CERITA TENTANG EDELWEISS

Bunga abadi dari kawah Gunung Galunggung. Di masalalu, bunga itu pernah diulurkan tuhan untuk menyelamatkan jiwaku.

Ceritanya, aku mau merayakan ultahku yang ke-19. Hampir tengah malam, sekira jam 11, aku berangkat dari rumah sendirian saja. Jalan kaki. Perjalanan dari rumah ke Galungggung sekitar 20 KM. Aku suka perjalanan malam. Aku berani, karena pada dasarnya aku pernah menjadi pecinta alam. Sampai di puncak, sekira jam 2.30 dini hari. Istirahat.

Saat pagi tiba, ketika matahari mulai terbit, saat-saat itulah yang paling dinantikan oleh para pecinta alam. Di puncak gunung, dunia nampak rendah.

Aku menatap matahari itu, seolah aku sedang menyaksikan diri sendiri yang terlahir dari rahim alam. Aku terharu. Bahkan menangis. Waktu pun berlalu dalam keheningan dan isak tangis yang tertahan.

Nah, saat aku hendak pulang, tiba-tiba aku melihat setangkai edelweiss (Anaphalis Javanica) di lereng kawah bagian dalam. Cukup jauh. Aku menuruni lereng itu, sekira 15-20 Meter dari bibir kawah. Tapi tiba-tiba kakiku terpeleset. Aku jatuh. Bergulingan. Tapi aku berusaha untuk bertahan.

Ada pohon sebesar pergelangan tangan manusia, aku memegangnya. Tapi itu tak cukup kuat menahan bobot tubuhku. Aku jatuh lagi. Tapi tertahan di sebuah batu yang cukup besar. Aku sedikit lega. Tapi saat aku menginjakan kakiku untuk naik, batu itu pun tak kuasa menahanku. Batu itu pun jatuh. Aku melihatnya, bebatuan itu berhamburan dengan pasir hitam yang dingin. Mencapai kawah yang dasarnya adalah danau yang dalam. Aku terperanjat, dan sangat ketakutan.

Pada saat-saat yang kritis seperti itu, tiba-tiba aku sempat membayangkan kematian. O, betapa sialnya aku, yang hendak merayakan hari kelahiran malah harus meninggal dunia pada hari yang sama juga. Begitulah pikiranku saat itu.

Namun tuhan berkata lain. Lalu aku teringat akan bunga Edelweiss yang hendak kupetik itu. Aku menatapnya, cukup jauh dari jangkauan tanganku. Tapi ia telah berada di atasku sekarang.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku mendekatinya. Dalam benakku, biarlah aku mati saat itu. Tapi dengan edelweiss di tanganku. Aku pun berusaha untuk tersenyum.

Luar biasa, saat aku memegang pokok pohonnya yang hanya sebesar kelingking, tubuhku tak lagi merosot. Dia mampu menahanku untuk terus naik. Aku takjub. Aroma edelweis sungguh sangat puitis. Mataku berlinang menatapnya.

Aku tak jadi memetik bunga itu. Membiarkan malaikat penolongku terus tumbuh. Seperti ia telah membiarkanku untuk terus hidup dan merayakan hari ulang tahunku dengan gembira.

Seperti ada kekuatan lain, aku dapat menaiki kembali tebing kawah yang curam itu. Mendaki kehidupan yang selamanya terjal dan berliku hingga hari ini.

Dan sejak saat itu, aku jatuh cinta pada Edelweiss. Cinta mati. Bahkan suatu saat bila tuhan berkenan, aku ingin mengabadikan Edelweiss itu untuk nama putriku. Lambang cinta dan terimakasihku padanya....

Komentar

Posting Komentar