LALULINTAS IDE

Oleh : Irvan Mulyadie

Istilah Lalulintas Ide sebetulnya dicetuskan sebagai perlawanan terhadap tudingan laku menjiplak atau plagiat dalam suatu karya cipta. Karena bagaimana pun sebagai manusia yang hidup diantara milyaran orang lainnya di dunia, tentu saja akan berpeluang mempunyai banyak kesamaan dalam kreasi ciptaannya. Baik sebagai persepsi maupun karya nyata. Faktor keilmuan dan wawasan yang terus tumbuh juga memungkinkan semua ini terjadi. Baik di antara satu kultur maupun lintas kultural. Terutama di bidang seni dan kebudayaan.


Pada suatu hari di awal tahun 2000an, yang tanggal serta bulannya telah terlupakan, tak sengaja saya menemukan rangkaian kata dalam puisi saya yang hampir sama dengan beberapa penyair lainnya. Tentu saja saya terkejut. Mengingat bahwa sama sekali saya tak pernah mendengar apalagi membaca karya penyair bersangkutan sebelumnya. Tapi murni intuisi.

Kejadian ini membuat saya sangat gelisah. Soalnya pada saat itu saya masih dalam kategori pemula di dunia tulis menulis. Sedangkan penyair yang saya maksud adalah Nazaruddin Azhar dan Sarabunis Mubarok, yang dalam proses karyanya lebih dulu. Rasa cemas dan ketakutan dicap plagiat pun langsung kambuh. Nazhar pada kasus ini telah menuliskan kalimat “setubuh kata”, sedangkan Sarabunis menulis “menyetubuhi kata” dan saya dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh dari karya-karya mereka menulis dalam salah satu judul puisi “menyetubuhi kata-kata”. Dramatis sekali.

Di lain waktu, masih di awal 2000an saya pernah menulis puisi berdasarkan pengalaman/ empiris ketika saya masih suka mondok moék di Gedung Kesenian Tasik (GKT). Saya ingat pada suatu siang, sambil melatih olah vokal, saya naik ke atap GKT. Iseng-iseng dari kertas yang selalu dibawa di dalam tas, saya bikin origami yang berbentuk pesawat terbang. Dan dari ketinggian melebihi 8 Meter, maka meluncurlah pesawat-pesawat dari kertas tersebut dihantar angin kemana pun yang ia mau. Hingga akhirnya jatuh juga ke tanah.

Dari sana insting menulis pun muncul dengan tiba-tiba. Dari peristiwa yang begitu sederhana itu telah mengalirkan inspirasi. Sebuah puisi pun terlahir dengan judul “Pesawat Kertas”. Isinya menceritakan tentang seorang anak yang dibuatkan kakapalan oleh ibunya. Ketika pesawat dari kertas itu diluncurkan, si anak merasakan dirinya juga terbang dan menjadi pilot untuk pesawatnya. Ia mengembara melintasi berbagai benua serta negara-negara di dunia. Dalam imajinasinya, pelajaran-pelajaran di sekolah mengenai ilmu pengetahuan sosial telah mampu menghantarnya (guide) kemana pun yang ia inginkan. Dari pulau ke pulau di Indonesia hingga sampai di Cina, Amerika, bahkan pernah hinggap di Ka’bah di Saudi Arabia.

Namun di akhir puisi, si anak tersebut malah menanggung kecewa luar biasa. Ia sangat sedih ketika sadar bahwa dalam kenyataan sesungguhnya dirinya mendapati pesawat itu hanya sampai di pagar teralis halaman depan rumahnya.

Singkat cerita, rampung juga puisi itu saya buat. Dengan gembira disodorkanlah karya empiris tersebut kepada penyair Saepul Badar. Kepada beliaulah saya banyak menimba ilmu puisi secara teknis. Tapi apa yang terjadi? Ternyata, nasib saya tidaklah jauh berbeda dengan kisah imajiner si anak tadi. Sama-sama berprasangka diri telah mendapatkan sesuatu yang istimewa. Toh ternyata orang lain telah melakukan hal serupa sebelumnya. Yakni Sapardi Djoko Damono dalam puisi ”Perahu Kertas” karya tahun 1982, yang saat itu saya masih berusia batita. Dan saya tidak pernah berani memublikasikan puisinya hingga sekarang.

Padahal, ada maksud yang sangat berbeda antara puisi Pesawat Kertas saya dengan Perahu Kertasnya Sapardi. Sapardi lebih melukis ekploitasi imajinasi anak dari segi kepolosannya dengan hikmah cerita dari masalalu, Nabi Nuh. Sementara saya menggambarkan geopolitik Indonesia yang terombang ambing di antara dua kubu ideologi antara faham kapitalisme (Amerika) dengan haluan faham sosialis (Cina). Namun juga punya keterikatan khusus dengan dunia Islam yang kental (Arab). Dilematika psikologis inilah yang jadi landasan pikir saya saat itu. Dan lagi secara teknis penulisan serta gaya ucap kedua puisi ini jauh berbeda.


Istilah Lalulintas Ide

Dari beberapa kejadian serupa yang menimpa saya dan juga kawan-kawan lainnya di Tasikmalaya, maka saya pun menamai fenomena ini sebagai ’Lalulintas Ide’. Istilah ini tercetus sekonyong-konyong dari mulut saya dalam suatu diskusi penuh retorika di beberapa kesempatan. Entah itu dengan para penyair, perupa, aktor teater, penari juga dengan pentolan grup band.

Nah, justeru dari beberapa anggota band itulah saya mendapatkan pencerahan lebih terang. Bahwa dalam etika bermusik, ada hubungan mengikat dan telah disepakati bersama oleh pemusik. Yakni, suatu karya musik tidak boleh mempunyai kesamaan aransemen dengan karya orang lain. Batas toleransi kesamaannya maksimal 8 Bar. Kalau lebih dari itu akan dianggap plagiat. Dan yang menang atau dianggap asli tentu saja aransemen dari orang yang telah lebih dahulu mempublikasikan atau mematenkan karyanya.

Logis memang jika dalam aransemen suatu karya cipta musik mempunyai banyak kesamaan. Seperti yang telah kita ketahui, tangga nada musik yang paling populer di dunia cuma 7 nada. Yakni nada Do, Re, Mi, Fa, So, La, dan Si. Selebihnya merupakan turunan dari nada-nada tadi. Bayangkan saja dari ketujuh nada itu digali dan diaransemen oleh jutaan manusia di berbagai belahan dunia sejak awal terciptanya nada itu. Sangat mustahil jika hari ini masih ada aransemen musik dengan tangga nada tadi yang betul-betul orsinil.

Ambil contoh dalam dalam foklor, cerita dari mulut ke mulut tentang kisah Jaka Tarub. Kisah pemuda dengan tujuh bidadari ini mempunyai banyak versi dengan latar belakang tempat, nama tokoh dan kebudayaan yang beragam. Bahkan ceritanya masih terus bermetamorfosis hingga hari ini. Di Indonesia saja lebih dari lima daerah yang berjauhan secara lokasi mempunyai kisah yang sama. Bahkan cerita itu terdapat juga di negara-negara lainnya seperti di eropa dan asia. Apakah ini termasuk dari rangkaian teori plagiat atau hanya lalulintas ide?

Hal ini tentu berbeda kasusnya dengan insiden dugaan pembajakan lagu band Peterpan yang berjudul ‘Tak Bisakah’ pada beberapa waktu lalu yang dijiplak habis-habisan oleh pemusik asal India yakni band Woh Lahme dengan jdul lagu ‘Kya Muhje Pyar Hai’. Dipastikan konsep Lalulintas Ide pada kasus ini hanyalah omong kosong yang dibuat sebagai bahan pembenaran saja. Sebab kenyataannya telah membuktikan secara terang benderang.

Di dalam dunia puisi, kasus dugaan plagiat ini pernah juga dialami di kesusastraan Indonesia. Bahkan melibatkan nama sastrawan besar yang fenomenal, Chairil Anwar. Chairil dianggap telah berlaku plagiat dengan menjiplak/ menyadur puisinya Mac Leish yang berjudul The Young Dead Soldiers Do Note Speak (1941) dalam puisinya yang ia beri titel Krawang-Bekasi (1948). Hal ini sempat menuai kontroversi yang berkepanjangan.


Selarik Kesimpulan

Istilah Lalaulintas Ide sebetulnya dicetuskan sebagai perlawanan terhadap tudingan laku menjiplak atau plagiat dalam suatu karya cipta. Karena bagaimana pun sebagai manusia yang hidup diantara milyaran orang lainnya di dunia, tentu saja akan berpeluang mempunyai banyak kesamaan dalam kreasi ciptaannya. Baik sebagai persepsi maupun karya nyata. Faktor keilmuan dan wawasan yang terus tumbuh juga memungkinkan semua ini terjadi. Baik di antara satu kultur maupun lintas kultural. Terutama di bidang seni dan kebudayaan.

Jadi Lalulintas Ide dalam suatu karya sangat berbeda dengan istilah Plagiat. Ia semacam jalan by pass bercabang-cabang yang dilintasi oleh banyak kendaraan berbagai merek, bentuk dan ukuran. Bentuk suatu bangunan boleh saja bermacam-macam. Mulai dari dari desain dengan kultur etnik hingga desain yang futuristik. Tapi kenyataannya, mayoritas manusia di dunia menyukai berbagai aktivitasnya dilakukan di ruangan-ruangan yang berbentuk kotak. Bahkan dengan berbagai desain aksesorisnya. Disadari atau tidak. Dan hal itu berlangsung dari abad ke abad. Entah sejak kapan ada kesepakatan itu.

Dan saya juga yakin, istilah Lalulintas Ide ini bukanlah merupakan suatu temuan yang baru. Mungkin saja sebelumnya ada istilah mapan yang sejatinya mempunyai maksud serta tujuan yang sama. Sayangnya, saya telah mempunyai semacam prediksi jika istilah ini mulai populer dan memasyarakat. Ia akan dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai dalih dalam hal pembenaran untuk karya plagiatnya. Bagaimana pun melanggar hak cipta seseorang adalah sebuah kejahatan yang tak bisa ditolelir. Baik secara moral maupun dalam etika kemanusiaan. Tapi biarlah waktu yang akan menjawabnya.


Tulisan ini pertamakali dipublikasikan di Harian Radar Tasikmalaya' 2010.

Komentar