MINIATUR KEBUDAYAAN KUDADEPA


MENULIS CATATAN PERJALANAN, sebuah dunia yang sederhana tiba-tiba menjadi sangat istimewa....

Oleh : Irvan Mulyadie

Sudah sebulan lamanya, sejak 5 Juli – 5 Agustus 2010 saya mengakrabi sebuah corak kehidupan yang sama sekali sudah lama saya tinggalkan pada 20 tahun yang silam. Seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dimana nuansa kampung yang masih asli dan bersahaja begitu mempengaruhi berbagai pikiran saya belakangan ini. Bahkan seakan-akan membetot beberapa fantasi tentang sebuah keniscayaan hidup dalam diri yang tengah bergumul di hampir seluruh kehidupan saya di sebuah kota yang masih membangun dan terseok-seok mencitrakan dirinya. Nun jauh di Desa Kudadepa, catatan perjalanan ini bermula.

Sebenarnya, suatu kebetulan saja saya berada di Kudadepa. Mengingat hal ini terlaksana berkat adanya program Praktek Kerja Nyata (PKN) yang diselenggarakan oleh STISIP Tasikmalaya. Kelompok saya ada 20-an orang. Dan sebagai mahasiswa tingkat akhir, tentu saja kegiatan ini wajib diikuti. Karena akan berpengaruh atau setidaknya menjadi prasyarat yang penting untuk menyelesaikan tugas akhir berbentuk Skripsi. Ibaratnya, program yang hanya bermuatan 3 SKS ini layaknya tiket masuk untuk sebuah konser pertunjukan yang namanya Sidang Skripsi yang ujung-ujungnya adalah pendapatan gelar kesarjanaan.

Selama berada di salah satu desa terluar Kabupaten Tasikmalaya dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Garut ini, saya selalu bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakatnya. Mulai dari buruh tani, pemuda desa, siswa-siswi sekolahan, ibu-ibu PKK, bahkan dengan hampir seluruh aparatur desa dan perangkat desa lainnya. Termasuk dengan seniman-seniman tradisional dan modern yang setidaknya telah menjadi salah satu alasan terkuat bagi saya untuk senntiasa betah menghabiskan waktu dan hari-hari dengan cuaca yang cukup ekstrim dinginnya. Terutama bila dibandingkan dengan hawa di perkotaan Tasikmalaya.

Desa Kudadepa merupakan suatu bagian dari wilayah Kecamatan Sukahening. Jarak dari Kantor Desa ke ibu kota Kecamatan sekitar 5 KM. Sedangkan jarak ke Kota Tasikmalaya sekitar 22 KM atau sekitar 45 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Desa Kudadepa sendiri berada di sebelah barat wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Terletak antara 70° 23’ - 70° 29’ LS dan 09° 33’ - 24° 27’ BT dengan ketinggian ± 760 dpl. Luas wilayah Desa Kudadepa adalah 246,62 Ha² dari total luas wilayah Kecamatan Sukahening yang sebesar 5.014,19 Ha².

Sekilas tentang Kudadepa

Bercerita mengenai sejarah suatu daerah khususnya wilayah perkampungan Kudadepa yang sekarang menjadi wilayah Desa, memiliki sejarah tersendiri. Menurut Dudus, S.Ag atau yang memiliki julukan khas DeKa ChaN RiKsa, silsilah nama kudadepa ada kaitannya dengan kerajaan sumedang Larang. Data ini kami peroleh berdasarkan hasil wawancara. Dudus sendiri merupakan tokoh terkemuka di desa Kudadepa.

Konon, Sumedang larang yang letaknya di Gunung Tembong Agung didirikan pada jaman kekuasaan Prabu Tajimalela pada tahun 1340 Masehi. Sebelum Tajimalela meninggal dunia, kerajaan diteruskan oleh anak kandungnya yang bernama Prabu Atmabrata yang dikenal dengan sebutan Prabu Gajah Agung. Dimana pada tahun 1529 Masehi, waktu itu agama islam mulai menyebar ke negeri kerajaan Sumedanglarang, tokoh yang menyebarkan syiar islam tersebut Syekh Maulana Muhamad seorang putra dari Syekh Maulana Abdurrahman. Ketika itu diantaranya ada yang keturunan bangsawan serta yang pertama kali memeluk agama islam adalah Parung Gangsa anak kelima Prabu Gajah Agung.

Diantara keturunan Parung Gangsa, yaitu pangeran Angkawijaya yang lahir pada tanggal 19 Juli 1558 Masehi dan memiliki gelar Prabu Geusan Ulun Sumedanglarang pada tahun 1590 Masehi yang mewarisi tahta penerus kepemimpinan kerajaan Sumedanglarang pada masanya. Tercatat, peta wilayah kekuasaannya termasuk Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung.

Pada suatu hari Prabu Geusan Ulun mengutus dua orang pangeran untuk menentukan batas wilayah antara Tasikmalaya dan Garut. Dua Pangeran tersebut sangat patuh terhadap apa yang diperintahkan Prabu Geusan Ulun. Suatu hari, dua pangeran tersebut oleh Prabu Geusan ulun diberi kuda masing-masing satu ekor. Selama berminggu-minggu dua pangeran tersebut menelusuri jalan, turun naik gunung, dan melewati hutan belantara. Dalam perjalanannya, meskipun di hadapkan dengan hewan buas tidak membuat gentar si dua orang pangeran tersebut. Hingga pada akhirnya dua Pangeran tersebut sampai di tujuan dengan selamat.

Setibanya di tempat tujuan kedua pangheran tersebut mulai menentukan batas wilayahnya. Naiklah dua pangeran itu ke kudanya masing-masing mengejar arah timur. Terkadang di tengah perjalannnya keduanya beristirahat atau sindang (Bahasa Sunda) di suatu tempat perkampungan yang mana sekarang tempat persinggahan kedua pangeran tersebut di kenal menjadi kampung Panyindangan. Namun, etika kedua pangeran itu hendak meneruskan perjalanannya, salahsatu kudanya kelelahan hingga tidak dapat lagi ditungganginya. Karena waktu sudah mulai sore kedua pangeran mencari tempat peristirahatan. Dan si kuda yang kecapean ditinggalkan di bawah sebuah pohon besar. Dan perjalanan pun kembali dilanjutkan.

Pada suatu tempat kedua pangeran tersebut akhirnya menemukan sebuah rumah kecil yang kusam tidak terawat dan halamannya juga penuh dengan berbagai tanaman. Penghuni rumah tersebut adalah sepasang orangtua yang bernama Nini Anti dan suaminya Aki Ibah. Keduanya sangat baik menyambut kedua pangeran. Oleh karena kecilnya rumah tersebut, dengan terpaksa di buat rumah darurat disampingnya. Konon, bangunan tambahan tersebut kelak dikenal sebagai Balandongan. Hingga sekarang tempat peristirahatan kedua pangeran tersebut dikenal dengan kampung Balandongan, yang secara kewilayahan masuk ke Desa Sundakerta, tetangga terdekat Desa Kudadepa.

Dan ketika kedua pangeran tersebut berniat ingin kembali ke Karajaan Sumedang Larang, Nini Anti dan Aki Ibah mengantarkan kedua pangeran tersebut hanya sebatas sampai di mana tempat kuda kedua pangeran itu disimpan. Sesampainya ke tempat kudanya ditinggalkan, ternyata kuda tersebut dalam keadaan tengkurap atau Depa (Bahasa Sunda). Salahsatu pangeran menyarankan ke Nini Anti jeung Aki Ibah agar tempat tersebut diberi nama kampung Kudadepa atau lembur Kudadepa.

Hingga kini, Desa Kudadepa sudah memiliki 4 kadusunan/kapunduhan. Yakni dusun Kudadepa, Ciengan, Pamedusan dan Pangkalan. Dan sekarang dihuni oleh sekitar 3.273 Jiwa.

Pentas Seni dan Cermin Gotong Royong

Mengenali lebih jauh kehidupan masyarakat di Desa Kudadepa, setidaknya dapat tercermin dari pola laku dan cara menjalani kehidupan bermasyarakatnya yang identik dengan gotongroyong. Setidaknya ini tampak dari kebiasaan mereka yang sedikitnya telah meluangkan waktu beberapa jam di hari Kamis, misalnya, dengan berangkat berbondong-bondong untuk membersihkan areal tertentu seperti jalan-jalan, pemakaman atau selokan. Juga mengikuti berbagai perhelatan yang diadakan oleh masyarakat secara perorangan maupun kelembagaan pemerintah desa. Keharmonisan antar warga yang notabene didominasi oleh petani sungguh membuat saya iri.

Dan yang mengharukan manakala berbagai program kelompok PKN kami diikuti mereka dengan sungguh-sungguh. Mulai dari kegiatan sederhana seperti kegiatan PKK, kerja bakti memperbaiki kantor desa, penyuluhan pertanian, pemeriksaan dan pengobatan kesehatan gratis, sampai kepada pengenalan Jurnalistik. Mereka haus ilmu dan pengetahuan baru. Antusiasmenya terhadap sesuatu hal yang baru dan dianggap positif telah memberikan tempat di hati kami para mahasiswa. Terutama pada detik-detik terakhir keberadaan kami disini.

Pada malam keakraban, misalnya, 4 Agustus mulai pukul 20.00 WIB hingga selesai. Meskipun hampir sepanjang acara diguyur hujan, namun masyarakat antusias mengikuti tiap acara dan bahkan turut pula memetaskan berbagai kaparigelannya dalam pentas kesenian. Setiap kedusunan mengirimkan perwakilannya. Dan yang tampil tidak hanya orang tua dan pemuda, bahkan anak-anaknya pun turut serta memeriahkan acara. Kesetiaan mereka menuntaskan sampai akhir pertunjukan betapa membuat saya secara pribadi takjub. Bukan menganggap karena mereka kurang akan acara hiburan seperti ini, tetapi rasa solidaritas mereka dalam mengapresiasi dengan spontan dan baik terhadap berbagai materi pementasan yang disajikan.

Adapun bentuk acaranya menampilkan berbagai tari kreasi anak yang atraktif, pertunjukan rampak kendang yang berdarah-darah, pencak silat, pementasan musik Qasidah modern yang sederhana tapi mengesankan serta tentunya pementasan Performance Art persembahan dari mahasiswa sendiri sebagai penyelenggara dan tamu kehormatan. Untuk performance Art sendiri, agaknya masyarakat cukup terbuka menerimanya. Padahal sebelumnya kami cukup pesimis pertunjukan tersebut akan diterima dengan baik. Apalagi yang ini disajikan berupa dramatisasi puisi dengan koreography yang agak susah untuk dicerna oleh apresiator pemula.

Dari salah satu sisi acara ini, saya sedikit ingin memberikan gambaran tentang betapa jiwa gotongroyong telah merasuki saban jiwa masyarakat di Desa Kudadepa. Bagaimana misalnya kami bersama-sama membangun panggung pertunjukan dengan alakadarnya dengan memanfaatkan golodog kantor desa dan menciptakan panggung yang akrab untuk semua lapisan masyarakatnya. Bahkan pelajaran yang sangat tinggi nilainya ketika sebuah apresiasi seni terbangun di sebuah perkampungan yang cukup jauh dengan alasan sederhana : Kebersamaan !!!

Penulis adalah pengamat sekaligus praktisi seni dan kebudayaan.

Dimuat pertamakali di Lembar Budaya Harian Radar Tasikmalaya

Komentar