MENGGUGAT ‘KAMPUS PEMBODOHAN’

Renungan Menjelang Hari Pendidikan Nasional
Photo : Ki Hajar Dewantara (net)
Oleh : Irvan Mulyadie


Di zaman yang serba instan seperti sekarang ini, semua hal bisa terjadi. Orang biasa tiba-tiba menjadi lebih terkenal ketimbang selebritis, orang miskin tiba-tiba menjadi sangat kaya raya, atau sebaliknya, yang tadinya kaya raya dan terhormat tiba-tiba jatuh miskin dan harus dipenjara. Begitu pula di dunia pendidikan. Dan tentu saja, di balik semua itu ada motivasi-motivasi tertentu yang menjadi latar belakangnya. Suatu konsekwensi logis atas terbentuknya sebuah sistem yang telah disepakati bersama dan dijalankan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.


Untuk kasus-kasus di ranah pendidikan, utamanya yang menyangkut masalah pengejaran gelar kesarjanaan dan sebagainya di perguruan tinggi, selalu saja diwarnai dengan wacana yang kurang mendidik. Salah satunya yaitu komersialisasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari pembentukan struktur organisasi di satuan pendidikan yang kontra produktif, tata cara penyelenggaraan kelembagaan pendidikan yang tidak sesuai peraturan dan peruntukan, hingga pengisian posisi pemateri pelajaran yang kurang kredibel.

Setidaknya, ada dua motivasi yang membentuk sistem pendidikan yang seharusnya melahirkan institusi-institusi ilmiah yang betul-betul membentuk lulusannya menjadi seorang ilmuwan, malah bergeser fungsi sebagai lembaga komersil yang meletakan pijakan ekonomis sebagai sandaran. Yang pertama adalah faktor penyelenggaranya sendiri, dan ke dua adalah mahasiswa. Kasarnya, institusi kampus sebagai produsen dan konsumennya adalah mahasiswa.

Dari pihak penyelenggara, apalagi bagi perguruan tinggi swasta, nilai-nilai ekonomis selalu menjadi ‘setan penggoda’ yang paling merangsang. Tingginya tingkat kebutuhan akan biaya operasional kampus dihadapkan dengan jumlah mahasiswa. Dari hal itu maka terjadi kalkulasi. Bila mahasiswanya banyak atau memenuhi kuota yang diharapkan dan pembiayaan lancar, atau sebaliknya maka akan berpengaruh terhadap kualitas jenis pelayanan. Outputnya tentu saja proses didik mendidik itu sendiri. Seandainya landasan idealisme suatu lembaga pendidikan tersebut lemah, maka yang akan terjadi adalah komersialisasi pendidikan secara sporadis.

Sedangkan dari pihak konsumen, yakni mahasiswa terjadi juga kalkulasi logis yang menempatkan dirinya dalam pilihan-pilihan tertentu. Bila boleh diklasifikasikan, ada dua tipe berbeda dari mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi. Pertama, yang benar-benar kuliah berdasarkan kebutuhan akan tambahan ilmu pengetahuan. Tujuan utamanya adalah meningkatnya skill atau kecakapan diri. Sedangkan gelar atau ijazah dipandang sebagai bonus dan nilai plus.

Yang ke dua adalah karena terdesak dan dituntut oleh keadaan di lingkungan sekitarnya. Termasuk di dalamnya adalah karena desakan profesi. Biasanya hal tersebut ditemukan di beberapa mahasiswa dari jalur kelas karyawan. Meskipun banyak juga yang benar-benar mengikuti perkuliahan untuk pembekalan dirinya, namun tak sedikit pula yang mengikutinya dengan kesan asal-asalan saja.

Anekdot yang berkembang dalam penyikapan akan mahasiswa yang terkesan asal-asalan ini adalah terbentuknya opini yang menjuluki mereka dengan sebutan mahasiswa UTS dan UAS. Artinya mereka datang ke kampus hanya pada jadwal-jadwal tertentu seperti ketika adanya ujian tengah semester dan di akhir semester. Dengan demikian motivasi mahasiswa tersebut dapat ditebak, yakni menempatkan gelar atau ijazah sebagai tujuan utama, sedangkan keilmuan yang seharusnya didapatkan di bangku perkuliahan tak lebih dari sekedar bonus tambahan.

Tapi kita tak perlu menghakimi hal ini dengan sepihak dengan menyalahkan mereka yang sangat terpaksa melakukannya. Sebab di balik semua itu ada suatu grand design yang membentuknya. Terutama dengan hadirnya peraturan tersistem yang memberikan peluang terjadinya peristiwa-peristiwa di atas. Misalkan di dalam hal peningkatan mutu sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan, guna melengkapi dan atau meningkatkan posisi kepangkatan yang dapat dipersingkat dengan adanya ujian penyesuaian ijazah. Dalam kalkulasi waktu, ini sangat efektif.

Atau lebih jelasnya kita dapat melihat contoh kasus dalam proses rekruitmen pegawai/ personil baru di lingkungan PNS, misalnya. Meskipun seseorang pengalamannya 0 (nol) tahun didalam pekerjaan, tetapi jika si calon PNS itu merupakan lulusan perguruan tinggi, maka pangkatnya akan jauh melebihi orang-orang (yang tidak punya gelar pendidikan) yang telah berpuluh tahun meniti karir di bidangnya. Diduga, alasan utamanya tidak terletak pada bagaimana kemampuan si pegawai dalam penyelesaian pekerjaannya, tetapi karena adanya pengakuan strata di wilayah gelar dan ijazah. Peraturan itu pula yang mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa berlatar kampus seperti yang telah disebutkan di atas. Dan ini perlu diakui dengan jujur oleh semua pihak.

Kampus Pembodohan
Menjelang diperingatinya Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada beberapa hari ke depan, saya merasa harus ada suatu gebrakan fundamental dari sisi pembangunan wacana pendidikan itu sendiri. Tapi tentu saja tidak sekedar wacana saja. Terutama yang menyangkut dengan upaya dari berbagai pihak berkompeten yang diharapkan mampu mendorong terbangunnya suasana pendidikan yang kondusif, terarah dan benar-benar mencerminkan pendidikan.

Saya ngeri bila harus membayangkan, bahwa di wilayah priangan timur ini ada juga sebuah institusi pendidikan tinggi yang diduga melakukan cara-cara kotor dalam prakteknya. Tapi dugaan itu benar-benar kuat bila melihat secara langsung bukti-buktinya. Misalkan dengan adanya suatu gejala pelanggaran bersipat sistemik dalam hal penyelenggaraan pendidikan.
Dimana ditengarai di dalamnya tercatat akan adanya seorang yang berprofesi dosen bertahun-tahun tidak pernah mengajar tapi mendapatkan gaji layaknya dosen aktif, juga terjadinya rangkap jabatan di wilayah struktural penyelenggara yang diduga mengakibatkan terbengkalainya program-program strategis bagi pengembangan kampus itu sendiri, penggelapan dana kemahasiswaan yang terjadi bertahun-tahun, serta tak terjadinya regenerasi yang optimal di tataran elit penyelenggaranya. Akibatnya sangat fatal, selain menyebabkan mutu pendidikannya kian mundur juga mendorong terjadinya hirarki yang tidak profesional dan kurang proporsional.

Bahkan yang lebih mengerikan lagi, di kampus tersebut juga didapati praktek mafia skripsi yang dikoordinir justeru oleh petinggi kampusnya sendiri. Tak hanya itu, dugaan komersialisasi nilai Indeks Prestasi menjadi isu penting yang tak kalah menariknya. Disampingnya, ada pula pemberian nama fiktif sebagai staf pengajar pada program S2 yang baru saja dibentuk. Ini parah dan sangat mengejutkan. Jika hal yang diduga ini benar-benar terjadi, mengingat bukti-bukti yang menjurus ke arah itu sudah cukup, maka hal ini tak lebih dan tak kurang sebagai kampus penjual ijazah berbalut lembaga formal yang sistemik. Dan korbannya, tentu saja mahasiswa.
Saya merasa tak perlu untuk menyebutkan lembaga pendidikan tinggi mana yang berperilaku demikian. Sebab saya kira, mesti ada pelacakan menyeluruh terhadapnya yang dilakukan oleh pengawas penyelenggaraan pendidikan tinggi yang resmi dan independen.

Mungkin saja Ki Hajar Dewantara akan menangis tersedu-sedu atau bahkan meraung-raung bila masih hidup dan menyaksikan semua ini terjadi. Karena yang pasti, sebuah institusi pendidikan seharusnya melahirkan generasi terdidik dan siap membangun negara ini supaya lebih hebat lagi. Dengan teladan yang baik dari penyelenggara pendidikannya sendiri.

Karena bagaimana mungkin para ilmuwan berkompetensi akan lahir jika para penyelenggara pendidikannya sendiri tidak mendidiknya dengan benar. Atau kita terpaksa harus menjawab pertanyaan dari seorang budayawan terkemuka, Putu Wijaya yang menyatakan : Kalau sekolah hanya akan melahirkan koruptor dan penjahat kelas kakap, untuk apa diselenggarakan ?(*)

Penulis adalah pengamat sosial dan kebudayaan.

Dimuat pertamakali di harian Radar Tasikmalaya, 1 Mei 2011

Komentar