BEBEGIG TEATER POLOS

Oleh : Irvan Mulyadie

Bagi sebagian besar masyarakat pecinta dunia pertunjukan drama di Tasikmalaya, nama Teater Polos yang bermarkas di kisaran Jamanis Kab.Tasikmalaya mungkin tidaklah akan asing di telinga. Sejak tahun 1995, komunitas yang digawangi oleh Cupit Danuwarta dkk, telah berkibar. Dan yang menarik, kelompok ini mengakui sangat keukeuh mempertahankan sebagian idiom longser pada setiap pertunjukannya. Pun ketika dalam garapan Bebegig yang dipentaskan di hadapan ratusan mahasiswa di Gedung Mandala Universitas Siliwangi pada Sabtu, (5/3) yang lalu.


Tapi ada yang berbeda dalam pertunjukannya kali ini. Disamping tidak memaksakan diri dengan melibatkan aktor atau kru yang banyak, juga dari segi suguhan nampak mulai menghindari penggunaan atribut pendukung yang berlebihan. Jika biasanya hampir separuh panggung habis dipakai oleh pemusik dan peralatannya, untuk pertunjukan Bebegig ini cukup dengan hanya menggunakan ilustrasi musik hasil olahan digital (komputer) saja. Dari segi artistik pun demikian, terkesan minimalis tapi cukup menggambarkan suasana yang diperlukan.

Dwilogi Drama

Sejatinya, judul Bebegig merupakan interpretasi bebas Cupit Danuwarta dari naskah Badawang yang ditulis R. Hidayat Suryalaga pada tahun 1994. Itu pun merupakan hasil koreksi yang ke tiga kali oleh pengarangnya. Dan Badawang merupakan naskah terakhir dari dwilogi karya, atau kelanjutan episode dari naskah drama pertama yang berjudul Raja Wales. Dalam titimangsa naskah, Raja Wales ditulis pada 16 November 1986. Di Tasikmalaya sendiri, Dwilogi karya drama berbahasa sunda ini pernah dipentaskan di Gedung Kesenian Tasik oleh Teater Sundakiwari Bandung pada awal tahun 2000an.

Dalam versi aslinya kisah Badawang sangat serius. Menceritakan tentang empat orang pelarian yang diusir oleh kerajaan masa silam (Raja Wales). Mereka membangkang kebijakan pemerintah yang hanya meminta rakyatnya untuk melayani nafsu kekuasaan belaka. Mereka berlatar belakang profesi yang berbeda, mulai dari budayawan, cendikiawan, seniman dan wartawan.

Suatu ketika dalam pelariannya itu, mereka terdampar di sebuah negeri antah berantah yang berlatar masadepan dari kerajaannya itu sendiri. Yang tampak di sekeliling mereka hanyalah tumpukan sampah. Dengan suatu kesepakatan, mereka pun bahu membahu membersihkan kawasan tersebut. Namun karena tidak terkoordinasi dalam suatu pucuk pimpinan, akhirnya pekerjaan itu sia-sia belaka. Hingga tercetus juga ide untuk memilih salah satu di antaranya untuk menjadi pemimpin.

Sayang, pelajaran dari masalalu telah membuat mereka tidak lagi mempercayai sedikit pun akan konsep dari suksesi kepemimpinan itu. Alasannya klise, para pemimpin selalu saja berperilaku korup, tidak memihak pada rakyat, haus kekuasaan dan cenderung otoriter. Akibatnya perdebatan membentur jalan buntu.

Ide terakhir adalah dengan menggali kembali jejak-jejak sejarah yang tertinggal dan menghidupkannya kembali sebagai simbol penguasa baru. Alih-alih mendapatkan pimpinan yang idealis, yang menjelma kemudian malahan Badawang. Badawang sendiri dipercaya sebagai hantu jahat yang tentu saja lebih kejam dari pemimpin terdahulunya.

Catatan Kritis dari Pentas Bebegig

Menonton drama Badawang, yang dalam hal ini telah diadaptasi oleh Teater Polos dengan judul Bebegig, serasa memutar ingatan saya kembali pada saat pertunjukan pertama kalinya di Tasikmalaya oleh Teater Sundakiwari beberapa tahun lalu. Terus terang, pentas tersebut meninggalkan kesan mendalam bagi saya karena telah memberikan pengalaman /empirik yang luar biasa. Baik sebagai produksi pertunjukan yang utuh maupun dari segi teknik yang digunakan dalam menaklukan belantara naskah serta medan pemanggungan.

Jadi mau tak mau, ketika Teater Polos menampil ulang garapan tersebut, saya serasa disodori dua masakan serupa dengan koki yang berbeda. Sebagai penggarap sudah barang tentu mempunyai kecenderungan yang sesuai dengan ideologi kekaryaannya. Biasanya hal tersebut berkaitan erat dengan proses kreatif dan pengetahuan si penggarap sendiri.

Sekedar perbandingan saja, Teater Sundakiwari pada saat itu cenderung membawa konsep pemanggungan realis, sangat patuh terhadap teks naskah dan serius. Apalagi didukung pula dengan kualitas aktor serta konsep garap yang meyakinkan, membuat durasi pentas yang kurang lebih 2 jam tersebut terasa sangat berarti.

Sementara Teater Polos, mengusung pertunjukan itu dengan konsep yang nyerempet-nyerempet ke arah bentuk yang absurd. Hal ini dapat disimak sejak awal pertunjukan. Dimana sebelum pementasan benar- benar memasuki ke area naskah, ada semacam adegan konfiguratif yang memperebutkan bebegig sawah. Sepintas, hal ini cukup mewakili latar belakang tercipta naskahnya sendiri dari Raja Wales.

Sebetulnya saya sedikit kecewa dengan tampilan Teater Polos kali ini. Alasannya sangat mendasar, karena Polos seperti menghianati ideologi kekaryaannya sendiri yang hampir 15 tahun melekat dalam dirinya, longser. Kecuali jika polos memang terlalu polos dalam menafsirkan longser sebagai bobodoran semata. Sebab nyaris 90% interaksi yang dibangun bersama penonton adalah pengulangan-pengulangan humor yang sudah basi dan terlalu biasa disajikan oleh kebanyakan kelompok humor di Indonesia, Borelak atau Opera Van Java misalnya.

Padahal, konsep longser tentu tidak dapat dipukul rata dengan bobodoran. Meskipun dalam setiap pementasan longser terdapat banyak humor, namun hal tersebut hanya sebagai selingan saja. Untuk mengusir rasa kantuk penonton, karena longser biasanya digelar pada malam hari hingga larut. Misinya tetap, cerita dengan alurnya. Secara estetika, interaksi antara aktor dengan penonton yang dibangun dalam longser adalah untuk menajamkan logika cerita itu sendiri. Dengan mempertanyakan karakter tokoh, perbuatan tokoh, bahkan terhadap alur serta isi ceritanya sendiri, biasanya.

Sedangkan dalam bobodoran, tidak perlu susah- susah bikin cerita dari A-Z. Apalagi sampai membentuk karakter tertentu yang ‘njelimet seperti dalam teater atau film. Yang terpenting dapat bikin penonoton tertawa. Apapun caranya, yang terkadang sampai melecehkan hak asasi manusia, memperolok simbol negara, bahkan mempertanyakan ajaran-ajaran agama.

Selanjutnya, kecerobohan Teater Polos yang agak patal dapat dilihat dalam penggantian judul naskah Badawang dengan bebegig. Sebagai simbol, badawang merupakan sebentuk hantu imajiner yang selalu digambarkan sebagai sosok raksasa yang jahat terhadap manusia. Sementara bebegig, khusus untuk daerah Tasikmalaya, adalah sebutan bagi orang-orangan sawah pengusir hama burung. Jadi jelas, posisi Badawang sebagai penghantu manusia yang jahat tidak bisa diselaraskan dengan kebaikan fungsi bebegig sebagai pengusir hama burung. Itu kontradiktif secara simbolis makna, walaupun intinya sama-sama sebagai penebar teror.

Namun demikian, saya tetap menaruh hormat atas segala kerja keras dan intensitas Teater Polos selama ini. Tidak mudah mempertahankan sebuah pencitraan kreatif didunia panggung yang terbuka lebar terhadap berbagai kemungkinan bentuk pementasan. Apalagi mencapai taraf kekhasan tertentu. Dan ini penting sebagai brand image atau penanda identitas diri kelompok teater.

Di Tasikmalaya, dengan seluruh keberhasilan dan kontroversi yang pernah disematkan kepada Teater Polos, agaknya tidak bisa lagi dipungkiri, kalau Teater Polos adalah satu-satunya komunitas panggung di Tasikamalaya yang telah mencapai keajegan tertentu. Terutama dari segi bentuk ekspresinya yang konsisten. Kalau saja mereka mau sedikit setia terhadap naskah dengan tidak terlalu merusak plot besarnya, saya yakin, Teater Polos akan mampu bersaing dengan kelompok sebesar Teater Sundakiwari. Satu lagi yang mesti dipikirkan karena menjadi sumber kelemahan serius Teater Polos, terlalu “produktif ”.

Penulis adalah praktisi seni sekaligus pemerhati sosial dan kebudayaan.

Tinggal di Tundagan Tasikmalaya.

Dimuat pertamakali di Lembar Budaya Harian Radar Tasikmalaya

Minggu, 13 Maret 2011

Komentar