SENI GRAFITI vs VANDALISME

Oleh : Irvan Mulyadie

Beberapa bulan belakangan ini, wajah Kota Tasikmalaya nampak semarak dengan munculnya berbagai grafiti yang menghiasi di banyak dinding perkotaan. Entah itu menempel di dinding pertokoan, mulut-mulut gang, bangunan-bangunan tua atau terlantar, bahkan juga pada benteng Stadion Dadaha. Dan hal ini sangat menarik. Mengingat Kota Tasikmalaya mulai terbuka dengan suatu budaya global.

Ciri khas yang menandai tumbuh kembangnya kehidupan di sebuah kota besar adalah dengan munculnya budaya urban. Budaya ini merupakan bentuk ekspresi unik warga kota dalam menyikapi realitas sosial di sekitarnya. Tidak hanya nampak dari segi berbusana atau diterapkan dalam desain-desain bangunan tapi juga didalam hal gaya hidup kesehariannya.

Salah satu faktor yang diyakini sebagai wajah budaya urban ini adalah keterbukaan sikap masyarakat dalam menyambut atau menghadapi perkembangan-perkembangan signifikan terhadap hal-hal tabu. Misalkan dengan munculnya gerakan seni grafiti (coretan dinding) yang notabene sebelumnya sangat identik dengan aksi vandalisme dari komunitas atau geng-geng anak muda yang urakan, semisal yang sering dilakukan oleh oknum klub-klub otomotif yang kurang bertanggung jawab.

Padahal ada banyak perbedaan antara seni grafiti dengan aksi vandalisme. Kalau seni grafiti biasanya selalu dikerjakan dengan serius, rapi, indah, tematis, dan membutuhkan waktu pengerjaan serta keahlian tersendiri. Juga yang paling penting bisa terlepas dari beban-beban dogmatis dari komunitas tertentu. Kecuali sebagai bentuk ekspresi batin kreatornya saja.

Sedangkan aksi vandalisme tidak pernah mempunyai aturan main yang jelas. Mereka secara sporadis mencoreng moreng dinding-dinding perkotaan dengan niatan untuk menunjukan identitas, atau semacam unjuk gigi kepada kawan dan lawan-lawannya mengenai keberadaan komunitasnya. Didalam aksinya, coretan-coretan tersebut hanya berupa logo, nama atau slogan komunitasnya yang dituangkan dengan bentuk alakadarnya dan terkesan serampangan. Ini juga mengingatkan saya pada teknik-teknik kampanye politik dari caleg-caleg yang menggunakan media pamflet, stiker, dan sebagainya pada beberapa waktu lalu.

Nah, jika yang terjadi demikian akibatnya bisa fatal. Selain merugikan berbagai pihak dengan kesan kumuh yang ditimbulkan, juga dapat mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan masyarakat. Sebab tidak jarang, berawal dari aksi vandalisme inilah pergesekan antara komunitas pemuda bisa terjadi, dan cenderung anarkis. Hal ini patut disayangkan.

Antisipasi Perkembangan Grafiti

Secara perlahan namun pasti, perkembangan seni grafiti akan mendapatkan tempat tersendiri di masyarakat. Tentu saja apabila gerakan ini didukung penuh oleh kreativitas pelakunya dan konsisten. Namun yang perlu diwaspadai disini supaya jangan sampai kekaryaan seni grafiti ini mengarah kepada aksi-aksi vandalisme.

Maksud saya adalah, perlu adanya komitmen yang tegas dari para kreator grafiti agar terhindar dari kesan aksi vandalisme yang sudah jelas-jelas sangat merugikan. Misalnya memilih waktu dan tempat yang tepat dalam berkarya. Sebab bukan hal yang mustahil apabila dikemudian hari, kreativitas seni grafiti akan mendapatkan tantangan berat dari berbagai pihak. Tidak hanya dari si empunya dinding tempat berkreasi, tapi juga bisa dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam penertiban masyarakat.

Ada banyak cara supaya terhindar dari beragam masalah yang mungkin akan timbul ini. Salah satunya dengan membuat semacam kesepakatan antar kreator grafiti untuk tidak melakukan aksinya secara sembunyi-sembunyi. Dan jika permasalahannya adalah perijinan, toh tak begitu berat sekiranya hal ini didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang nantinya akan diajak untuk bekerjasama. Karena selain akan memberikan ketenangan dalam berkarya, juga sekaligus dapat dijadikan ajang promosi bakat yang terpendam. Dan ujung-ujungnya bisa dimanfaatkan sebagai lapangan pekerjaan baru dan mendatangkan penghasilan tambahan.

Yang kedua, perlu adanya pembubuhan tema dan teknik tertentu dalam berkarya. Misalkan karikatur, kartun, futuristik dan lain sebagainya. Meskipun bukan lukisan di atas sebidang kanvas, namun bila dikerjakan dengan tanpa makna pada karyanya, ini juga akan disayangkan. Sebab yang muncul kemudian adalah adanya ketidakteguhan ’sikap karya’ terhadap objek sasaran yang diincar (penikmat grafiti). Salah-salah malah akan menimbulkan sikap skeptis dari masyarakat. Seperti yang saya saksikan, dominasi bentuk karya grafiti di Tasikmalaya masih berkubang dalam teknik kaligrafi (tulisan) saja. Hanya satu atau dua saja yang sudah lebih maju ke arah karya tematis.

Selanjutnya, perlu juga diwacanakan dari sekarang persoalan media atau dinding yang akan digrafiti. Mulai dari klasifikasi kelayakan medianya serta kelayakan lokasi tempat menumpahkan segala ekspresi. Dan kalau perlu, merencanakan lokalisasi seni grafiti. Pemikirannya sederhana, jika hal ini dibiarkan berkembang secara sporadis, maka yang akan muncul kemudian seperti aksi vandalisme, semrawut. Sungguh ini tak perlu terjadi.

Untuk hal terakhir tentang lokalisasi, pada 12 November 2008 saya pernah menulis di halaman Wacana, Harian Radar Tasikmalaya dengan judul Menggagas Mural di Tasikmalaya. Sekedar mengenang, edisi tersebut terbit dengan dua kali dicetak dalam satu hari, karena berbarengan juga dengan pengumuman pembukaan lowongan CPNS. Sulit sekali mendapatkan edisi tersebut.

Nah, di dalam tulisan tersebut saya menyinggung pula tentang lokasi strategis yang paling bagus di Tasikmalaya untuk dijadikan sarana/objek ekpsresi bagi para pelukis: dinding Stadion Dadaha. Dan setahun kemudian, para seniman muda grafiti mewujudkan imajinasi saya itu dengan membubuhkan grafiti di seperempat dinding tersebut. Menyaingi karya mural (lukisan dinding) usang pada dinding yang sama, yang saya buat pada lima tahun sebelumnya dan sempat menjadi polemik hangat di berbagai kalangan. Tentu saja ini sangat membanggakan.

Antara Grafiti dan Mural

Untuk perupa serius, wacana seni grafiti dan mural bukanlah hal asing lagi. Antara seni grafiti dan mural -mudah-mudahan tidak keliru- perbedaan terbesar hanya terletak pada teknik serta bahan dasarnya saja. Kalau grafiti identik dengan cat semprot, maka mural lebih cenderung menggunakan cat tembok atau cat minyak dengan menggunakan kwas. Sementara medianya sama, yakni dinding/ tembok.

Sekedar pembanding, yang paling menarik dalam hal ini terutama di Yogyakarta. Karena keberadaan serta kehidupannya seni seperti ini senantiasa diperhatikan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah. Bahkan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri menganggarkan dana tahunan cukup besar yang disediakan untuk pengadaan cat bagi para seniman yang ingin melukisi dinding perkotaan atau sarana ruang publik lainnya. Suatu hal yang patut diteladani oleh warga dan pemerintah di Tasikmalaya. Tapi, bisakah ?

Petamakali dimuat di Lembar Budaya Radar Tasikmalaya, 7/02/2010.

Komentar