Wacana Film Tasik


Oleh: Irvan Mulyadie

Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti sebuah acara yang bertajuk Granat Indie Movie 2010. Isinya adalah Workshop dan Festival Film yang diselenggarakan oleh LSM Granat (Gerakan Anti Narkoba) yang bekerjasama dengan Kementrian Kebudayaan Indonesia dan lainnya. Kegiatan yang berlangsung pada 3-4 juli di hotel Mangkubumi ini cukup menarik perhatian. Paling tidak bagi saya sendiri yang memang sudah terlanjur jatuh cinta dengan dunia multimedia berbentuk film ini.

Kilasan Sejarah Kreatif Film Tasik

Wacana kreatif dalam dunia perfilman di Tasikmalaya, tidak terlepas dari rekam jejak para aktivis teater dan sastra. Untuk meyakini hal ini, saya teringat ketika pada akhir tahun 1990-an, di kota santri ini telah muncul semacam gerakan seni berbasis film. Semisal dengan munculnya komunitas Caravan pimpinan Eriyandi Budiman. Dia adalah sastrawan multitalenta. Caravan terlahir sebagai pembawa isu segar dengan menghadirkan beberapa pertunjukan film terpilih dalam cita rasa seni yang tinggi. Dan saat itu Tasikmalaya tengah terancam bencana moral yang diakibatkan oleh masuknya pengaruh film-film cabul dibeberapa bioskop ternama di Kota Tasikmalaya.

Pada masanya, Eriyandi sendiri adalah tokoh yang cukup berpengaruh dalam industri perfilmaan nasional. Selain pernah mendapatkan penghargaann FFI, juga sempat pula menggarap sinetron dan reporter di beberapa stasiun tv swasta.

Beberapa tahun kemudian lahir pula kelompok Kineklub yang salah satu tokohnya adalah Nizar Machyuzar dan Iman Abda. Mereka adalah penyair dan anggota teater Ambang Wuruk. Gerakannya hampir mirip dengan Caravan. Yakni dengan menyuguhkan berbagai film bermutu tinggi. Bedanya, kalau Caravan menyuguhkan berbagai film dengan penonjolan utama kualitas dari film berskala global seperti Benhur, Romeo & Juliet, dll. Sementara Kineklub lebih ketat lagi dari segi tema tampilnya dengan menyajikan film-film bernuansa ideologis. Sebagai contoh, mereka menyajikan film dengan judul Doctor Zhivago, Marsinah Menggugat, film-film indie, dll.

Meski demikian, keduanya juga telah mewarnai khasanah dalam wacana seni dan budaya Tasikmalaya. Paling tidak dengan adanya trend baru dengan momen diskusi setelah menonton pertunjukan film. Ini suatu hal yang tidak lumrah pada saat itu. Namun sayang, kedua komunitas ini belum mampu menggerakan roda kreatifitasnya ke arah produksi film itu sendiri. Sebetulnya di luar komunitas ini pun sudah banyak yang menyatakan dirinya sebagai kelompok yang menaruh minat dibidang perfilman. Hanya kurang muncul.

Baru pada akhir tahun 2004, lahirlah Forum Diskusi Kreatif film tasik (Fordiskrift). Komunitas ini diisi oleh berbagai kalangan, mulai dari anak usia SD, pelajar sekolah menengah, mahasiswa dosen, pekerja seni dan umum.Yang menarik selain sebagai ajang penambah wawasan , Fordiskrift pun memproduksi Film juga.

Beberapa karya produksinya antara lain Sahabat Sunyi (2005). Film ini dianggap oleh beberapa media masa lokal sebagai Film perdana karya anak – anak Tasikmalaya . Mengingat seluruh Kru , Pemain , Penggarap . bahkan lokasinya pun hanya berkisar di Kota Tasikmalaya. Film tersebut menceritakan tentang perjuangan seorang remaja dalam mencari kerja. Dan menjadi korban dalam kasus penipun penerimaan CPNS. Selanjutnya film Ayo Kerja (2007) mendapat nominasi 4 Terbaik dalam Pestifal Film Independent Nasional di Palembang , Limbah Membawa Berkah, sebuah film dokumenter (2008),dll.

Rupanya gerakan Fordiskrift ini menjadi semacam virus yg efektif. Selain karena mendapatkan sorotan luar biasa dari beberapa Mediamasa, trend perfileman ini dilanjutkan dengan munculnya berbagai komunitas film di sekolah – sekolah menengah dan kampus. Apalagi memasuki tahun 2000-an , geliat perfilman Nasional semakin berkembang . Ditambah dengan banyaknya ajang kompetisi Film Independent pula dalam berbagai tingkat dan kategori. Mulai dari kompetensi setingkat Lokal untuk pelajar , hingga event-event Nasional.

Dan yang mengejutkan, ternyata Pemda Tasikmalaya pun terpengaruh juga dengan memproduksi Film wisatanya dengan tajuk Tuah Galunggung (2008). Nah selanjutnya, perkembangan dunia perfilman di Tasikmalaya dipengaruhi juga oleh terus munculnya beberapa statsiun televisi lokal pada tahun 2007 hingga sekarang. Juga dengan dibukanya jurusan broadcast dibeberapa SMK di Tasikmalaya . Otomatis , wacana perfilman pun semakin hari kian menampakan geliatnya. Salah satu komunitas sekolahan yang produktif membuat film hingga saat ini ialah para pelajar di SMKN 2 Tasikmalaya. Juga Komunitas Soca, yang merangkul beberapa sekolahan sebagai basisnya.

Granat Indie Movie 2010

Kembali pada cerita saya mengikuti workshop dan Festival Film di atas, sungguh sangat mengembirakan. Kegiatan yang hanya berlangsung dua hari satu macam itu setidak nya telah memberikan gambaran terkini atas minat warga Tasikmalaya dan sekitarnya terhadap dunia antah berantah yg bernama film ini.

Ada sekitar 50 orang lebih yang mengikuti kegiatan tersebut. Mulai kategori pelajar , mahasiswa serta tingkat umum. Dan rata – rata , mereka mereka mengikuti rangkaian acara ini dengan sangat antusias. Apalagi materi yang disuguhkan sangat variatif serta menghadirkan tokoh – tokoh propesional yg kompeten di dalamnya. Sebut saja dengan kemunculan dosen senior dari Institut Kesenian Jakarta. Juga kehadiran Sutradara dan Produser Film Safana, Hornady Setiawan, yang banyak memberikan masukan di wilayah proses kreatif.

Tentu saja, acara yang digelar oleh LSM Granat yang notabene fokus dalam upaya pemberantasan Narkoba patut mendapat pujian. Setidaknya karena telah memilih metode yang tepat dengan mengajak generasi muda untuk mengalihkan perhatian dari penyalahgunaan Narkoba dengan kreativitas perfilman yang mendidik. Kemasan acaranya semacam edutainment. Sebagai peserta, nilai tambah yang saya dapatkan tentu saja, selain silaturahmi, juga juga dapat belajar banyak dari berbagai diskusi kreatif serta pengalaman baru menghadapi karakter – karakter unik di dalamnya. Satu lagi, menyadari lebih jauh antara keterkaiatan pengaruh media massa dengan problematika sosial dalam soal narkoba. Peun.

Penulis adalah pengamat sekaligus praktisi seni dan kebudayaan. Tinggal di Tasikmalaya.

Tulisan ini dimuat pertamakali di Harian Radar Tasikmalaya,

Minggu 11 Juli 2010

Komentar