CERITA TENTANG SEBUAH IMPIAN
TASIKKU RESIK KOTAKU HIJAU*
TASIKKU RESIK KOTAKU HIJAU*
Oleh : Irvan Mulyadie, S.IP
Bila
anda seseorang yang pernah hidup dan menjalani kehidupan di perkotaan
Tasikmalaya pada dua puluh tahun yang lalu dan sebelumnya, atau lebih tepatnya
hingga pertengahan tahun 1995 silam, maka saya bisa meyakinkan bahwa anda adalah
seorang beruntung yang pernah menikmati suasana alamiˡ layaknya hidup di
pedesaan. Bagaimana tidak? Sebab separah apa pun lingkungan hidupnya pada saat
itu, wilayah perkotaan Tasikmalaya masih merupakan daerah dengan ruang terbuka
hijau yang sangat luas.
Bagian I : Dongeng
dari Masa Kanak-Kanak
Saat itu, sawah-sawah masih menghampar dalam sejauh mata bisa memandang. Bukit-bukit masih terjaga dengan sumber mataairnya. Sungai-sungai dan selokan mengalir jernih dengan aneka jenis ikan. Serta di sepanjang bahu jalan, pohon-pohon Akasia yang rindang tinggi menjulang menggapai langit dengan gagahnya.
Sebagai bagian dari masyarakat
Tasikmalaya yang tinggal di kisaran Jl.Paseh Panututan Kelurahan Tuguraja
Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya, ya, setidaknya hal itulah yang pernah
saya rasakan sendiri. Pengalaman masa kanak-kanak yang sangat berbekas dalam
kenangan.
Coba saja anda bayangkan; di sekitar
tahun 1994, pada saat saya masih berseragam putih-merah menjelang kelas 6 SD. Saya
dan kawan-kawan seusia masih bisa menikmati serunya main perang-perangan ala
tentara sungguhan dengan menggunakan peluru ‘Hanjeli atau Takokak’
sambil kukurusukan di bukit-bukit
seperti Gunung Hareueus dan di Gunung Eurih. Gunung Eurih sendiri pada saat itu
masih dikelilingi persawahan dan kolam-kolam ikan yang luas sehingga mirip
danau kecil atau situ. Kami masih bisa merasakan asyiknya ‘rarakitan’ dengan menggunakan pohon pisang yang disatukan dengan
pasak-pasak bambu di Sungai Cinutut yang jernih. Kemudian ikut berburu
Careuh/Musang dan Heulang Ruyuk di Gunung Kalapa Genep dan di Gunung Gede
(Komplek Pasar Induk Cikurubuk sekarang). Kebetulan pada saat itu, populasi Careuh
dan Heulang cukup banyak. Dan masih merupakan hama ternak unggas yang utama.
Hampir tiap hari, seringkali kami saksikan mereka terbang berkelompok di langit
yang cerah.
Tapi rupanya, di tahun-tahun itulah
terakhir kalinya kami dapat menikmati keindahan alam di Kota Administrasi
Tasikmalaya. Sebab di sekira tahhun itu pula, Proyek Pembangunan Pasar Induk
Cikurubuk mulai dilaksanakan. Dan kami telah sama-sama menyaksikan; bagaimana satu
persatu pepohonan tumbang dalam raungan gergaji mesin. Lalu bukit-bukit tercerabut dalam kegarangan mobil-mobil
Bouldozer yang mengeruk habis puncak-puncak bukit, meratakannya, serta menimbun
sebagian besar persawahan tempat kami menghabiskan masa kecil dengan bermain
disana.
Demi Tuhan, di usia belia seperti itu,
saya sudah dapat membayangkan tentang bagaimana akan jadinya daerah kami kelak
jika pasar induk itu benar-benar berdiri. Saya ngeri. Dan saya langsung
teringat sungai kotor di tengah kota yang melintasi Jl.Kalektoran dimana nenek
dari ibu saya tinggal, Sungai Ciromban. Aroma busuk dengan pemandangan banyak
sampah yang mengambang, tertahan di cerukan sungai dan menjadi timbunan kotor.
Terkadang kalau sedang dipuncak musim penghujan, Ciromban bisa meluap karena
salurannya mampet. Dan itu pertanda buruk bagi warga di sekitarnya.
Dalam hati saya jadi bertanya-tanya;
bagaimana kalau seandainya kami tak bisa bermain perang-perangan di bukit
lagi? Tak bisa berburu lagi ? Tidak lagi
menikmati derasnya Sungai Cinutut yang membawa rakit-rakit gebog kami ?
Sedikit sekali orang yang dijumpai saat
itu yang mempunyai pandangan sama sepertiku. Atau mungkin hanya ibuku saja yang
mampu memahami kegundahan hati saya tersebut. Mengingat ibu pernah lahir dan
dibesarkan di lingkungan pusat perkotaan Tasikmalaya. Sebab semua orang
sepertinya larut dalam euforia pembangunan pasar terbesar di Jawa Barat itu.
Setiap hari, mesin-mesin pengeruk pasir
layaknya demonstrasi pada suatu pertunjukan sirkus. Tetangga-tetanggaku
memandanginya dengan sorot mata yang takjub, Gendo. Bahkan mereka turut bersorak-sorai ketika pohon-pohon besar
tumbang hanya dengan beberapa dorongan ‘tangan bèku’. Dan mereka bertepuk
tangan bilamana ada batu-batu besar diruntuhkan dari ketinggian tebing
bukit dengan hanya satu sentuhan. Kecuali dengan raut para buruh tani, saya
melihat semuanya nampak begitu bahagia. Menyongsong bayangan masa depan: wajah
kota.
Menurut apa yang saya sempat dengarkan
dari obrolan para orang tua saat itu, maka dengan adanya pembangunan pasar di
dekat permukiman kami tersebut diharpakan bisa mendorong perekonomian warga
sekitarnya. Tak perlu lagi ‘ngongkos’ bila
hendak ke pasar, cukup dengan berjalan kaki saja. Bahkan sebagian pemuda di
kampungku sudah mulai bercita-cita, jika kelak pembangunan pasar itu selesai,
mereka sudah bersiap diri. Baik sebagai kuli panggul, satpam pasar, atau pun
berdagang walau pun dengan modal pas-pasan.
Dan alasan-alasan tadi sudah cukup
meyakinkan kepolosan jiwa kanak-kanak saya untuk tidak rewel lagi mempersoalkan
tentang kehilangan tempat bermain yang menngasyikan di alam terbuka. Ya, walau
pun semua orang juga menyadari akan dampak buruk yang mungkin terjadi di
masa depan. Yang akhirnya sudah biasa merasakan sendiri resikonya saat ini.
Bagian II : Cerita Masa Kini
Video penampakan alam untuk referensi tulisan ini
Sumber : Videoku di Youtube
Sesungguhnya, apa yang telah saya
sampaikan dalam tulisan di atas adalah kenyataan yang menjadi gambaran kecil perubahan
lingkungan. Memang, kemajuan suatu daerah dapat terindikasi dengan adanya
pembangunan yang bergerak secara masif di berbagai lini. Hanya saja yang selalu
nampak di permukaan saat ini adalah pembangunan yang melulu soal fisik. Dan pembangunan
psikis perkotaan seakan-akan hal terlupakan. Dengan munculnya berbagai persoalan
individu-individu pengisi pembangunannya itu sendiri, misalnya. Yang akhirnya,
keseimbangan alam pun jadi terganggu.
Mungkin, pada dua puluh tahun yang
lalu, setidaknya di daerah tempatku tinggal di perkampungan Paseh sana, Tasikku
(yang) Resik sebagai Kotaku (yang) Hijau adalah memang demikian kenyataannya.
Keramaian kota pun hanya dapat dijumpai di sekitar Jl.Cihideung. Dan gambaran
tersebut menjadi berbanding terbalik ratusan derajat dengan kondisi lapangan
wajah perkotaan Tasikmalaya pada saat ini. Menyedihkan.
Secara sinis, lingkungan hidup di Kota
Tasikmalaya sekarang memang telah menjelma sebagai sebuah kota yang benar-benar
terasa ‘kekotaannya’. Indikasinya antara lain, kemacetan lalu lintas,
menjamurnya permukiman kumuh, miskinnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai lahan
resapan air (cathment area), pemasangan spanduk-spanduk iklan yang
semrawut, polusi udara, pembangunan-pembangunan perumahan yang sporadis, serta
kondisi sosialnya yang kian nafsi-nafsi. Hal ini pun diperparah dengan adanya
pertumbuhan penduduk yang tinggi serta urbanisasi yang tidak terkendali.
Apalagi ketegasan pemerintahnya sendiri sebagai pihak yang berwenang untuk
menjalankan regulasi dalam perundang-undangan tentang lingkungan hidup dan tata
ruang belum begitu serius. Hal ini nampak jelas dengan berbagai macam
pelanggaran yang terjadi, seperti pada masalah perizinan yang tak kunjung
rampung. Lihat saja sendiri.
Meskipun demikian sebagai manusia, yang
merupakan mahluk hidup paling mulia sekaligus mahluk satu-satunya yang diberi
akal pikiran ciptaan Allah SWT, tentu tak perlu berkecil hati. Apalagi dengan
menyerah begitu saja pada keadaan. Sebab masih ada banyak jalan keluar yang
bisa kita lalui untuk melepaskan diri dari ketidak beraturan ini.
Jargon Tasik sebagai Kota Resik, semestinya
dijadikan spirit guna menggapai kembali apa yang kita cita-citakan bersama.
Yakni dengan mewujudkan Kota Tasikmalaya yang resik dari segi fisik maupun
resik secara psikis kotanya. Konon, jargon itulah yang mengantarkan
Tasikmalaya pada masa orde baru meraih Piala Adipura dengan torehan rekor empat
kali berturut-turut. Yakni pada tahun 1993, 1994, 1995 dan tahun 1996 untuk
kategori Kota Sedang Terbersih. Yang akhirnya pemerintahan pada saat itu
membangun Tugu Adipura di persimpangan Jl.KH. Zaenal Musthafa, tepatnya di
depan Mesjid Agung Kota Tasikmalaya sebagai peringatan kejayaannya. Dengan yang
meresmikannya adalah H.Adang Rosman, SH sebagai Bupati KDH Tk.II Tasikmalaya
pada hari Jumat tanggal 3 November 1995. Jadi setahun setelah peresmian tugu
adipura pada tahun 1995, ternyata pada tahun 1996 Tasikmalaya kembali
mendapatkannya.
Memang dalam kenyataannya, raihan
penghargaan adipura belum tentu jadi tolok ukur keberhasilan suatu daerah dalam
mewujudkan pembangunan yang ramah lingkungan. Sebab yang menjadi titik
penilaiannya hanya sebagian wilayah saja, tidak secara keseluruhan wilayah
kabupaten/kota. Namun demikian, adipura tetaplah penting sebagai motivasi bagi
daerah-daerah dalam menciptakan iklim sosial yang cinta kebersihan dan peduli
lingkungan.
Dan isu global warming yang belakangan
ini terus didengung-dengungkan, targetnya tentu saja menuding telak pada wajah
perkotaan yang dianggap sebagai biang kerok kebocoran lapisan ozon dengan dosa sebagai
penyumbang terbesar efek gas rumah kaca melalui polusi lingkungan yang tak
terkendali.
Ide Kota Hijau, merupakan suatu konsep
yang menawarkan solusi mulai dari pencegahan, penanganan maupun penyelesaian
yang kongkret dan terbaik saat ini. Dimana di dalamnya tercantum berbagai ‘saran
penyajian’ yang benar-benar mendasar. Semisal pembangunan itu harus dilandaskan
pada perencanaan dan perancangan tata kota yang ramah lingkungan (green planing
& design), perwujudan kualitas, kuantitas dan jejaring ruang terbuka hijau
(green open space), peningkatan kepekaan, kepedulian dan peran serta masyarakat dalam pengembangan atribut-atribut
kota hijau (green community), pengelolaan sampah yang baik (green waste), dan
lain sebagainya.
Tentu saja, semua itu akan terwujud
bilamana adanya suatu kesepakatan bersama yang menyeluruh disertai dengan
tindakan-tindakan nyata. Pemerintah sebagai pemberlaku aturan dengan penegakan
serta sangsinya yang berwibawa. Dan masyarakat umum sebagai pemeran utama yang
menjadi juru kunci keberhasilannya. Tidak mustahil.
Bagian III :
Simpul yang masih Terbuka
Gunung Gadung, Jl.Mayagraha-Cikurubuk Tahun 2010 doc.Irvan Mulyadie
Gunung Gadung, Jl.Mayagraha-Cikurubuk Tahun 2013 doc.Irvan Mulyadie
Seingat saya, beberapa waktu
menjelang penilaian kebersihan guna meraih Piala Adipura pada awal tahun
1990-an, Pemerintah Tasikmalaya mengintruksikan kepada setiap warga kota yang
kebetulan rumahnya berada di tepi jalan raya untuk mengecat pagar rumah dengan
seragam serta membuat kebun mini di setiap halamannya. Tepatnya di bagian
terluar pagar yang menghadap langsung ke jalan.
Karena rumah keluarga saya berada
pas di tepi Jalan Raya Paseh Panututan, tentu saja kami pun harus tunduk.
Mengingat pemerintahan orde baru pada saat itu selalu tegas menekan warganya
untuk taat pada anjuran atau peraturan dari pemerintah. Tapi dengan senang
hati, keluarga saya dengan para tetangga menyibukan diri untuk menghiasi
halaman rumah dengan taman-taman dadakan. Toh dari segi biaya dan tenaga tak
memberatkan ini. Lalu apa yang terjadi ?!
Secara visual, efek yang ditimbulkan
oleh pembuatan kebun-kebun mini itu luar biasa. Di sepanjang perjalanan,
rasanya kita seperti disuguhi atraksi taman-taman hias yang unik. Padahal,
tanaman yang ditanam di kebun dadakan itu tergolong biasa saja. Semisal tanaman
Kembang Pacar yang warna-warni, Daun Hanjuang, Kuping Gajah, Supril, atau Bunga
Sebè. Tapi karena kompak, keindahannya membuat panorama kota nampak jadi luar
biasa. Begitu asri dan menyejukan.
Nah, kenapa tidak hal ini diulang
kembali, misalnya, dengan tak hanya membuat taman kecil dadakan dan bersifat
sementara saja. Melainkan diolah kembali sebagai program pemerintah yang berkelanjutan.
Yang tentu saja tidak perlu menunggu ada penilaian Adipura semata. Selain dapat
menghijaukan dan mempercantik wajah kota, manfaat lainnya bisa sebagai penyaring
alami polusi udara dari debu dan pembuangan gas kendaraan bermotor. Hal ini
sekaligus juga mendidik masyarakat untuk aktif berperan dalam pewujudan kota
hijau yang dimaksud.
Selanjutnya,
guna menciptakan Tasik Resik sebagai Kota Hijau adalah dengan cara mempertahankan
(bahkan kalau mungkin, menambah) lahan atau ruang terbuka hijau di perkotaan
dengan cara, misalnya :
1.
Pemanfaatan
aset tanah kas desa/kelurahan atau tanah-tanah milik pemerintah lainnya yang
belum terbangun sebagai ruang terbuka hijau.
2.
Pembebasan
lahan hijau yang strategis dari kepemilikan individu menjadi milik negara. Sehingga
lebih mudah didalam pengaturannya kelak.
3.
Pemberian
kompensasi/ bonus menarik bagi setiap pemilik lahan-lahan hijau secara pribadi
yang mempertahankan tanahnya tetap hijau dengan tumbuhannya.
4.
Menciptakan
kampanye masif yang kreatif tentang pentingnya mewujudkan kota hijau ke
berbagai kalangan usia atau tingkatan strata sosial di masyarakat. Misalnya
dengan memasukan mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Sehat ke sekolah-sekolah.
5.
Dengan
penegakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang secara tegas dan berkelanjutan. Meskipun definisi kawasan perkotaan dalam
UU ini adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi
akan tetapi di dalam Paragraf 5 mengenai
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota Pasal Pasal 28 berlaku mutatis mutandis
untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian dalam
Pasal 26 ayat (1) ditambahkan:
a.
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
b.
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan
prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum,kegiatan sektor
informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah
kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
Selain
itu pemerintah juga perlu memperhatikan Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan “Proporsi
ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen
dari luas wilayah kota”. Serta Pasal 29 ayat (3) yang berbunyi “Proporsi ruang
terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen
dari luas wilayah kota”.
Jadi dengan demikian, tema TasikkuResik Kotaku Hijau bukan lagi suatu impian yang mengambang di atas langit
lamunan. Namun bisa diwujudkan dalam kenyataan. Hanya persoalannya, mau apa
tidak kita meraih kenyataan tersebut ? Peun.
Catatan :
* Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes blog “Green Festival 2013” yang diselenggarakan olehRelawan Hijau Resik Green Community dan meraih Juara 2.
Dimuat di Harian Kabar Priangan di Lembar Budaya Hal.23 pada hari Jumat, 29 November 2013 dengan Judul Tasikku Resik Kotaku Hijau "MERENUNGI TUGU ADIPURA MASA KINI" 1. Kecuali di pusat-pusat pemerintahan dan perdagagan / jasa. Referensi : |
https://maps.google.com/maps?q=pasar+cikurubuk+kota+tasikmalaya&hl=id&ll=-7.337057,108.202565&spn=0.011237,0.021136&sll=38.410558,-95.712891&sspn=36.119372,86.572266&t=h&hq=pasar+cikurubuk&hnear=Tasikmalaya,+Jawa+Barat,+Indonesia&z=16
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Komentar
Posting Komentar