DARI JALAN KE JALAN

Oleh : Irvan Mulyadie

Menjadi pengamen jalanan yang selalu bertaruh untung dengan cuaca dan saweran tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh mereka. Apalagi jika menjadikan hal tersebut sebagai sebuah cita-cita. Namun tuntutan hidup telah menyeret kenyataan untuk berkata lain. Demi menghidupi keluarga serta menyalurkan hobi yang telah mengakar dalam diri masing-masing personil, akhirnya pilihan pun ditentukan. Mereka pun bergerak mengikuti impian-impian kecilnya : tetap eksis bermusik !

Kreatif dan sangat solutif, mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan sedikit profil dari kelompok musik Orkes Melayu (OM) Sandita. Bagaimana tidak, meskipun berada dalam serba keterbatasan tetapi mereka terus berusaha untuk bertahan di jalur kehidupan yang serba tak menentu ini. Dengan peralatan seadanya, berbagai rintangan pun mampu dilalui dengan tanpa putus asa.

Adalah Atang Suryana (40) atau yang biasa akrab disapa Icang yang menjadi motor penggeraknya. Sejak usia kelas 5 sekolah dasar, Icang sudah menaruh minat yang besar terhadap dunia musik. Mungkin karena sering nonton orkes pertunjukan akhirnya ia pun mencoba-coba ikut terjun menggeluti. Dalam usia yang masih sangat belia, oleh sebuah kelompok orkes melayu Icang dipercaya memegang Tamborin, Kecrek. Lama kelamaan ia pun mulai berani menjamah alat-alat musik lainnya seperti Kendang dan Tamtam.

Setelah merasa cukup ahli dalam memainkan beberapa peralatan musik, ia pun sempat bergabung dengan kelompok-kelompok orkes melayu yang cukup besar dan terkenal di Tasikmalaya seperti OM Bung Kohar, OM Sinar Remaja, Grup Reka Nada Roleta dan yang lainnya. Sebagai pemain cabutan. Tapi berawal dari keikut sertaannya di Grup Reka Nada Roleta kemudian Icang bertemu dengan beberapa personil Sandita lainnya seperti Saeful Anwar atau Soma (47) yang dipercaya memegang Gitar dan Rohman (47) pemetik Bass. Yang akhirnya membentuk grup baru seperti yang ada sekarang. Menyusul kemudian pengisi vokal antara lain Sumi, Nyai dan Ai Sofi. Pemegang Tamborin oleh Ipan (19). Sementara Icang sendiri lebih memilih untuk memainkan Tamtam.


Tentang Musik Perjalanan

Orkes melayu Sandita bukanlah sebuah kelompok musik yang mapan selayaknya Soneta Band pimpinan H.Rhoma Irama. Sandita hanyalah potret pemusik pinggiran. Hal ini terlihat dari kesederhanaan tampilan mereka yang bersahaja. Tengok saja, komunitas yang sudah bhampir dua tahunan ini bergerak dari satu kota ke kota lainnya untuk bermain musik tidak pernah berbekal peralatan yang mahal. Hanya sound system rakitan yang berupa stabiliser berdaya Accu 20Amp, dua buah speaker aktif, sebuah mix, Gitar elektrik, Bass, Tamborin dan sebuah tam-tam. Yang kalau diuangkan tidak akan lebih dari harga 4 jutaan.

Meski demikian, mereka tak pernah kecil hati. Demi sesuap nasi dan sekedar penyalur hobi, mereka bahu membahu dalam berbagai keadaan. Susah dan senang bersama. Dari bilangan Kampung Petir Kelurahan Cikalang Kota Tasikmalaya, mereka biasa berangkat dari markasnya sekira pukul 8 pagi. Dan perjalanan pun sudah dipatok, seperti pulang tidak boleh kemalaman. Paling lama sampai saat adzan Maghrib berkumandang.

Tak pernah ada jadwal khusus tentang rute perjalanan yang akan ditempuh. Semuanya spontanitas. Kalau sedang moodnya bagus, mereka akan nekat menjelajahi rute yang cukup jauh. Hampir semua wilayah priangan timur pernah disinggahinya. Baik ke Garut, Ciamis, Banjar bahkan pernah juga ke Bogor dan Jakarta. Sementara untuk di Tasikmalaya sendiri mereka lebih sering ngamen di wilayah perkotaan saja seperti di kisaran jalan KH Z. Mustofa, Cempaka Warna dan sekitarnya. Kadang juga sampe ke Tasik selatan seperti ke Sukaraja dan Karang Nunggal.

Untuk urusan pembagian rejeki, mereka sepakat untuk membagi rata di antara personilnya. Tak ada yang merasa paling berjasa. Itu pun penghasilan bersih setelah dipotong dengan uang perawatan untuk peralatan, ongkos perjalanan dan uang makan.

“Kalau sedang bagus, kami bisa menghasilkan 300-400 ribu perhari. Setelah dibagi rata, ya, paling besar kami dapat Rp.50.000/orang. Tapi kalau lagi sepi, paling-paling pulang ke rumah cuma membawa 10 ribu saja. Tapi tak pernah jeblok” Ungkap Icang.

Saat ditanya tentang suka dan dukanya mengamen dengan cara yang demikian mereka kompak bilang, tak pernah bersusah hati.


“Kami tidak pernah diusir oleh warga setempat dimana kami bermain. Karena kami tidak mengetuk-ngetuk pintu. Justeru mereka yang mendatangi kami. Karena ini seperti panggung rakyat” Kata Soma.


“Jadi kalau dibilang, dukanya sih hampir nggak ada. Kami senang-senang saja” Cetus Rohman meyakinkan. “Kecuali kalau hujan saja, jadi agak sepi. Haha..”


Sebuah Pelajaran Berharga

Melihat perjuangan komunitas seni seperti ini, saya seperti dibangunkan dari tidur panjang bertaburkan mimpi buruk. Mereka adalah gambaran warga negara yang tangguh, yang tak hanya menyerahkan nasibnya sendiri pada keadaan. Pantang menyerah. Cara hidupnya yang sederhana, dijalani dengan tanpa mengeluh. Meskipun umur mereka tak lagi muda, bahkan menjelang usia senja.

Mengamen dengan cara OM Sandita, adalah cara mengamen yang sangat elegan. Kreatif. Mengingat mereka tidak pernah merasa perlu untuk mengetuk satu persatu rumah demi mendapatkan uang recehan. Merekalah sejatinya penghibur rakyat. Bukan wakil rakyat yang secara kasat mata berada di gedung-gedung parlemen dan bicara seolah-olah pahlawan. Mereka menghibur orang lain sekaligus menghibur dirinya sendiri. Ada pun ketika mendapatkan uang dari saweran, bukanlah hasil mengemis. Apalagi hasil korupsi. Karena yang membayar mereka adalah orang yang sukarela, ikhlas. Tanpa paksaan.

Saya jadi membayangkan, seandainya calon-calon pejabat politik dan pemerintahan merenungi akan perjalanan nasib mereka, tentu negara ini akan berbeda ceritanya. Di Kota Tasikmalaya ini misalnya, yang pada bulan Juli nanti hendak memilih Walikota. Seandainya saja mereka menggunakan teknik-teknik berkampanye yang cerdas, tidak arogan, mendidik, dan tidak mengotori, niscaya suasana damai pun akan tercipta. Rakyat akan bahagia. Caranya?

Mereka harus belajar pada seniman-seniman seperti kelompok OM Sandita. Setiap hari mereka berkampannye menaburkan jargon-jargon kehidupan rakyat melalui musik yang gembira. Rakyatlah yang memilih mereka untuk menghibur dan membayarnya. Bukan sebaliknya, rakyat dibayar dulu untuk mendengarkan janji-janji manis. Dan setelah itu dibujuk rayu pula untuk memilih dirinya sendiri secara narsis. Ini sungguh keterlaluan. Dan hal ini tidak boleh terjadi lagi.

Karena, bukankah Calon Anggota Legislatif dan Calon Walikota juga sebenarnya lebih mirip seperti pengamen ???


Penulis adalah praktisi sosial dan kebudayaan.

Dimuat pertamakali di Harian Radar Tasikmalaya

Minggu, 11 Maret 2012

Komentar