MERENUNGI TUGU ADIPURA MASA KINI

CERITA TENTANG SEBUAH IMPIAN 
TASIKKU RESIK KOTAKU HIJAU*
Oleh : Irvan Mulyadie, S.IP


Bila anda seseorang yang pernah hidup dan menjalani kehidupan di perkotaan Tasikmalaya pada dua puluh tahun yang lalu dan sebelumnya, atau lebih tepatnya hingga pertengahan tahun 1995 silam, maka saya bisa meyakinkan bahwa anda adalah seorang beruntung yang pernah menikmati suasana alamiˡ layaknya hidup di pedesaan. Bagaimana tidak? Sebab separah apa pun lingkungan hidupnya pada saat itu, wilayah perkotaan Tasikmalaya masih merupakan daerah dengan ruang terbuka hijau yang sangat luas.


Sumber : googlemaps'2013

Bagian I : Dongeng dari Masa Kanak-Kanak

Saat itu, sawah-sawah masih menghampar dalam sejauh mata bisa memandang. Bukit-bukit masih terjaga dengan sumber mataairnya. Sungai-sungai dan selokan mengalir jernih dengan aneka jenis ikan. Serta di sepanjang bahu jalan, pohon-pohon Akasia yang rindang tinggi menjulang menggapai langit dengan gagahnya.
Sebagai bagian dari masyarakat Tasikmalaya yang tinggal di kisaran Jl.Paseh Panututan Kelurahan Tuguraja Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya, ya, setidaknya hal itulah yang pernah saya rasakan sendiri. Pengalaman masa kanak-kanak yang sangat berbekas dalam kenangan.
Coba saja anda bayangkan; di sekitar tahun 1994, pada saat saya masih berseragam putih-merah menjelang kelas 6 SD. Saya dan kawan-kawan seusia masih bisa menikmati serunya main perang-perangan ala tentara sungguhan dengan menggunakan peluru ‘Hanjeli atau Takokak’ sambil kukurusukan di bukit-bukit seperti Gunung Hareueus dan di Gunung Eurih. Gunung Eurih sendiri pada saat itu masih dikelilingi persawahan dan kolam-kolam ikan yang luas sehingga mirip danau kecil atau situ. Kami masih bisa merasakan asyiknya ‘rarakitan’ dengan menggunakan pohon pisang yang disatukan dengan pasak-pasak bambu di Sungai Cinutut yang jernih. Kemudian ikut berburu Careuh/Musang dan Heulang Ruyuk di Gunung Kalapa Genep dan di Gunung Gede (Komplek Pasar Induk Cikurubuk sekarang). Kebetulan pada saat itu, populasi Careuh dan Heulang cukup banyak. Dan masih merupakan hama ternak unggas yang utama. Hampir tiap hari, seringkali kami saksikan mereka terbang berkelompok di langit yang cerah.      
Tapi rupanya, di tahun-tahun itulah terakhir kalinya kami dapat menikmati keindahan alam di Kota Administrasi Tasikmalaya. Sebab di sekira tahhun itu pula, Proyek Pembangunan Pasar Induk Cikurubuk mulai dilaksanakan. Dan kami telah sama-sama menyaksikan; bagaimana satu persatu pepohonan tumbang dalam raungan gergaji mesin. Lalu bukit-bukit  tercerabut dalam kegarangan mobil-mobil Bouldozer yang mengeruk habis puncak-puncak bukit, meratakannya, serta menimbun sebagian besar persawahan tempat kami menghabiskan masa kecil dengan bermain disana.
Demi Tuhan, di usia belia seperti itu, saya sudah dapat membayangkan tentang bagaimana akan jadinya daerah kami kelak jika pasar induk itu benar-benar berdiri. Saya ngeri. Dan saya langsung teringat sungai kotor di tengah kota yang melintasi Jl.Kalektoran dimana nenek dari ibu saya tinggal, Sungai Ciromban. Aroma busuk dengan pemandangan banyak sampah yang mengambang, tertahan di cerukan sungai dan menjadi timbunan kotor. Terkadang kalau sedang dipuncak musim penghujan, Ciromban bisa meluap karena salurannya mampet. Dan itu pertanda buruk bagi warga di sekitarnya.
Dalam hati saya jadi bertanya-tanya; bagaimana kalau seandainya kami tak bisa bermain perang-perangan di bukit lagi? Tak bisa berburu lagi ?  Tidak lagi menikmati derasnya Sungai Cinutut yang membawa rakit-rakit gebog kami ?
Sedikit sekali orang yang dijumpai saat itu yang mempunyai pandangan sama sepertiku. Atau mungkin hanya ibuku saja yang mampu memahami kegundahan hati saya tersebut. Mengingat ibu pernah lahir dan dibesarkan di lingkungan pusat perkotaan Tasikmalaya. Sebab semua orang sepertinya larut dalam euforia pembangunan pasar terbesar di Jawa Barat itu.
Setiap hari, mesin-mesin pengeruk pasir layaknya demonstrasi pada suatu pertunjukan sirkus. Tetangga-tetanggaku memandanginya dengan sorot mata yang takjub, Gendo. Bahkan mereka turut bersorak-sorai ketika pohon-pohon besar tumbang hanya dengan beberapa dorongan ‘tangan bèku’. Dan mereka bertepuk tangan bilamana ada batu-batu besar diruntuhkan dari ketinggian tebing bukit dengan hanya satu sentuhan. Kecuali dengan raut para buruh tani, saya melihat semuanya nampak begitu bahagia. Menyongsong bayangan masa depan: wajah kota.
Menurut apa yang saya sempat dengarkan dari obrolan para orang tua saat itu, maka dengan adanya pembangunan pasar di dekat permukiman kami tersebut diharpakan bisa mendorong perekonomian warga sekitarnya. Tak perlu lagi ‘ngongkos’ bila hendak ke pasar, cukup dengan berjalan kaki saja. Bahkan sebagian pemuda di kampungku sudah mulai bercita-cita, jika kelak pembangunan pasar itu selesai, mereka sudah bersiap diri. Baik sebagai kuli panggul, satpam pasar, atau pun berdagang walau pun dengan modal pas-pasan.
Dan alasan-alasan tadi sudah cukup meyakinkan kepolosan jiwa kanak-kanak saya untuk tidak rewel lagi mempersoalkan tentang kehilangan tempat bermain yang menngasyikan di alam terbuka. Ya, walau pun semua orang juga menyadari akan dampak buruk yang mungkin terjadi di masa depan. Yang akhirnya sudah biasa merasakan sendiri resikonya saat ini.




Bagian II : Cerita Masa Kini

Video penampakan alam untuk referensi tulisan ini
Sumber : Videoku di Youtube


            Sesungguhnya, apa yang telah saya sampaikan dalam tulisan di atas adalah kenyataan yang menjadi gambaran kecil perubahan lingkungan. Memang, kemajuan suatu daerah dapat terindikasi dengan adanya pembangunan yang bergerak secara masif di berbagai lini. Hanya saja yang selalu nampak di permukaan saat ini adalah pembangunan yang melulu soal fisik. Dan pembangunan psikis perkotaan seakan-akan hal terlupakan. Dengan munculnya berbagai persoalan individu-individu pengisi pembangunannya itu sendiri, misalnya. Yang akhirnya, keseimbangan alam pun jadi terganggu.
            Mungkin, pada dua puluh tahun yang lalu, setidaknya di daerah tempatku tinggal di perkampungan Paseh sana, Tasikku (yang) Resik sebagai Kotaku (yang) Hijau adalah memang demikian kenyataannya. Keramaian kota pun hanya dapat dijumpai di sekitar Jl.Cihideung. Dan gambaran tersebut menjadi berbanding terbalik ratusan derajat dengan kondisi lapangan wajah perkotaan Tasikmalaya pada saat ini. Menyedihkan.
            Secara sinis, lingkungan hidup di Kota Tasikmalaya sekarang memang telah menjelma sebagai sebuah kota yang benar-benar terasa ‘kekotaannya’. Indikasinya antara lain, kemacetan lalu lintas, menjamurnya permukiman kumuh, miskinnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai lahan resapan air (cathment area), pemasangan spanduk-spanduk iklan yang semrawut, polusi udara, pembangunan-pembangunan perumahan yang sporadis, serta kondisi sosialnya yang kian nafsi-nafsi. Hal ini pun diperparah dengan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi serta urbanisasi yang tidak terkendali. Apalagi ketegasan pemerintahnya sendiri sebagai pihak yang berwenang untuk menjalankan regulasi dalam perundang-undangan tentang lingkungan hidup dan tata ruang belum begitu serius. Hal ini nampak jelas dengan berbagai macam pelanggaran yang terjadi, seperti pada masalah perizinan yang tak kunjung rampung. Lihat saja sendiri.
            Meskipun demikian sebagai manusia, yang merupakan mahluk hidup paling mulia sekaligus mahluk satu-satunya yang diberi akal pikiran ciptaan Allah SWT, tentu tak perlu berkecil hati. Apalagi dengan menyerah begitu saja pada keadaan. Sebab masih ada banyak jalan keluar yang bisa kita lalui untuk melepaskan diri dari ketidak beraturan ini.
             Jargon Tasik sebagai Kota Resik, semestinya dijadikan spirit guna menggapai kembali apa yang kita cita-citakan bersama. Yakni dengan mewujudkan Kota Tasikmalaya yang resik dari segi fisik maupun resik secara psikis kotanya. Konon, jargon itulah yang mengantarkan Tasikmalaya pada masa orde baru meraih Piala Adipura dengan torehan rekor empat kali berturut-turut. Yakni pada tahun 1993, 1994, 1995 dan tahun 1996 untuk kategori Kota Sedang Terbersih. Yang akhirnya pemerintahan pada saat itu membangun Tugu Adipura di persimpangan Jl.KH. Zaenal Musthafa, tepatnya di depan Mesjid Agung Kota Tasikmalaya sebagai peringatan kejayaannya. Dengan yang meresmikannya adalah H.Adang Rosman, SH sebagai Bupati KDH Tk.II Tasikmalaya pada hari Jumat tanggal 3 November 1995. Jadi setahun setelah peresmian tugu adipura pada tahun 1995, ternyata pada tahun 1996 Tasikmalaya kembali mendapatkannya.
Memang dalam kenyataannya, raihan penghargaan adipura belum tentu jadi tolok ukur keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan pembangunan yang ramah lingkungan. Sebab yang menjadi titik penilaiannya hanya sebagian wilayah saja, tidak secara keseluruhan wilayah kabupaten/kota. Namun demikian, adipura tetaplah penting sebagai motivasi bagi daerah-daerah dalam menciptakan iklim sosial yang cinta kebersihan dan peduli lingkungan.
Dan isu global warming yang belakangan ini terus didengung-dengungkan, targetnya tentu saja menuding telak pada wajah perkotaan yang dianggap sebagai biang kerok kebocoran lapisan ozon dengan dosa sebagai penyumbang terbesar efek gas rumah kaca melalui polusi lingkungan yang tak terkendali.
Ide Kota Hijau, merupakan suatu konsep yang menawarkan solusi mulai dari pencegahan, penanganan maupun penyelesaian yang kongkret dan terbaik saat ini. Dimana di dalamnya tercantum berbagai ‘saran penyajian’ yang benar-benar mendasar. Semisal pembangunan itu harus dilandaskan pada perencanaan dan perancangan tata kota yang ramah lingkungan (green planing & design), perwujudan kualitas, kuantitas dan jejaring ruang terbuka hijau (green open space), peningkatan kepekaan, kepedulian dan peran serta  masyarakat dalam pengembangan atribut-atribut kota hijau (green community), pengelolaan sampah yang baik (green waste), dan lain sebagainya.
Tentu saja, semua itu akan terwujud bilamana adanya suatu kesepakatan bersama yang menyeluruh disertai dengan tindakan-tindakan nyata. Pemerintah sebagai pemberlaku aturan dengan penegakan serta sangsinya yang berwibawa. Dan masyarakat umum sebagai pemeran utama yang menjadi juru kunci keberhasilannya. Tidak mustahil.


Bagian III : Simpul yang masih Terbuka
           
Gunung Gadung, Jl.Mayagraha-Cikurubuk  Tahun 2010 doc.Irvan Mulyadie
Gunung Gadung, Jl.Mayagraha-Cikurubuk  Tahun 2013 doc.Irvan Mulyadie

            Membicarakan persoalan tentu saja harus berujung dengan solusi nyata yang tidak Cuma sekedar teori yang mengawang-awang, melainkan harus pula dapat diaplikasikan secara praktis di lapangan.
            Seingat saya, beberapa waktu menjelang penilaian kebersihan guna meraih Piala Adipura pada awal tahun 1990-an, Pemerintah Tasikmalaya mengintruksikan kepada setiap warga kota yang kebetulan rumahnya berada di tepi jalan raya untuk mengecat pagar rumah dengan seragam serta membuat kebun mini di setiap halamannya. Tepatnya di bagian terluar pagar yang menghadap langsung ke jalan.
            Karena rumah keluarga saya berada pas di tepi Jalan Raya Paseh Panututan, tentu saja kami pun harus tunduk. Mengingat pemerintahan orde baru pada saat itu selalu tegas menekan warganya untuk taat pada anjuran atau peraturan dari pemerintah. Tapi dengan senang hati, keluarga saya dengan para tetangga menyibukan diri untuk menghiasi halaman rumah dengan taman-taman dadakan. Toh dari segi biaya dan tenaga tak memberatkan ini. Lalu apa yang terjadi ?!
            Secara visual, efek yang ditimbulkan oleh pembuatan kebun-kebun mini itu luar biasa. Di sepanjang perjalanan, rasanya kita seperti disuguhi atraksi taman-taman hias yang unik. Padahal, tanaman yang ditanam di kebun dadakan itu tergolong biasa saja. Semisal tanaman Kembang Pacar yang warna-warni, Daun Hanjuang, Kuping Gajah, Supril, atau Bunga Sebè. Tapi karena kompak, keindahannya membuat panorama kota nampak jadi luar biasa. Begitu asri dan menyejukan.
            Nah, kenapa tidak hal ini diulang kembali, misalnya, dengan tak hanya membuat taman kecil dadakan dan bersifat sementara saja. Melainkan diolah kembali sebagai program pemerintah yang berkelanjutan. Yang tentu saja tidak perlu menunggu ada penilaian Adipura semata. Selain dapat menghijaukan dan mempercantik wajah kota, manfaat lainnya bisa sebagai penyaring alami polusi udara dari debu dan pembuangan gas kendaraan bermotor. Hal ini sekaligus juga mendidik masyarakat untuk aktif berperan dalam pewujudan kota hijau yang dimaksud.
           
Selanjutnya, guna menciptakan Tasik Resik sebagai Kota Hijau adalah dengan cara mempertahankan (bahkan kalau mungkin, menambah) lahan atau ruang terbuka hijau di perkotaan dengan cara, misalnya :
1.      Pemanfaatan aset tanah kas desa/kelurahan atau tanah-tanah milik pemerintah lainnya yang belum terbangun sebagai ruang terbuka hijau.
2.      Pembebasan lahan hijau yang strategis dari kepemilikan individu menjadi milik negara. Sehingga lebih mudah didalam pengaturannya kelak.
3.      Pemberian kompensasi/ bonus menarik bagi setiap pemilik lahan-lahan hijau secara pribadi yang mempertahankan tanahnya tetap hijau dengan tumbuhannya.
4.      Menciptakan kampanye masif yang kreatif tentang pentingnya mewujudkan kota hijau ke berbagai kalangan usia atau tingkatan strata sosial di masyarakat. Misalnya dengan memasukan mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Sehat ke sekolah-sekolah.
5.      Dengan penegakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang secara tegas dan berkelanjutan. Meskipun definisi kawasan perkotaan dalam UU ini adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi akan tetapi di dalam Paragraf  5 mengenai Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota Pasal Pasal 28 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian dalam Pasal 26 ayat (1) ditambahkan:
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum,kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.

Selain itu pemerintah juga perlu memperhatikan Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan “Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota”. Serta Pasal 29 ayat (3) yang berbunyi “Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota”.

            Jadi dengan demikian, tema TasikkuResik Kotaku Hijau bukan lagi suatu impian yang mengambang di atas langit lamunan. Namun bisa diwujudkan dalam kenyataan. Hanya persoalannya, mau apa tidak kita meraih kenyataan tersebut ? Peun.


Catatan :

*  Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes blog “Green Festival 2013” yang diselenggarakan olehRelawan Hijau Resik Green Community dan meraih Juara 2.

Dimuat di Harian Kabar Priangan di Lembar Budaya Hal.23 pada hari Jumat, 29 November 2013 dengan Judul Tasikku Resik Kotaku Hijau "MERENUNGI TUGU ADIPURA MASA KINI"

 1. Kecuali di pusat-pusat pemerintahan dan perdagagan / jasa. 


Referensi :  



https://maps.google.com/maps?q=pasar+cikurubuk+kota+tasikmalaya&hl=id&ll=-7.337057,108.202565&spn=0.011237,0.021136&sll=38.410558,-95.712891&sspn=36.119372,86.572266&t=h&hq=pasar+cikurubuk&hnear=Tasikmalaya,+Jawa+Barat,+Indonesia&z=16

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang





Komentar