SAAT ‘SBY’ MENGHAJAR KUCING

Oleh : Irvan Mulyadie

Apa yang terjadi, jika seekor kucing tiba-tiba menjadi binatang yang sangat menakutkan? Bahkan mampu menimbulkan permusuhan di antara para tetangga. Kucing yang biasanya terlihat manis dan menjadi piaraan rumah yang baik, dalam pentas teater yang digelar di area gedung pertunjukan Asia Plaza Tasikmalaya pada 16 Februari yang lalu membuat malam terasa ‘menggelisahkan’.

Sebelum lampu benar-benar menerangi panggung pertunjukan, suara-suara yang melukisakan kehidupan di tengah permukiman kota yang padat menghiasi suasana. Seorang lelaki separuh baya nampak gontai berjalan menghampiri rumahnya dengan seabrek barang belanjaan. Lelah sekali rupanya. Sayang, ketika hendak memasuki rumahnya sendiri, pintu-pintu terkunci rapat. Tak ada siapa pun. Ia tak bisa masuk.

Begitulah cerita bermula. Dengan latar belakang bulan suci Ramadhan, lelaki itu mulai sibuk mengeluh tentang kehidupan keluarganya yang tak begitu harmonis dalam beberapa hal. Istrinya minggat dengan tanpa pesan apa pun. Ketika Maghrib tiba, ternyata kunci rumah ditemukan tergolek begitu saja di bawah keset depan pintu. Ia girang sekali dan menyadari ketololannya.

Namun lagi-lagi, lelaki itu kecewa mendapati meja makannya yang kosong. Tentu saja amarahnya mulai membara. Sampai suatu ketika seekor kucing tetangga yang nyelonong masuk ke rumahnya seakan memberikan petunjuk, jika dalam lemari ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Benar saja, saat lemari itu dibuka sederet makanan siap saji telah menanti untuk dihidangkan. Bergegas ia merapikannya di meja. Saat ia sedikit meleng, ikan bakar rica-rica itu telah digondol kucing. Dikejarnya kucing itu, dipukuli, ditendangnya keluar. Ia tak jadi menikmati waktu berbuka puasa yang sudah di idam-idamkannya.

Rupanya, peristiwa penganiayaan kucing tersebut berbuntut panjang. Seorang tetangga, si empunya kucing merasa tidak terima dengan perlakuannya. Dan meminta ganti rugi pengobatan kucingnya yang kini pincang. Dengan mediasi kepala RT, akhirnya persoalan selesai juga. Keadaan kembali tenang. Ada hikmah di balik peristiwa ini, membuat sepasang suami-istri yang bertengkar itu kembali berbaikan. Bahkan hubungannya lebih hangat dari sebelum-sebelumnya.

Selang bebarapa waktu, peristiwa penganiayaan kucing itu terulang. Kali ini masalahnya lebih serius. Sang kucing mati tergilas mobil si empunya kucing itu sendiri saat dikejar-kejar karena kembali mencuri. Mediasi kembali dilakukan. Berbagai alasan dan sanggahan tak membuat persoalan terselesaikan dengan damai. Ia harus mengganti nyawa kucing itu tiga kali lipat dengan tiga ekor kucing yang baru. Sang tokoh sentral merasa diperlakukan tidak adil dan semena-mena. Ia protes dengan segala beban amarah yang memuncak dan berputar-putar di hati dan kepalanya.

Pentas Si Butet Yogya (SBY)

Ngobrol bareng bersama Butet di RSPD Kab.Tasikmalaya

Itulah sekilas gambaran tentang pertunjukan monolog yang menampilkan aktor tunggal, Butet Kartaredjasa. Lakon monolog yang diangkat dari cerpen karya Putu Wijaya ini tampil apik dan nyaris tanpa cela. Mengalir lancar dengan kekuatan akting yang mengesankan. Didukung pula dengan artistik dan penataan musik yang kuat membuat realitas pertunjukan berkonsep realis ini begitu kuat.

Ada yang berbeda dengan pertunjukan SBY (Si Butet Yogya- panggilan guyon Butet) kali ini. Kalau pada pentas-pentas terdahulu selalu kental dengan aroma pentas kritik sosial politik, dalam monolog berjudul kucing itu tak lagi mendominasi. Justeru dengan mengusung tema sederhana dalam kehidupan keseharian inilah kepiawaian akting ‘sang raja monolog’ teruji.

Walau demikian, tak lantas membuat pertunjukan tersebut kering dari kritik. Di beberapa kesempatan, improvisasi Butet dalam celotehannya membuat penonton terhenyak. Seperti ketika ia menyindir pemerintahan dan aparat jajarannya yang tak serius menangani perkara korupsi. Atau di saat-saat tertentu ketika ia menggambarkan dengan cerdas bagaimana korupsi itu berlangsung dengan mengatasnamakan kepedulian sosial. Pada saat ketua RT nilep isi amplop setelah berhasil membujuk si tokoh untuk membayar ganti rugi pengobatan kucing, misalnya.

Sehari sebelum pertunjukan itu berlangsung, kami sempat bercakap-cakap tentang pertunjukan ini, di studio RSPD Tasikmalaya dalam acara Cakrawala Sastra Kita. Bersama dengan sutradaranya juga, Whani Darmawan. Biasa, seputar proses kreatif dan latar belakang pemikiran dalam suksesi pertunjukan.

Banyak hal luar biasa dan tak terduga yang terungkap. Ternyata, dengan pertunjukan kucing ini ia ingin mengikis ‘imej lucu’ yang selama ini menempel erat dalam dirinya.

“Saya ingin kembali pada konsep panggung teater seutuhnya yang telah berjasa membesarkan saya selama ini. Dan setia kepada sutradara” Ungkap Butet.

Memang, selama beberapa tahun terakhir sejak awal reformasi ia lebih dikenal sebagai selebritis. Meskipun dalam beberapa hal ia masih mempertahankan gaya-gaya dan disiplin pemanggungan teater. Di dunian entertainment, sosok yang pandai menirukan gaya dan suara mantan presiden RI ini dikenal lebih luas lagi setelah membintangi film layar lebar. Film Petualangan Sherina, Maskot dan Banyu Biru. Juga dalam acara tv seperti Republik Mimpi yang memerankan pameo tokoh SBY.

Selaku sutradara pertunjukan, Whani Darmawan merasa sangat tertantang. Bagaimana pun ia paham akan kapabilitas Butet. Dan ia sama sekali tak menyangka saat Butet dengan setia dan kerelaan penuh memercayakan pada dirinya untuk disutradarai.

Berbincang seputar proses kreatif dengan Whani Darmawan

“Butet sangat patuh pada keinginan sutradara. Tak pernah menyanggah. Luar biasa. Proses kreatifnya Cuma memakan waktu dua atau tiga bulan saja…”

Tasikmalaya sendiri dalam rangkaian pertama pentas keliling monolog kucing ini merupakan kota ketiga setelah Bandung dan Cirebon. Berikutnya, pementasan direncanakan di Jawa Timur dan beberapa kota lainnya di luar jawa. Sayang, tiket masuk pertunjukan yang terkesan mahal untuk wilayah priangan timur membuat pertunjukan ini terkesan begitu ekslusif. Banyak penggemar Butet dari Tasikmalaya dan sekitarnya yang kecewa karena tidak dapat menonton tokoh kesayangannya ini. Padahal, seandainya tiket masuk separuh harga dari harga tiket yang ditetapkan, dipastikan gedung yang ber kapasitas 2000 penonton itu akan mampu terisi penuh. (*)

Penulis adalah praktisi, sekaligus pengamat sosial dan kebudayaan.

Dimuat pertamakali di Hal.Budaya_Radar Tasikmalaya(20/02/2011)

Komentar