DRAMA MUSIKAL "ODE RIMBA RAYA"
Oleh : Irvan Mulyadie
“Kenapa mesti takut kepada Serigala? Kita ini kan banyak.
Dan Serigala harus kita lawan bersama-sama. Keadilan harus ditegakkan. Serigala
itu telah merampas segala ketentraman hutan kita semenjak dulu. Kalau sekarang
tidak dilawan, maka selamanya kita akan selalu diliputi ketakutan”
Seru Kancil kepada binatang-binatang lainnya.
Begitulah salah satu penggalan dialog
dari kisah drama anak-anak “Serigala Sakit Gigi” yang naskahnya telah selesai saya
tulis pada 21 Juli 2001. Di tahun itulah awal-awal saya belajar ‘menulis’
dengan cukup serius. Baik berupa puisi, cerpen dan menulis naskah drama. Kebetulan,
saat itu saya telah bergabung dengan Sanggar Sastra Tasik dan Teater Dongkrak. Ya,
itu tepatnya setahun setelah saya lulus STM jurusan Bangunan Gedung.
Sekitar Proses
Kreatif
Karena pergaulan, mungkin ketertarikan
saya terhadap kesenian pun makin berkembang. Hingga tulisan pun tak hanya
berkutat pada karya sastra dan drama saja, melainkan juga esai budaya, berita
tentang pertunjukan kesenian dan skenario film. Tapi sayang, kelemahan mendasar
saya saat itu adalah kurang publikasi.
Mungkin karena fasilitas pribadi juga
yang belum mendukung. Saya sama sekali tidak mempunyai mesin tik saat itu.
Apalagi komputer. Hampir semua karya saya adalah hasil manual, dengan tulisan
tangan. Pinjam? Malu. Rental? Tak punya uang. Nasib. Bahkan naskah drama Serigala
Sakit Gigi itu sendiri hanya saya tulis di balik lembaran kalender yang saya
gunting, lalu disusun menyerupai buku. Tapi tanpa dihekter. Baru pada 21
September 2007 naskah itu ditulis ulang karena saya sudah punya komputer
sendiri.
Serigala Sakit Gigi terlahir dipicu oleh
kegeraman saya menyaksikan keadaan. Anak-anak sekarang tak lagi mendapatkan
tempat yang layak dimana pun. Bahkan di rumah sendiri. Teknologi telah
mengambil alih kreativitas mereka hingga ke akar-akarnya. Ambil contoh
acara-acara di televisi. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar layak
ditonton oleh anak-anak. Saya yakin yang
layak tonton tidak akan sampai 5 %.
Di luar rumah, anak-anak pun tidak lagi
suka bermain permainan tradisional. Mereka lebih betah dengan gadget-gadget
elektrik ketimbang lari-lari gobak sodor. Saraf motoriknya jadi tidak terlatih.
Sementara otaknya lelah dijejali imajinasi-imajinasi instan game watch (Playsatation kalau sekarang) dan film kartun.
Agaknya kita akan sepakat, bahwa dampak
negatif dari berbagi tayangan serta efek dari permainan yang disediakan untuk anak-anak sekarang ini
mengandung resiko negatif yang besar bagi perkembangan psikologisnya. Terutama karena
permainan atau tayangan tersebut kurang memberikan nilai-nilai pendidikan.
Terlebih kita pun tahu melalui pemberitaan di media massa yang akhir-akhir ini
sedang gencarnya menyoroti pengaruh buruk dari aneka ragam permainan berbasis
elektronika serta tayangan televisi. Bahkan mengakibatkan jatuhnya beberapa
korban jiwa dari kalangan anak-anak hanya gara-gara mereka mempraktekan apa
yang mereka tonton dan mainkan melalui permainan berbasis alat-alat elektronik
atau internet, misalnya.
Jelas ini tak berimbang, di satu
sisi proses transfer pengetahuan dari orang tua maupun sekolah kepada anak
belum begitu memadai. Dan itu berbanding terbalik bila dibandingkan dengan
terjangan arus informasi global yang semakin hari kian mengikis nilai-nilai
luhur budaya kita. Dan itu 24 jam non stop dengan berbagai kemudahan akses
untuk menggapainya. Mengerikan.
Nah, saya berharap dengan hadirnya
naskah drama sederhana yang dikhususkan untuk anak-anak ini, akan mampu
memberikan sedikit angin segar bagi tumbuh kembangnya jiwa anak-anak kita.
Paling tidak memberikan semacam cangkul guna menggali inspirasi yang telah
terkubur ditengah-tengah padang pasir yang hanya dipenuhi oleh nilai-nilai
budaya global yang belum tentu cocok diterapkan dalam bangsa yang majemuk ini.
Kesaksian dari
Belakang Layar
Proses Menjelang Gladi Resik
Sabtu, 28 Maret 2015. Siang hari bolong,
seperti biasa kecerahan DKI Jakarta
selalu memberi hawa panas yang ‘nerekab’.
Meskipun begitu, bayang-bayang awan hitam di langit menyisakan kecemasan akan
datangnya hujan. Hujan lebat yang biasanya akan menyebabkan banjir hebat dari
luapan sungai-sungai yang tak mampu lagi menampung limpahan air.
Tapi tidak hari itu. Cuaca benar-benar
cerah, seperti keceriaan anak-anak dari Sekolah Dasar Madania yang hendak
mempersiapkan diri untuk melaksanakan gladi resik pertunjukan : Ode Rimba Raya.
Ini adalah pementasan teater musikal yang kisahnya mengadaptasi dari naskah
Serigala Sakit Gigi. Dan disutradarai oleh Abdul Aziz Wahyudi.
Sebagai penulis kisah dramanya, tentu
saja saya jadi penasaran. Sebab yang saya dengar, garapan ini melibatkan
ratusan anak-anak. Kok, bisa? Bukankah di dalam naskah aslinya hanya ada
sekitar sepuluh tokoh saja? Pertanyaan
lain yang muncul di kepala juga adalah, akan dibawa kemana pementasan ini?
Seperti apa konsepnya? Bagaimana penyajiannya? Dan seterusnya.
Dari belakang layar, saya
menyaksikan betapa sibuknya kerabat pentas mempersiapkan diri. Ada yang
memilah-milah kostum sesuai peran, menata peralatan musik hingga check sound, menata lampu, tim konsumsi
yang selalu jeli memperhatikan kondisi orang-orang di lapangan. Ada juga yang
mendata ulang kebutuhan lain yang harus dipersiapkan, sampai pada teknis
penerimaan tamu atau penonton. Semua berjalan lancar, rapi, terkonsep matang,
dan nyaris tanpa kendala berarti.
Sementara diluar area panggung,
anak-anak yang akan menjadi aktor tengah menggelar salat dzuhur berjamaah. Berderet
rapi, mengikuti instruksi dari gurunya.
Menjelang senja, mendekati waktu
pelaksanaan gladi resik, kru-kru panggung itu pun tidak kalah sibuknya. Penata
musik, penata gerak, stage manager, dan aktor bahu-membahu menerjemah ulang
keinginan sang Sutradara saat menata blocking
panggung sebagai penyesuaian. Tapi anehnya, tak ada ketegangan berarti yang
nampak dari kru-kru ini. Tetap konsentrasi dan kompak. Kecuali sedikit
kecemasan dari wajah Sutradara. Maklum, sebagai penanggung jawab sentral, dia
harus memastikan semuanya berjalan sempurna.
Sebetulnya, saya ingin menuntaskan
melihat proses gladi resik itu. Sebab menurut keyakinan saya selama ini, dengan
melihat proses tersebut tentu akan lebih memberi banyak pengetahuan ketimbang
hanya menonton pertunjukannya saja. Namun niat itu saya urungkan. Saya tidak
ingin rasa penasaran itu melemah. Bagaimana pun, ini adalah sebuah kejutan
spesial bagi saya yang pada tanggal 18 Maret lalu merayakan ulang tahun ke-34.
Semacam kado spiritual. Maka saya pun pamit untuk sekedar jalan-jalan.
Panggung Yang
Ceria
Waktu telah menunjukan jam.19.00 WIB.
Terdengar suara gong dipukul tiga kali, menandakan pertunjukan akan segera dimulai. Pintu
masuk ke ruang auditorium di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail mulai terbuka
lebar. Hadirin dan para tamu undangan yang sejak sore mulai memadati ruang
loby, menikmati camilan makanan ringan sambil menyaksikan video proses kreatif
pertunjukan Ode Rimba Raya dan foto-foto kegiatan yang sengaja dipamerkan pun
segera masuk ruangan.
Saya berdebar, persis seperti sedang
menghadapi seseorang yang tengah mengulurkan sebungkus kado istimewa ke hadapan.
Ruangan temaram itu menggariskan cahaya lampu kebiru-biruan di pinggang tangga-tangga
pijakan. Kursi merah berderet rapi dan belum semuanya terisi. Saya duduk di kursi yang telah disediakan panitia. Menyenderkan
kepala, dan sesekali menghembuskan nafas lega.
Beberapa menit kemudian, secara
seremonial panggung pun dibuka dengan beberapa acara kelembagaan. Sementara Ode
Rimba Raya sendiri merupakan rangkaian kegiatan dari Festival Madania 2015. Sebentar
saja. Dan pertunjukan pun dimulai.
Kembali, suara gong ditabuh. Gamelan
jawa dengan nada yang menghentak dimainkan anak-anak dalam kostum menyerupai
peri-peri pepohonan. Semangat sekali. Di panggung yang masih temaram, perlahan
lampu menyorot ke sebuah jagat alit, dimana wayang kancil dimainkan.
Menggambarkan suasana hutan. Bersamaan dengan itu, para penyanyi paduan suara
memasuki panggung sebagi bagian dari pertunjukan, background. Mengingatkan kita pada idiom pertunjukan lenong atau
tunil yang komunikatif. Disusul kemudian dengan pertunjukan rampak jimbe yang
diiringi band.
Selanjutnya mengalirlah cerita
tentang petualangan Kancil dan kawan-kawannya itu. Drama ini menceritakan
tentang hilangnya seekor Tupai yang diculik oleh Serigala yang jahat. Ternyata
Serigala itu sedang menderita sakit gigi. Berbagai macam ramuan obat telah
dicobanya, namun kesembuhan tak kunjung juga ia dapatkan. Hingga pada suatu
malam, ia bermimpi bertemu dengan seorang nenek sihir. Dan dia mentakan, jika
ingin sembuh, Serigala itu diperintahkan untuk memakan daging Tupai yang sering
mencuri kelapa di kebunnya. Serigala pun memenuhi permintaan sang nenek sihir. Sang
Tupai diculik dan dikurungnya.
Di lain tempat, Kancil dan Kera serta
binatang-binatang lainnya di hutan berusaha untuk menyelamatkan Tupai yang
sial. Maka disusunlah rencana cerdik untuk membebaskan sahabatnya itu. Serigala
diperdaya sedemikian rupa, sehingga berbalik arah, menjebak dirinya sendiri
dalam kurungan yang dibuatnya.
Yang menarik dalam pertunjukan ini
adalah konsep penyajian pertunjukan yang terasa sebagai pentas untuk
‘anak-anak’ sekali. Mulai dari pemilihan kostum yang natural, penataan artistik
yang realis tapi imajinatif, hingga pentas musikal yang mewarnai pagelaran ini
dari awal hingga akhir. Meskipun secara dialog kurang tertangkap bagi penonton
yang duduk di belakang, namun secara gesture
tubuh. Apalagi penata gerak cukup kreatif dalam memberikan motivasi terhadap
para pemain yang didominasi oleh anak-anak sekolah dasar ini. Sehingga di dalam
pementasan itu mereka nampak menikmatinya dengan gembira.
Kemunculan Shahnaz Haque yang
bertanggung jawab atas peran nenek sihir pun terasa sangat membantu bagi
selamatnya keseluruhan pertunjukan. Shahnaz begitu terampil memainkan emosi
penonton. Dan setidaknya memancing para pemain cilik lainnya untuk terus
berkonsentrasi di dalam alur cerita yang tengah disuguhkan. Inilah kiranya yang
menjadi salah satu kecerdikan sutradara Abdul Aziz Wahyudi.
Memang, bila ditampilkan utuh seperti
apa adanya (secara tekstual) aktor anak-anak belia seperti itu sangat rawan
kecelakaan panggung. Kecuali dengan proses yang lama dan konsisten. Dengan
dimunculkannya adegan-adegan yang terlepas dari naskah aslinya, kemudian
mencoba menyusunnya kembali sebagai puzle-puzle yang bisa memperkaya
pertunjukan. Ini merupakan hal yang cerdas. Toh yang menyaksikan pertunjukan
itu berbagai lapisan usia. Jadi dapat menciptakan kesegaran tersendiri.
Salah satu yang paling menonjol dalam
pertunjukan ini juga adalah tim musik. Dengan berbagai tampilan menarik semisal
gamelan jawa, ensemble gitar akustik, rampak perkusi, solo piano dan biola,
serta paduan suara. Secara musikal, ini merupakan penampilan yang cukup bagus
untuk mendapatkan apresiasi. Bagaimana misalnya musik-musik yang secara genre
bertentangan, seperti rock n’ roll dan musik klasik, gamelan jawa dengan musik
pop, namun dapat dikemas dalam kesatuan yang utuh pada pertunjukan.
Tak terasa, sudah hampir satu setengah
jam pertunjukan berlangsung. Penonton masih saja belum beranjak. Daya pukau
pertunjukan yang komunikatif menjadi daya tariknya tersendiri. Tapi pertunjukan
harus benar-benar usai dengan kisah happy
ending karena Si Tupai telah selamat dari cengkeraman Serigala jahat. Lagu “Happy”
dari Pharrell Williams jadi pilihan tepat untuk memungkas pertunjukan yang
ceria ini.
Sebagai penulis, seperti juga apa yang
pernah diungkapkan oleh Pramoedya Anantatoer, saya tentu bangga menyaksikan
sendiri bagaimana ‘anak-anak ruhani’ saya terlahir, hidup dan tumbuh besar.
Naskah drama yang sejatinya lumpuh dan bisu, tiba-tiba menjadi begitu lincah
dan ramai di hadapan saya sendiri. Saya larut dalam rasa haru yang luar biasa.
Seperti juga dengan para penonton lainnya yang sebagian besar adalah para orang
tua dari aktor-aktor cilik yang di atas panggung.
Ode Rimba Raya, tidak hanya akan jadi
pertunjukan yang sekali pentas lalu hilang dan dilupakan. Pertunjukan itu akan
senantiasa hidup dalam benak para penontonnya sebagai empirisme yang langka, bergerak dalam jiwa-jiwa para pemainnya,
sutradara, penata lighting, penata kostum, penata make-up, tim konsumsi, sopir
angkutan, dan segenap panitia penyelenggaranya. Dia hidup tidak dalam wujud
audio visual semata, namun lebih dari itu, pesan moral yang meresap ke dalam
hati sanubari. Menjadi pembeda antara baik dan jahat di dalam dunia nyata.
Dunia yang tak sepenuhnya sebagai panggung sandiwara. Semoga.
Penulis
adalah budayawan muda, tinggal di Kota Tasikmalaya.
Diterbitkan pertama kali pada Harian Radar Tasikmalaya Minggu, 5 April 2015 di Halaman 14 kolom Budaya.
Pernak-Pernik :
Terharu dan bangga sekali mendapatkan kehormatan menaiki panggung Ode Rimba Raya
dan mendapatkan Seikat Bunga segar nan cantik serta cenderamata dari MADANIA School
Berfoto ria dengan sang Sutradara Ode Rimba Raya : Abdul Aziz Wahyudi
Selepas kelar pertunjukan, foto bareng dengan Shahnaz Haque
"JEJAK YANG TERABAIKAN"
Alas kaki para pemain dan kru Ode Rimba Raya
mantap,,
BalasHapus