada kelam hari hujan
Takdir telah mengutuknya
Mengalirkan airmata kerinduan
Bagi perih luka bumi
Dari perut langit mendung
Yang mengandung janin mimpi
Pada tiap tetesannya yang terjatuh

Itulah cintaku,
Debar kata yang terbakar dalam jiwa
Sebagai harap berkepanjangan. Padamu.

Tasikmalaya, 261204-030105-181208

Komentar