Oleh : Acep Zamzam Noor
BUKU Nama yang Dikuburkan merupakan kumpulan puisi terpilih Irvan Mulyadie dalam kurun sekitar limabelas tahun terakhir. Kumpulan ini dikerjakan serius dan memakan waktu cukup lama dengan segenap kegelisahan serta rindu dendam hingga akhirnya tersaringlah 81 puisi dari ratusan puisi yang pernah ditulisnya selama menjalani dunia kepenyairan. Kebetulan saya mengenal penyair satu ini sudah cukup lama, kalau tidak salah sejak masa awal-awal Reformasi, di mana pada saat itu atmosfir kesenian di Tasikmalaya sedang asyik-asyiknya dan para seniman sedang hangat-hangatnya berjuang di garda depan menghadapi kekuasaan. Irvan memulai berkesenian dengan memasuki kelompok teater, sekian lama menjadi figuran dan penari latar dijalaninya dengan gembira, hanya sewaktu-waktu saja mendapat peran yang agak penting hingga akhirnya ia memutuskan untuk bergerak di belakang layar produksi saja ketimbang sebagai aktor di panggung, sekalipun dalam hati kecilnya ia bercita-cita menjadi aktor watak seperti halnya Torro Margens yang dikaguminya.
Irvan Mulyadie termasuk orang
yang rajin dan tekun, dalam hal ini rajin untuk terus belajar dan tekun untuk
tidak gampang menyerah dalam berkarya. Selain bergulat dengan puisi dan sibuk mengurus
managemen teater, diam-diam ia pun belajar menulis naskah drama. Hasilnya
sejumlah naskah drama yang bukan saja telah dipentaskan oleh kelompok-kelompok
teater di Tasikmalaya, namun juga oleh kelompok-kelompok teater dari kota lain.
Terjadilah semacam persenyawaan antara
proses menulis puisi dan naskah drama. Naskah-naskah drama karya Irvan,
termasuk naskah drama untuk anak-anak, tergolong puitis. Paling tidak ada
atmosfir puitik dari lakon-lakon yang ditulisnya. Dan sebaliknya, ia pun semakin
terasah keterampilannya dalam menulis puisi-puisi naratif. Oya, sementara
teman-teman seangkatannya di teater masih terus berkubang lumpur dalam proses
keaktoran dan penyutradaraan yang keras dan berat, di luar dugaan Irvan malah
lulus dalam ujian CPNS. Kini setiap pagi dengan rambut yang cepak, badan yang wangi
serta seragam pemda yang necis ia mengendarai motor matic pergi ke kantor untuk
mengabdi pada bangsa dan negara.
Yang menarik perhatian saya,
meskipun sudah lebih dari satu dasawarsa menjadi pegawai pemda, lebih dari satu
dasawarsa pula ia berambut cepak, berbadan wangi dan berpakaian necis, namun
puisi masih terus ditulisnya dengan serius dan berdarah-darah. Begitu juga
naskah-naskah dramanya. Di luar kedua genre itu, ia pun sesekali berkarya dalam
senirupa, fotografi, film pendek atau performance art. Seperti halnya Lintang
Ismaya dan Eriyandi Budiman, ia memang tergolong seniman multi talenta:
berkarya dalam beragam genre. Namun khususnya dalam puisi, saya melihat ada
proses yang unik dalam kepenyairan Irvan Mulyadie. Dari sisi teknis Irvan
menyadari bahwa menulis puisi adalah seni merangkai kata, sehingga mau tidak
mau ia harus mempunyai keterampilan dalam berbahasa, dalam mengolah dan mengendalikan
kata-kata hingga mempunyai kekuatan puitik. Maka ia pun rajin mengikuti beragam
lomba penulisan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dalam sebuah lomba
biasanya tema sudah ditentukan panitia, dan sebagai peserta ia sangat
tertantang untuk memasuki tema tersebut. Dengan begitu, keterampilannya berbahasa
juga akan sangat diuji terutama dalam hal kemampuan mengangkat dan menghidupkan
tema. Baginya mengikuti berbagai lomba penulisan puisi maupun penulisan naskah
drama merupakan bagian dari proses kreatifnya sebagai penyair. Belasan hadiah
yang sudah diraih dari proses kreatif yang unik ini bukanlah tujuan utama.
“Hanya sekedar bonus saja,” katanya.
***
Membaca puisi-puisi Irvan
Mulyadie dalam buku Nama yang Dikuburkan
ini paling tidak saya menemukan dua gaya pengucapan, pertama gaya pengucapan
liris dengan tema-tema alam, keseharian dan sosial, dan kedua gaya pengucapan
naratif dengan tema yang ada kaitannya dengan sejarah dan kearifan lokal.
Perbedaan dari kedua gaya ini tidaklah kontras karena masing-masing berkelindan
satu sama lain, misalnya pada gaya naratif masih terasa kelirisannya dan begitu
juga sebaliknya. Buku puisi yang halamannya cukup tebal ini dibuka dengan
sebuah puisi sederhana tentang kaca jendela. Pengalaman sehari-hari yang biasa,
yang tentunya pernah dialami oleh siapa saja yang mempunyai jendela di rumahnya,
namun di mata seorang penyair peristiwa biasa tersebut menyiratkan makna yang
lebih luas dari kenyataan yang tersurat. Baiklah, saya kutip penggalan puisi
“Cerita dari Balik Kaca Jendela” pada dua bait pertama:
Sesekali
burung-burung itu
Menabrakkan
diri
Pada kaca
jendela kamarku
Di rumah
loteng lantai dua
Ada yang
langsung mati
Tapi sering
kali hanya pingsan sesaat
Dan kembali
terbang
Menurih langit
sambil bercicit
Kaca jendela
kamarku yang bening
Memantulkan bayang-bayang
Seperti
cermin
Dan
burung-burung yang menabrakkan diri
Mungkn
tertipu dengan ruang luas
Yang
terpantul di permukaanya
Atau
barangkali dia silap
Melihat
bayangannya sendiri sebagai musuh
Yang pantas
dibunuh
Lalu
menyerang dengan garang
Jika
bait-bait di atas diselami lebih dalam dan seksama, maka di sana tergambar
sesuatu yang lebih luas dari sekedar persoalan burung menabrak jendela. Dari
sana kita bisa membayangkan perilaku sebagian masyarakat yang entah kenapa
begitu mudah untuk curiga, begitu mudah untuk diadu domba, begitu mudah untuk menghakimi
orang lain, bahkan tanpa tedeng aling-aling bisa mencap seseorang sebagai
kafir, yang pada gilirannya tak jarang
justru malah merugikan diri mereka sendiri. Situasi paranoid yang melanda
sebagian masyarakat belakangan ini digambarkan lewat peristiwa kecil yang
terjadi di kamar sang penyair. Dengan puisi ini saya melihat Irvan Mulyadie
sudah menjalankan tugasnya dengan baik, mengamati hal kecil dari kehidupan
sehari-hari dan memberinya nilai yang lebih luas, nilai yang menyentuh rasa kemanusiaan.
Inilah salah satu tugas seorang penyair. Selain puisi ini ada puisi lain yang juga
menarik dan ingin saya kutip di sini, yakni puisi yang ditujukan pada seseorang
yang berbeda keyakinan dengan sang penyair, namun perbedaan tersebut tidak
menjadi penghalang bagi tumbuhnya rasa kemanusiaan serta mekarnya nilai
persaudaraan di antara mereka. Puisi ini berjudul “Persan Damai di Hari Jum’at”,
saya kutip bait pertamanya:
Aily,
sebaris pohon salib yang kautanam
Di saban
celah ngarai hatimu
Telah tumbuh
begitu dalam
Rambut-rambut
waktu yang mengakar
Mencengkeram
bumi, menyimpan gemercik hujan
Aku lupa
berapa banyak keresahan dari Golgota
Yang
kaurekam pada sajak-sajak cinta
Dan kaukirim
padaku lewat poret musim salju
Tentang tabir
Suci yang terbelah
Memicu gempa
pada saban-saban jiwa:
“Kita bukan
musuh abadi, tapi, kekasih sampai mati”
Selain
puisi-puisi yang bernuansa kemanusiaan, Irvan juga banyak menulis puisi mengenai
cinta, baik cinta yang bersifat horizontal maupun vertikal, di samping
puisi-puisi yang merupakan renungan keindahan alam serta refleksi terhadap
realitas sosial. Dari puisi-puisinya yang bergaya liris ini sedikit banyak saya
bisa menangkap kecenderungan penyair dalam berbahasa, misalnya pada bait-bait
yang saya kutip di atas, jelas bahwa ungkapan-ungkapan lirisnya bernuansa
naratif juga. Irvan bertutur dengan kalimat-kalimat padat dan terpilih namun
terasa mengalir tanpa hambatan. Kalimat-kalimatnya lancar tidak tersendat.
Puisi liris lain yang menarik perhatian saya adalah “Waktu Terhenti di Kamar
Ini” yang dengan lembut bertutur tentang rindu dalam kaitannya dengan jarak dan
waktu. Puisi pendek ini saya kutip seutuhnya di sini:
Waktu
terhenti di kamar ini
Ketika satu
persatu dawai
Membunyikan
keresahan
Sebuah gitar
hitam, di tanganmu
Ada sebait
hujan berjatuhan
Mengiringi
rintih angin
Yang
terjebak
Di kamar ini,
kerinduan
Mendapatkan
muaranya
Setelah
lenguh perjalanan
Mengalirkan
gelisah musim
Ke
saban-saban sudut cerita
Sebagai musik
pengantar duka
Yang abadi
Dalam
mengolah puisi-puisi lirisnya yang rata-rata pendek, selain banyak mengunakan
citraan-citraan alam yang terkesan pastoral, Irvan juga banyak menghadirkan
citraan-citraan yang diserap langsung dari kehidupan sehari-hari, dari realitas
sosial dan situasi politik. Sejumlah puisi yang pastoral diberinya judul nama-nama
tempat dengan latar alam dan waktu seperti “Cikopo”, “Ciloseh”, “Curug Citiis”,
“Dendang Cilengkrang”, “Fragmen Hujan di Pagi hari”, “Fragmen Senja, “Fragmen
Malam”, “Di Lengking Adzan Maghrib” dan seterusnya. Citraan-citraan alam dan
waktu yang digambarkan dalam puisi-puisinya adalah citraan yang nyata sekaligus
bermakna ganda. Pemandangan alam misalnya, selain digambarkan atas dasar apa
yang dilihat juga ada suasana yang sengaja dibangun untuk menyiratkan makna
yang lebih luas lagi, dalam hal ini makna simbolis dari alam itu sendiri. Begitu
juga dalam kaitannya dengan penggambaran waktu, bukan hanya melukiskan
keindahan saat pagi atau senja hari secara tersurat, didedahkan juga sesuatu
yang berada di sebaliknya. Sementara untuk puisi-puisinya yang kontekstual ia
memberinya judul “Di Kantor”, “Nasionalisme”, “Tentang Demokrasi Itu”,
“Kemerdekaan, “Sajak Demonstran”, “Sajak Perlawanan” dan semacamnya. Untuk
puisi-puisi jenis ini tentu saja bahasa
yang digunakannya lebih lugas dan langsung, meskipun masih tetap menggunakan citraan-citraan
tertentu secara tersamar.
Seperti
telah disinggung di muka, selain menulis puisi-puisi liris yang singkat dan
padat, Irvan Mulyadie juga banyak menghasilkan puisi-puisi naratif yang lumayan
panjang. Di antara puisi-puisi tersebut berjudul “Suluk Cimanuk”, “Sanghyang
Tapak Parahyangan”, “Sajak Kampung Halaman”, “Kisah Kita”, “Golden Blue”,
“Eagrhy” dan beberapa lagi. Lewat puisi-puisi panjangnya ini tentu ada sesuatu
yang ingin disampaikan penyair, dalam hal ini ada tema yang ingin dituturkan
lewat semacam alur cerita. Tema tersebut bisa diangkat dari sejarah, cerita
rakyat, kearifan lokal sebuah wilayah, kenangan masa lalu atau kenyataan yang
tengah dialami. Saya tertarik dengan puisi “Suluk Cimanuk” yang mengambil tema
tentang sebuah sungai di Jawa Barat. Yang diungkapkan penyair lewat puisi ini
bukanlah sekedar asal usul sungai tersebut, namun salah satu episode sejarah panjang
di Tatar Sunda dengan Cimanuk sebagai latarnya. Begitu juga puisi yang berjudul
“Sanghyang Tapak Parahyangan” yang bercerita tentang gunung terkenal di
Tasikmalaya. Di sini penyair mengangkat sebuah kearifan yang diwariskan para
leluhur dengan Galunggung yang menjadi latarnya.
Menulis
puisi naratif tentu bukan hal yang mudah, jika tidak hati-hati banyak sekali godaan
atau jebakan yang mengiringi proses penulisannya. Bahkan, bisa jadi soal keasyikan
atau kelancaran dalam menulis pun akan membawa puisi panjang pada sesuatu yang
cair atau mengambang. Namun sejauh ini Irvan Mulyadie nampaknya masih aman, ia
masih dapat menyeimbangkan antara keasyikan dan kelancarannya menulis dengan
kepadatan ungkapan. Diksi-diksi yang dipilihnya tak berbeda jauh dengan
puisi-puisi lirisnya yang pendek, dengan kata lain narasi yang dituturkan
penyair masih cukup terjaga komposisinya sebagai puisi yang sublim. Untuk
menunjukkan hal tersebut saya kutip dua bait awal dari “Suluk Cimanuk” yang
lumayan panjang ini:
Demi bakti
kepada negeri, berangkatlah
Ke ufuk yang jauh
Tempat
kelak ditemukan bumi terbelah
Yang
mengalir kehidupan di dalamnya
Sebagai
derma – begitulah pesannya –
Terngiang-ngiang
Wangsit dari Ki Buyut Sidum
Kidang Pananjung Maharaja Pajajaran
Dalam
mimpinya
Berjalanlah
keresahan. Raden Ayu Wiralodra
Mengembara
Mengikis musim pancaroba
Di mana cinta hanya bayang fatamorgana
Ujicoba
keimanan Sanghyang Mesta
Tapa brata
Di
perbukitan Malaya
Di kaki gunung Sumbing
Tiga tahun lamanya
Demikianlah apresiasi saya terhadap
puisi-puisi Irvan Mulyadie. Jika pun ada sedikit catatan untuknya, maka catatan
itu lebih tertuju pada intensitas penulisan. Seperti halnya batu akik,
puisi-puisi dalam kumpulan ini sebenarnya sudah terbentuk dengan baik, namun
intensitas menggosoknya masih harus ditingkatkan lagi agar jarong atau pesona dari sebuah batu akik akan semakin nampak ke
permukaan. Lalu bagaimana caranya? Caranya antara lain dengan memelototi secara
berulang-ulang apa yang telah ditulis sampai kita menemukan masih adanya kata,
kalimat, tanda baca atau apapun yang perlu dibuang atau diganti dengan yang
lebih tepat lagi. Begitu seterusnya. []
(Buku kumpulan puisi Nama yang Dikuburkan resmi diterbitkan pada Juni tahun 2018 oleh Teras Budaya Jakarta dengan nomor ISBN 978-602-5780-05-9)
Komentar
Posting Komentar