FUCKTHEFUCKIDEA#14

MEMAKNAI MONOLOG LIES
Oleh : Irvan Mulyadie
Membangun suatu realitas di atas panggung dengan beban besar berpangkat monolog adalah keniscayaan. Seperti halnya kehidupan nyata yang terus saja direcoki hegemoni media masa tv dengan suguhan reality shownya. Mampu menina bobokan pemirsa sekaligus juga dapat membenturkan kepala penontonnya kepada tembok nalar dan akal sehatnya. Betapa ambigu. Nah, mungkin di pintu masuk yang demikianlah saya dapat memahami suguhan Lies Soca dalam monolognya “Kantor & Office” tempo lalu di Saung Trotoart (11/02/12).

Sebetulnya malam minggu itu sangat kelabu. Hampir tak satu pun bintang di langit yang menampakan kerling nakalnya. Sedikit gerimis membuat cuaca dingin mencubit kulit. Jalanan becek, tapi saya tetap memaksakan diri untuk pergi.

Sepanjang perjalanan, iseng-iseng saya saya mencoba mengira-ngira, bahkan lebih condong ke arah menerka tentang akan seperti apakah jadinya apabila seorang perempuan mementaskan pertunjukan monolog. Meramal mulai dari bagaimana alur cerita yang nantinya akan dituturkan, teknik pentasnya, gaya aktingnya, dan seabrek bahasa teknis pemanggungan yang lainnya. Biasanya, kalau seorang perempuan menyajikan pentas monolog, isu-isu yang diangkatnya cenderung klise. Kalau tidak menjadi korban perkosaan, paling banter tentang pemberontakan atas penindasan / dominasi terhadap perlakuan dari kaum lelaki. Ujung-ujungnya mengumandangkan kesetaraan gender.

Tapi kali ini saya keliru. Cukup telak. Hampir seluruh imajinasi yang saya bangun di sepanjang perjalanan, bahkan sejak baru menerima undangan nyaris hancur berantakan. Seketika. Bagaimana tidak? Lies yang sejatinya tampak sebagai sosok lemah gemulai, pada malam itu, dengan tiba-tiba saja seperti telah berhasil membenturkan jidat saya manakala telah benar-benar memasuki panggung.

Ceritanya, pertunjukan itu ia awali oleh interaksi aktif dengan penonton. Lies mengajak audien untuk sejenak mendengarkan beberapa hal yang berhubungan dengan alasan keberangkatannya dari Yogyakarta ke Tasikmalaya. Dan di tengah jalan, seolah-olah ia mendadak bingung, buntu. Lies tak menemukan benang merah yang tepat untuk memasuki ceritanya sendiri. Lalu ia pun meminta penonton untuk membantunya memberikan kata-kata yang berhubungan dengan ‘kantor’.

Walhasil, terjadilah semacam negosiasi kata-kata antara Lies Soca sebagai aktor dengan penontonnya (hal ini mengingatkan saya pada konsep performance art). Dan kata-kata yang terkumpul tentu saja sangat standar, berkisar antara meja, kursi, pena, direktur, atasan dan bawahan, sekretaris dan sebagainya. Namun ketika Lies meminta penonton untuk sekali lagi memberikannya kata-kata yang berhubungan dengan ‘office’ maka penonton pun mulai terhenyak, bingung. Bukankah kantor (bahasa Indonesia) dan office (bahasa Inggris) itu punya makna yang sama?

Lagi-lagi, Lies menggertak kesadaran saya. Ternyata, kata office di Indonesia ternyata lebih populer untuk merujuk ke arah profesi dengan penghalusan bahasa. Misalkan tukang bersih-bersih di perusahaan atau kantor disebut office boy. Dan seterusnya.
Pada akhirnya Lies pun masuk pada cerita. Dengan santai dan langkah-langkah ringan kisah pun meluncur dengan lancar. Sederhana saja. Tentang tokoh “aku” yang mempunyai latar belakang sebagai seniman pertunjukan yang nyambi kerja sebagai karyawan kantoran. Paling tidak itulah yang saya tangkap.

Bagi kalangan tertentu, yang kebetulan bekerja atau pernah bekerja di lingkungan perkantoran, teknik bertutur Lies itu cukup sempurna. Seperti seorang teman yang sedang curhat tapi sarat filosofi. Dan saya adalah salah satu yang merasa terwakili dan terhanyut-hanyut dalam cerita. Bagaimana misalnya ia memaknai lingkungan kerjanya yang terkadang seperti penjara keadaan. Rutinitas sehari-hari, seabrek berkas yang bertumpuk di meja, kuitansi-kuitansi, surat menyurat, suara dering telepon, bunyi mesin ketik, kemarahan atasan dan lain sebagainya.

Sepertinya Lies ingin membagikan pengalaman batin dan kegelisahan seorang karyawan kantoran, yang di luar sana selalu dianggap sebagai pekerja yang cengeng, tak berkeringat tapi bergaji tinggi. Padahal, belum tentu kebahagiaan didapat dari semua itu. Tekanan-tekanan batin sosok kantoran inilah yang kemudian banyak dilupakan orang. Terlebih karena gejolak politik dan ekonomi di negeri ini sedang berada dalam titik nadir sekarang ini. Dimana ketimpangan sosial telah merata dimana-mana. Jurang antara si miskin dan si kaya begitu lebar menganga.

Agak berbeda dengan banyak pertunjukan monolog yang pernah saya saksikan, pertunjukan ini terasa menyegarkan. Lies sepertinya tak mau terjebak dalam konvensi-konvensi standar dalam pertunjukan. Ketika ia berakting, sama sekali ia tak menampakan dirinya kalau ia tengah berakting. Artinya tak ada akting berlebihan, realis murni. Mungkin karena tuntutan naskahnya terkesan demikian. Penuturannya jenih, lugas tapi sangat imajinatif. Dengan konsep serta gaya pentas yang demikian, tentu saja memberikan efek tersendiri pada penontonnya. Dan disinilah cerdasnya.

Keberaniannya dalam mendobrak konvensi yang ada dengan sedikit menggeser makna pentas monolog yang kaku itu dengan sadar dan tanpa beban sungguh diluar dugaan. Hal inilah juga salah satunya yang ingin ia tawarkan dalam pertunjukan. Hanya saja kebanyakan apresiator tidak sampai ke arah sana.

Di dalam sesi diskusi, misalnya, beberapa penonton yang kebanyakan adalah para pelaku seni juga, menyayangkan, menyesalkan, bahkan terkesan kecewa dengan pertunjukan ini. Dan menurut saya, mereka yang demikian itu telah terjebak dalam pusaran teori dangkal tentang pertunjukan yang hanya berbasis tradisi pentas molonolog di Tasik semata. Akan berbeda misalnya kalau apresiator pernah menonton pertunjukan monolog di amerika atau eropa sebagai referensi. Paling tidak via youtube. Bahkan Ashmansyah Ti’Mutiah sendiri yang pada malam itu sebagai pembahas tunggal sekaligus moderator, nampak gagal memaknai pertunjukan itu dengan bahasanya yang ambigu : menerima tapi menolak. Dan hal itu hanya merujuk pada bentuk semata.

Memang, kalau hanya sekedar melihatnya dari segi bentuk penyajiannya yang sederhana, nyaris tak ada batas-batas yang tegas dalam pertunjukan yang Lies bawa sebagai seni monolog dengan ‘monolognya’ sendiri dalam menjawab pertanyaan dan tanggapan di luar pertunjukan. Tapi hal itu bukan berarti lepas dari koridor akting. Justeru aktingnya begitu sempurna. Hanya saja luar biasa.

Dan kalau kita lebih jeli lagi, yang termasuk inti dari apa yang ingin ditawarkan oleh Lies bukan semata-mata tentang bentuk. Tapi makna. Lebih jauh, ia mencoba berusaha untuk mengembalikan bentuk akting konvensional yang selalu terasumsikan sebagai kecakapan meniru tingakah laku dengan penegasan atau pemberatan tertentu ke bentuk akting sesungguhnya. Akting yang wajar. Melenyapkan batas-batas antara ruang imajinatif dalam cerita dengan ruang nyata. Dan 100% berhasil.

Bagi saya, hal ini semacam ‘kredo’ yang mengembalikan lagi akting ke dalam akting sesungguhnya. Dengan kata lain: berperan dengan peran nyata di dunia nyata itu sendiri. Bukankah dunia ini hanya panggung sandiwara?

Satu-satunya kekurangan dalam pertunjukan ini justeru di wilayah non teknis diluar eksploitasi Lies dalam menggauli monolognya. Misalnya tingkat kebisingan di sekitar lokasi pertunjukan yang berada di pinggir jalan raya dan tanpa peredam suara. Kegaduhan dari apresiatornya sendiri. Diperparah lagi kemudian dengan kualitas sound systemnya yang buruk. Sementara ‘Kantor & Office’ adalah sebentuk puisi kamar dan bukan seperti puisi mimbar. Pertunjukan ini hanya bisa dinikmati dan diapresiasi dalam suasana yang setenang mungkin. Jadi wajar saja kalau malam itu terjadi banyak sekali mis komunikasi.

Mendapati keadaan seperti ini, saya jadi terkenang akan almarhum Adang Ismet, Dosen di STSI Bandung sekaligus Dramawan senior Indonesia. Saat itu awal Oktober 2004, saya mementaskan pertunjukan kolosal berjudul fuckthefuckidea#1 di Gedung Kesenian Tasik. Konsepnya adalah dengan memberikan bobot lebih kepada tata artistik. Dengan kata lain, fokus utama dari alur cerita dalam pertunjukan itu adalah artistik, sedangkan aktor manusia saya perlakukan sebagai pemanis saja.

Tentu saja, habis pertunjukan dilangsungkan banyak polemik yang merebak. Oleh sebagian seniman teater yang senior, pertunjukan saya itu dianggap absurd, kacau, bahkan cibiran dan hinaan saya dapatkan. Tapi apa yang dikatakan oleh Adang Ismet? Kira-kira beginilah kalimatnya :
“Saya terharu dan bangga kepadamu setelah menonton pertunjukan itu. Yang saya tahu, teater seperti ini pernah dipentaskan di eropa sekitar abad 16. Dan seumur hidup, baru pertamakali saya menonton pertunjukan kayak begini”

Kemudian beliau menatap saya, serius.

“Kamu bawalah pertunjukan ini ke luar. Ke Jakarta kek, ke Yogya kek, atau paling tidak ke Bandung. Sebab kalau mau berwacana di Tasik, kamu tidak akan jadi apa-apa”. (*)

Dimuat pertamakali di Harian Radar Tasikmalaya
Minggu, 26 Pebruari 2012

Komentar