
SAJAK DEMONSTRAN
Teriak mana yang lebih nyaring
Dari puisi, ketika sepi membabi luka
Menyeruduk ke saban rungkun dalam jiwa
Dan meraung mencemari langit negeriku
Penyair adalah tuhan kata-kata
Saat cinta tak menemu puncak merdeka
Suara mana yang lebih lantang
Dari sajak petualang
Disaat resah jadi sembilu
Dalam lagu-lagu cemburu – meradang
Di hati rakyat yang terbungkam
Penyair adalah wahyu peradaban
Bagi zaman yang terbius dengan hasutan
Maka inilah puisiku, demonstran lugu
Yang selalu membawa batu
Dan bersiap melempar wajah tirani bisu
2010
RUMAH KENANGAN
Bicaralah tentang kenangan, segalanya
Punya kisah tanpa cela
Buku-buku yang tak pernah lagi kau baca
Sekotak surat cinta, koleksi prangko
Atau jejak-jejak musim di beranda
Dan lugunya bait puisi di masa muda
Semuanya bercerita dalam kenangan
Kursi tua, album potret keluarga
Kain batik, meja makan, tikar mendong
Langit-langit dapur yang berjelaga
Bahkan kamar-kamar paling rahasia
Sangat penuh dengan ragam peristiwa
Inilah rumah kenangan kita
Tempat singgah yang abadi
Ruang-ruang di dalamnya terus merekam
Keresahan yang sering luput
Ditafsirkan bahasa cinta
Bahasa rindu, dan
Berjuta-juta impian tak terduga
Di masa depan, rumah ini
Pintu masuk bagi saban kenangan itu
1 Syawal 1431 H
PERTEMUAN
Ketika pada akhirnya kita berjumpa
Di pojok gelap rumah tua
Yang temboknya selalu lembap
Dipeluk hijau lumut basah
Kau lantas mengadu tentang kisah masalalu
Menyurukan cantik wajahmu di dadaku
Dan menangis
Untuk cinta yang tercampak keadaan
Ketika pada mulanya penyesalan itu datang
Pada saat kita sepakat
Dalam ikrar perpisahan
Dan kau cepat bergegas meninggalkanku
Lalu terjebak di lebat hutan kegelisahan
Sungguh ini sebuah kisah fatamorgana
Kekasih, dan betapa malangnya kita
Saat rumah kenangan itu membuka jendela
Menampakan semburat rindu yang menyilaukan
Tapi kita masih saja kegelapan
Saling memapah dan memamah penderitaan
Dalam waktu serba tak tuntas
Hanya luka yang semakin dalam membekas
Dan kekal
Melukiskan gelombang zaman
Adalah pena paling tajam
Menukil sejarah kelam
Menuliskan keresahan-keresahan
Pada saban bening cermin kehidupan
Adalah kertas yang terbentang
Di sepanjang peradaban
Kata-katanya abadi
Dalam puisi
2010
SAJAK UNTUKMU
Menulis sajak untukmu, seperti hujan
Lebat di tengah malam
Begitu dingin kata-kata dijatuhkan
Dari langit kehitaman dalam dadaku
Semuanya serba samar
Suaranya terdengar parau
Namun tak lantas dapat menyelesaikan
Bait-bait kesedihan yang memucat
Menulis sajak untukmu, seperti angin
Yang mengutil pucuk daun dari tangkainya
Meski aku tak pernah sampai menjatuhkan
Aroma musim yang terekam di dalamnya
Kecuali segumpal bayang kengerian
Yang menggetah
Di saban-saban lengkung cuaca
Menulis sajak untukmu, betapa sulitnya
Seperti menarik hinis
Yang tertancap di lubang anus para penyair
Yang tak lagi menulis sajak
Dengan hatinya
Menulis sajak untukmu, ternyata
Tak semudah mulut manis penguasa
Yang mengobral janji-janji
Saat sedang berebut kursi
Kekasih, menulis sajak untukmu
Semua kata yang tersedia
Begitu kelu diucapkan bahasa cinta
2010
Dimuat pertamakali di Lembar Budaya Harian Kabar Priangan
Rabu, 2 Februari 2011
Komentar
Posting Komentar