MUSIKALISASI PUISI DALAM HUJAN
di Komunitas Azan
di Komunitas Azan
Oleh : Irvan Mulyadie
Sebuah puisi yang bagus apabila dibacakan dengan
‘serius’ tentu menghasilkan nuansa yang menyentuh batin bagi para penyimaknya.
Apalagi, bila puisi tersebut tidak hanya dibacakan, tapi diberi latar musik. Atau
lebih jauh, syair tersebut dibuat lagu dan dinyanyikan dengan suara yang indah
serta irama yang pas. Tentu akan kian ‘memabukan’.
Dihantar
Hujan
Sejak sore,
hujan deras mengguyur Tasikmalaya dan sekitarnya. Bahkan di beberapa tempat,
kilat petir masih saja jelalatan dengan dentum suaranya yang menggema. Selepas
salat Maghrib, saya akhirnya berangkat juga meninggalkan rumah yang terletak di
kisaran kampung Tundagan kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya. Menembus hujan,
menyusuri jalan yang licin, jalan yang di beberapa titik dalam perjalanan itu
tergenang air hingga mirip banjir. Menuju Singaparna, ibu kota Kabupaten
Tasikmalaya.
Ke Cipasung,
ya, itulah tujuan saya berangkat pada malam itu (28/2). Dimana pada jam 19.30
WIB akan berlangsung sebuah kegiatan bernuansa seni budaya dengan menyajikan
konser musikalisasi puisi. Acara ini digelar di halaman rumah budayawan Acep
Zamzam Noor. Seperti biasa, petak halaman yang biasanya berfungsi sebagai
garasi kendaraan si empunya rumah, mendadak disulap menjadi ruang pertunjukan
yang cukup representatif.
Hujan masih
belum reda, ketika saya telah benar-benar sampai di tujuan. Tapi kehangatan
dari tuan rumah telah mencairkan sensasi beku di tubuh akibat menempuh
perjalanan cukup jauh. Sudah banyak kawan seniman dan aktivis pergerakan di sana.
Beberapa di antaranya adalah pelukis
Yadi Mafie, penyair Kidung Purnama juga budayawan muda Sarabunis Mubarok dan
Asep Muslim (Ansor), dll.
Dua nama
terakhir yang disebutkan ini adalah pembicara pada diskusi kebudayaan di lokasi
yang sama dengan tema ‘Generasi Muda dan Budaya’ yang telah dilaksanakan pada
siang harinya.
Adapun sebagai
moderatornya adalah Diwan Maldini, anak lelaki tertua Acep Zamzam Noor yang
saat itu bertanggung jawab sebagai ketua pelaksana pada kegiatan Komunitas Azan
tersebut.
Malam terus
beranjak. Sesekali hujan reda beberapa saat. Tapi tidak pernah benar-benar raat. Ada banyak hal yang kami
perbincangkan sebelum pertunjukan musikalisasi digelar. Soal ketimpangan sosial,
carut marut hukum, politik dan pemberantasan korupsi di Indonesia, fenomena
batu akik yang menggemparkan, generasi muda masa kini yang dibenturkan langsung
dengan teknologi informasi sebagai ‘corong budaya’ asing, juga tentang
pergulatan seniman yang tengah bergulir di jantung Kota Tasikmalaya akibat
adanya campur tangan pemerintah yang seolah sedang memeta konflikan atau bahkan
membenturkan satu seniman dengan yang lainnya. Seru sekali, berbincang sambil
menikmati seduhan kopi dan buah manggis.
Hujan tinggal
gerimis. Check sound musik dilakukan.
Di ruang tamu, dalam obrolan, kami harus
menaikan volume suara untuk mengimbangi suara dari luar. Rupanya panitia tak
hendak lagi mengulur waktu. Sementara
pengunjung telah berjubel di depan panggung. Tak pedulikan lagi pakaiannya yang
basah dan cuaca dingin. Semua antusias untuk menyaksikan pertunjukan
musikalisasi puisi.
Fine
Della Storia
Untuk
penampil pertama, Sanggar Seni Nuansa SMAN 1 Ciamis menggebrak panggung dengan
alunan puisi berirama lawas dengan peralatan musik klasik. Mereka memadu
padankan alunan suara Flute yang ditiup Bani Ambara, petikan Guitar Akustik
oleh Fikri Binarsukma, tetabuhan Kajhon yang menghentak yang dimainkan Rofi
Darul Hilman, cabikan Bass oleh Yudi aditia serta lengkingan Biola yang digesek
gadis manis, Frahma Ayudia Asmarandhana.
Sementara
untuk urusan pelantun nyanyian, Nuansa dilapis dengan empat orang vokalis
cantik dengan gayanya masing masing. Mereka menyajikan musikalisasi puisi yang
berjudul Aku Ingin (Sapardi Djoko Damono), Bahasa langit (Acep Zamzam Noor), Di
Negeri Kaya Kita Punya Apa (Bambang eka prasetya). Irama musik balada, swing
dan jazz menjadi variasi yang sangat menarik. Dan pas sebagai menu pembuka.
Secara
berturut-turut, tampil juga Sanggar Kobong MAN Cipasung dengan menyuguhkan puisi Ketika Senja (Saeful Badar), Mengukir Tubuhmu
dan Lagu Sederhana (Acep Zamzam Noor) dan Batu (Neng IdaNurhalida). Kemudian
Sanggar Gama SMA Islam Cipasung yang menggubah puisi Tangis Darah (Acep Zamzam
Noor) dalam irama Grindcore serta dentuman ‘melodi bacot’ ala beat box. Juga
puisi Hutan dalam Hutan (Soni Farid Maulana) serta puisi Serenande (Wiji
Thukul).
Ada juga
kelompok musik akustik Gerobak 28 dari Universitas Negeri Siliwangi yang
membawakan tembang andalan mereka yakni Aku kini Doa (Acep Zamzam Noor) dan
puisi lirih Selamanya (Ratna Ayu Budhiarti). Sedangkan komunitas Tawon Institut
Agama Islam Cipasung membawakan puisi Dibawah pohon Rindang (Jajang Indra).
Komunitas Pancawarna yang merupakan gabungan pemusik dari beberapa kelompok
melagukan Sajak Nakal & Lirik sunyi
karya Acep Zamzam Noor.
Sementara
sebagai penampil pamungkas Sanggar Terasi STT Cipasung yang salah satunya
digawangi oleh Eki Naufal Fauzi menawarkan irama padang pasir dengan tetabuhan
alat musik rebana sebagai andalannya. Puisi yang digubah antara lain Setelah
Mencintaimu dan Kwatrin Malam (Acep Zamzam Noor). Penampilan terakhir ini
seakan membawa kembali malam ke suatu nuansa religius yang khas pesantren. Gaya
tagoni ini merangsang hadirin yang didominasi kalangan pelajar dan mahasiswa
untuk berjingkrak.
Ada yang
terasa istimewa yang tersaksi dalam kegiatan pentas musikalisasi puisi yang
diberi nama besar dari lukisan Acep
Zamzam Noor, Fine Della Storia (akhir Cerita). Yakni dengan hadirnya Acep
Zamzam Noor sendiri sebagai sesepuh Komunitas Azan, yang secara bersamaan,
tanggal 28 Februari 2015 ini sebagai penanda hari lahirnya yang ke 55. Sebuah
tumpeng cukup besar dihadiahkan secara simbolis oleh Ketua IPNU Kabupaten
Tasikmalaya.
“Tujuan acara
ini adalah untuk memasyarakatkan diskusi di kalangan pelajar, santri dan umum.
Mewadahi bakat teman-teman dalam diskusi dan bidang musik dengan cara yang
menarik. Tentunya untuk menghibur masyarakat juga dengan sajian musikalisasi
puisi” terang Diwan.
Malam telah
mencapai puncaknya. Tapi hujan masih saja kangen jatuh. Meskipun sekedar
gerimis. Tapi ini sungguh puitis. Romantis!.
Penulis adalah Budayawan muda, tinggal di Kota
Tasikmalaya.
Dimuat Pertamakali di Harian Radar Tasikmalaya pada Lembar Budaya, 8 Maret 2015
Komentar
Posting Komentar