Pentas Band Syaraf Teater Dongkrak

KAJI KEMBALI MASALAH ETIKA

Oleh : Irvan Mulyadie

Beberapa waktu lalu, pada sebuah perhelatan budaya di Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT), saya diundang untuk menjadi pembicara pada salah satu sub acaranya. Yakni untuk mengupas film Dari Ruang Lain. Tapi sebelum saya tampil, dipergelarkan juga pentas seni lainnya, termasuk karya Teater Dongkrak yang mengibarkan bendera Band Sharaf dengan suguhan Tarian Wajit Kacang (TWK) atawa Wayang Neangan Dalang : Iqra.


Karena sesuatu hal, saya agak terlambat datang ke GKT. Saat sampai beberapa acara telah saya lewatkan. Kecuali pemutaran film yang akan saya bahas dan sisa pentas menjelang berakhirnya TWK.

Dalam tulisan ini saya tak hendak menceritakan tentang bagaimana saya dalam mengulas film tadi, sebab di beberapa media massa sebelumnya telah saya kupas tuntas. Namun ini tentang TWK. Pentas yang cukup menyita perhatian lantaran merupakan seni kolaborasi antara musik, sastra, dan jeprut / performance art. Tampilannya cukup unik (kalau tidak mau menyebutnya aneh) meskipun secara tersirat ingin menggiring penonton ke arah renungan yang relijius. Setidaknya, itulah yang disampaikan oleh beberapa pentolannya.

Karena tidak secara utuh menyimak, saya pun agak gelagapan diminta respon atau sedikit tanggapan oleh salah seorang penggarapnya. Kecuali kenyataan teknis pada saat itu yang saya anggap sebagai pertunjukan yang masih mentah. Soalnya, dari sepuluh menit terakhir yang dapat disimak, tak ada sesuatu yang cukup menjanjikan.

Persoalan teknis yang dimaksud antara lain; penataan sound system yang kurang bagus sehingga lontaran-lontaran kalimat dari puisi yang dibacakan tidak jelas karena tersaput gemuruh tetabuhan, kesan pergantian orator yang spontanitas dan tidak siap manggung, blocking semrawut, serta aransement musik yang monoton.

Meskipun demikian, diluar konteks manajemen, garapan tersebut telah menjadi semacam trend sebagai bentuk kesenian yang menawarkan kesegaran tersendiri. Hal ini terbukti dengan banyaknya order mentas di beberapa tempat. Baik di dalam maupun di luar kota Tasikmalaya. Mungkin, bagian relijius itulah yang menjadi daya tariknya. Bikin penasaran, termasuk saya yang belum tuntas menyaksikannya.


Beredar di Dunia Maya

Tapi akhirnya, rasa penasaran pun terobati juga. Ternyata beberapa cuplikan live show yang cukup lengkap sudah diunggah ke salah satu situs berbagi video paling terkemuka di dunia, youtube.com. Bahkan link video tersebut sudah tersebar luas di situs jejaring sosial seperti facebook.

Melihat secara seksama dokumentasi video yang diberi titel SYARAF - TARIAN WAJIT KACANG - TEATER DONGKRAK ( IQRA ) " MARAKAYANGAN ROAD SHOW " JIWA BESAR TASIKMALAYA dalam link http://www.youtube.com/watch?v=_BNuCo4hijQ sungguh saya dibuat terkejut. Bagaimana tidak? Dengan penuh percaya diri Teater Dongkrak ternyata berani tampil konroversial.

Sebagai gambaran saja, dalam video yang berdurasi 7 menit 21 detik ini, mereka seakan menyihir audien dengan sajian yang mencengangkan. Panggung penuh dengan musisi, aktor beserta alat-alat musik. Pentas dibuka dengan raungan alat musik tiup tradisional dengan gemirincing lonceng beronce. Diawali dengan taud dan basmalah, disusul pula dengan pembacaan dua kalimat syahadat oleh salah seorang oratornya.

Sejurus kemudian, nada musik mulai bergema dengan berbagai tetabuhan. Kian meninggi. Sang orator semakin hanyut dalam bacaan suci al-Quran. Ayat kursi berkumandang, sementara orator satunya lagi bergeliat-geliat mengiringi iramanya. Semacam tarian purba. Beberapa menit telah berlalu, pertunjukan mulai meraih puncaknya. Orator kedua menimpali membacakan Surat Al-Alaq dengan gaya yang demonstratif. Hingga pada suatu kesempatan, musik hingar bingar menyaput seluruh panggung pertunjukkan. Suara-suara saling menimpal antara pembacaan hurup-hurup hijaiyah dan lontaran-lontaran kritik sosial.

Yang Terlupakan dalam Konsep Kesengajaan

Secara selintas lalu, mungkin tak ada sesuatu yang perlu dibahas serius dalam pertunjukkan tersebut. Karena jika menilik dari segi bentuk, pentas ini telah masuk dalam kaidah estetika berkesenian. Namun yang sangat disayangkan disini, Teater Dongkrak telah melupakan hal yang paling mendasar dalam menggali ruh pertunjukannya. Yakni aspek-aspek pokok dari relijiusitas itu sendiri.

Misalkan saja, dalam Agama Islam terdapat banyak pakem, etika atau adab yang mengatur tentang tata cara pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran. Dan karena kesuciannya itulah, jangankan diiringi dengan musik, membacanya dengan suara keras atau saling menimpali antar sesama pembaca Al-Quran pun tidak boleh. Apalagi diringi dengan tarian-tarian (joget). Lalu dimanakah nilai relijiusnya? Selanjutnya, apakah perlu memunculkan ayat-ayat Al-Quran dalam pentas kesenian (atau seremonial apa pun) jika hanya sebagai pelengkap saja dan belum tentu mendekati substansi yang ingin disampaikan?

Terus terang, saya belum pernah mendengar apalagi membaca referensi tentang diperbolehkannya ‘memusikalisasi Al-Quran’. Apalagi dengan tambahan jeprut di dalam kemasannya. Yang jelas ada namun masih dipertentangkan di antara para ulama dunia adalah shalawatan. Atau puji-pujian yang ditujukan ke haribaan Rosululloh Muhammad SAW dan para shahabatnya dengan menggunakan alat musik. Tapi itu bukan Al-Quran. Sekali lagi, bukan Al-Quran !

Mungkin disini saya tidak perlu terlalu jauh masuk ke dalam urusan agama. Karena bukan maqom dan ahlinya. Hanya yang pasti, saya berharap kepada Teater Dongkrak untuk kembali mengkaji ulang garapannya. Sebab, ranah sosial-budaya bangsa Indonesia tidak pernah tercatat menerima suguhan-suguhan kontroversi yang berbau atau pun yang menyinggung SARA. Apalagi jika hanya menyangkut persoalan ekspresi seni semata. Wallohualambissawab.


Dipublikasikan pertamakali di Harian Umum Kabar Priangan

Halaman Budaya, Rabu 9 Maret 2011

Komentar