Oleh: Irvan MulyadieKebesaran nama penyair yang dijuluki Si Burung Merak, WS.Rendra, ternyata mampu menyedot perhatian masyarakat luas di Indonesia. Rendra tidak hanya dikenal dengan puisi kritik sosialnya yang terkenal tajam, melainkan juga karena karya-karya teaternya yang monumental. Salah satunya BIB BOB. Teater mini kata yang paling menonjol diantara 17 karya reportoar lainnya. Dan inilah secuil gambaran dari Pentas BIB BOB yang terselenggara di Aula terbuka Universitas Galuh Ciamis pada Sabtu malam, 23/01/10 lalu...
Panggung arena itu gelap gulita. Penonton sudah sedari tadi menahan nafas dengan mata yang tertuju ke tengah pentas serta rasa penasaran berkecamuk di dadanya masing-masing. Musik pembuka bergema seiring nyala lampu yang perlahan, suasana pecah oleh nada-nada etnik dan alunan vokal oriental, meritmekan kegelisahan yang kian memuncak seirama dengan desis-desis para pemain yang muncul dari belakang kerumunan penonton yang tengah duduk lesehan. Aroma dan asap dupa menyeruak dalam suasana magis. Sejenak konsentrasi buyar.
Para pemain merangsek masuk ke arah arena pentas dengan teriakan-teriakan ”Bib” dan ”Bob”. Lalu membentuk formasi kecil selayaknya sedang mengadakan upacara ruwatan dengan sesajen abstrak berupa boneka-boneka kecil berbalut kain putih, kemudian meletakannya di sudut panggung, tepat di atas kain merah yang menjuntai. Ini mengingatkan kita pada bendera negara Indonesia.
Selanjutnya, gerakan-gerakan teatrikal pun deras mengalir dari seluruh tubuh pemain. Secara simbolis, mereka mengetengahkan tentang realitas sosial yang terjadi belakangan ini. Misalkan menggambarkan tentang suksesi kepemimpinan yang cenderung rakus dan menindas, perebutan kekuasaan, mosi tak percaya masyarakat atas bujukan tokoh politik, peristiwa peradilan korupsi yang penuh skandal, kehebohan wacana artis kontroversial, kasus lapindo yang tidak terselesaikan sampai tuntas, bahkan fenomena situs jejaring sosial semacam Facebook tak luput juga dari sorotan awak Bengkel Teater kali ini.
Memang, secara verbal kita tak pernah menemukan rangkaian cerita utuh dengan dialog lengkap. Semua hanya potongan peristiwa, seperti lukisan kolase. Terkadang kisahnya berputar-putar dengan pengadegan yang cenderung monoton. Untungnya diperankan dengan akting cukup meyakinkan. Bahkan dalam suatu adegan, penonton pun diajak larut dalam pertunjukkan dengan koor-koor ”Bib” dan ”Bob” yang musikal. Walhasil, durasi pentas yang kurang lebih satu jam ini tak terasa menjemukan.
Jika memperbandingkan dengan kebesaran nama Almarhum WS Rendra itu sendiri, secara teknis kualitas pentas tersebut masih jauh dari bayangan. Mungkin juga karena mobilitas dan tingkat kelelahan pemain yang pada tanggal 23 tersebut telah memasuki pentas ke-23 dari rangkaian pentas keliling yang diadakan di beberapa kota di Indonesia. Dan Ciamis merupakan kota ke-23 yang disinggahi.
Tentang Bib-Bob
Menurut Ken Zuraida, penanggung jawab pertunjukan yang merupakan istri almarhum Rendra ini menyatakan, pentas keliling ini digelar sebagai bentuk penghormatan segenap awak Bengkel Teater dan masyarakat Indonesia atas jasa-jasa WS Rendra dalam bidang seni budaya. Bib Bob diciptakan pada bulan Oktober 1967, dan dipentaskan pertama kali pada tahun 1968. Sejak saat itu Bib Bob selalu jadi bahan perbincangan di kalangan praktisi pertunjukan teater. Ken juga menceritakan ihwal lahirnya Bib Bob yang dianggap berbagai kalangan sebagai karya masterpiecenya WS Rendra.
”Suatu ketika, Dia (Rendra-red) mengalami sebuah peristiwa menarik. Saat itu ada seorang ibu yang sedang bercakap-cakap dengan seseorang lainnya. Dia terus memperhatikan peristiwa itu di balik jendela seberang jalan. Dan berusaha untuk mengerti dan memahami percakapan mereka....”
Dan Rendra pun menyimpulkan, bahwa selain bahasa lisan dan tulisan ada juga cara lain, yakni bahasa tubuh. Dalam mengungkapkan rasa cinta pada seseorang misalnya, ternyata bahasa verbal tidak selalu bisa memberikan jawaban.
Sementara menurut mantan aktor Bib Bob yang pernah disutradarai langsung oleh Rendra, Gusjur Mahesa, judul Bib Bob tersebut yang sempat diakui Rendra adalah pemberian dari Putu Wijaya. Sebab dalam proses kreatifnya, Putu Wijaya sendiri yang jadi aktornya. Lalu, bagaimana rasanya disutradarai langsung oleh WS Rendra?
”Beliau orangnya sangat baik. Dia tidak pernah membelenggu kreativitas aktor-aktornya. Cara menyutradarainya pun enak. Hanya saja disiplinnya sangat tinggi. Dan ia tak pernah main-main soal disiplin dalam garapan apapun....” Ujarnya mengenang. Pernah sekali waktu, stage managernya beberapa kali terlambat. Tak ayal, sandal pun dapat melayang.
Hanya sayang, pentas Bib Bob di Tasikmalaya batal terselenggara. Padahal masyarakat pecinta Rendra sudah berusaha semaksimal mungkin mengupayakannya. Tak pelak, hal ini menjadi kontroversi dan merupakan preseden buruk dalam wacana masyarakat kesenian Tasikmalaya secara umum. Mungkin teknik komunikasi kurang baik antar kedua belah pihak yang menjadi penyebabnya.
“Padahal kita sudah mengupayakan sebisa mungkin supaya Bib Bob mentas di Tasik. Dan saya yakin WS Rendra tak seperti itu…” Ungkap Ashmansyah ti’ Mutiah, salah satu penyelenggara dari Tasikmalaya.
Dimuat pertamakali di Lembar Budaya Harian Radar Tasikmalaya (31/01/2010)
Komentar
Posting Komentar