ULTAH IMAM RYQZA BUANA KE-16 di Bukit Kalimat

Kepada Imam Ryqza Buana:

SURAT INI KUTULIS DENGAN PERASAAN YANG PENUH WARNA sebagai ayah yang sangat mengasihi anak-anaknya. Ayah yang belum genap seratus hari ditinggalkan wafat oleh ayahnya sendiri, sebagai anak. Tentu ada banyak kekacauan dalam pikiran. Kecemasan yang mendominasi. Namun ucap rasa sukur tak pernah lepas dari hati karena telah banyak melalui hal-hal yang telah terlampaui.

 


Hari ini, ada yang benar-benar ingin kusampaikan untukmu, anakku, Imam Ryqza Buana. Tepat di tanggal 17 Oktober 2023, peringatan hari kelahiranmu. Hari yang sesungguhnya bertepatan juga dengan kelahiran Kota Tasikmalaya. Tempat yang sejatinya tidak pernah benar-benar kita tinggalkan.

Aku menulis surat ini dengan gugup. Meskipun telah cukup banyak pembicaraan kita sejak semalam di Bukit Kalimat. Tentang hal-hal sederhana seperti buku catatan pelajaran di sekolah yang sudah mencukupi kebutuhan, tugas-tugas tambahan yang terlambat dikerjakan dan butuh penyelesaian dalam semalam karena kelupaan, tentang luka jahitan di lutut yang masih belum juga kering dan masih perlu diperban, dan ikat pinggang yang tertinggal di rumah Tundagan. Atau tentang kejutan ulang tahun yang terlalu cepat ditampilkan, yakni 4,5 jam sebelum pukul 00.00 WIB tiba, yang mungkin saja sedikit membuatmu kecewa. Tapi itu memang sengaja kami (Ayah, Ibu dan Adik) lakukan. Mengingat besok kamu harus berangkat sekolah pada pagi-pagi sekali. Dan kami tidak ingin membangunkanmu tengah malam hanya untuk kejutan ringan, makan donat.

Ya, bukan kue tart atau tumpeng seperti biasa. Kupikir, mungkin ini kali terakhir harus memperlakukanmu sebagai anak-anak. Memberi banyak banyak donat berkarakter film-film kartun kesukaan. Lucu-lucuan. Sekeluarga saja, tanpa kehadiran yang lain.  Sekadar mengenang saja. Sebab setahun kemudian, jika tuhan masih memberikan kesempatan, saat usiamu 17, punya KTP dan SIM sendiri, maka segala tanggung jawab hukum secara umum akan berlaku. Dengan segala konsekuensinya. Dan sekarang sudah saatnya untuk mulai belajar berpikir dan bertindak sebagai orang dewasa.

Maka di penghujung usia 15 tahun malam tadi itu, ketika kamu masih harus mengerjakan tugas-tugas yang tertunda, kerap kali kuingatkan: “Hargailah, Waktu!”. Karena sejatinya waktu itulah yang selalu membatasi hidup kita. Waktu jua yang membuat berbagai sekat kehidupan dengan kisah-kisahnya. Bukankankah Subuh tadi, ketika alarm di pesawat telepon genggammu berdering memperingatakan untuk bangun, kubangunkan kamu yang masih lelap dengan alat-alat tulis masih berserakan di atas peraduan, lalu kusampaikan makna-makna yang terpendam dari adanya perintah tuhan tentang sembahyang?

Salat yang lima waktu, sejatinya bukan sekadar perintah ibadah dan rutinitas menjalankan kewajiban harian. Lebih jauh dari itu, sebagai proses penyadaran untuk manusia supaya lebih menghargai waktu, disiplin membagi-bagi kegiatan, menertibkan diri, menyeimbangkan hati dan pikiran, memberikan kesempatan kepada kita supaya tidak lupa bahwa hidup tidak hanya untuk mengejar dunia, memberikan jeda berharga sebagai peringatan tentang hal-hal yang fana. Nah, kenapa Allah SWT menyuruh kita untuk ibadah dalam sehari sesering itu? Karena tuhan tahu kita mahluk yang pelupa, mudah terlena. Supaya kita juga benar-benar memahami bahwa usia kita adalah misteri yang sangat rahasia. Sekarang kita masih bernafas, tapi belum tentu di menit-menit kemudian. Dan di dalam salat, kesempatan itu kita terima, untuk kembali padaNya.

Menulis surat ini, dan menyampaikanya padamu dengan terbuka, sejatinya peringatan buatku juga. Meski belum terlalu tua, tapi sudah tidak muda lagi. Dan aku masih banyak penyesalan tentang waktu yang terlewat tanpa banyak karya yang tercipta. Di usiamu seperti sekarang, 26 tahun yang lalu, prestasi-prestasi duniawiku hanya sekadar catatan mimpi saja. Ada banyak bakatku yang menguap begitu saja. Wajar, karena untuk melangkahi itu semua butuh biaya, sementara kemampuan materi keluarga tidak terlalu memungkinkan. Jangankan untuk berkegiatan ekstra, dapat mengikuti pelajaran di sekolah setiap hari pun sudah menjadi hal yang luar biasa.

Betapa tidak, seringkali ayahmu ini berangkat sekolah dalam keadaan lapar (karena memang di rumah tak ada nasi), tanpa uang jajan dan tentu saja berjalan kaki. Padahal jarak yang harus ditempuh untuk satu kali perjalanan dari rumah di Jalan Paseh ke SMKN 2 Tasikmalaya tidak kurang dari 3 Km. Hampir satu jam perjalanan. Seringkali terlambat datang dan tertahan di depan gerbang, lalu bertengkar dengan Satpam. Mendapat hukuman meski sudah dijelaskan. Padahal bangun tidurnya dini hari, baca buku pelajaran, setelah salat dan kuliah subuh baru berangkat. Guna menghindari pertengkaran, dan tak ingin ketinggalan pelajaran, akhirnya ayahmu loncat melalui benteng sekolah yang tinggi serta di atasnya ditanami kawat berduri. Tak banyak dirasa lagi luka perih akibat tusukan-tusukannya, robek baju dan celana. Yang terpenting bisa masuk kelas meski harus lewat jendela dan menunggu guru di kursi depan kelas lengah. Belum lagi mengahadapi bullying dari teman-teman. Betapa beratnya menjalani ujian kehidupan waktu itu. Tapi sudahlah, semuanya telah berlalu. Dan aku bersukur memiliki pengalaman-pengalaman itu, berkahnya selalu ada hingga sekarang.

Untungnya aku selalu mendapatkan beasiswa, sejak masuk hingga pelulusan tiba. Kecuali uang pangkal yang mesti dicicil sampai tiga tahun. Keberuntungan ini didukung juga dengan semangat Bapa yang tak pernah kenal menyerah untuk menyekolahkan anak-anaknya. Berani malu karena sering dipanggil oleh pihak TU. Tapi secara spiritual, keberuntungan itu adalah berkah doa-doa yang sering kudengar langsung dipanjatkan Bapa dalam tiap selesai Salat Malam dan di waktu-waktu beribadahnya. Di banyak kesempatan kudapati suara beliau bergetar dalam tangis dan cucuran airmata. Alloohummagfirlahuu Warhamhuu Wa’Afihii Wa’Fuanhuu.

Anakku, kenapa kuceritakan soal ini? Karena ayah tidak pernah berharap kamu menyia-nyiakan kesempatan saat ini dan hari-hari yang akan kaujelang. Hidupmu sekarang mungkin tak sesulit hidupku dulu. Maka sudah seharusnya raihan prestasimu harus jauh melebihiku. Juga hal-hal positif lainnya.

Nak, nyawa adalah sejatinya kekayaan yang benar-benar kita miliki. Tetapi waktu adalah jembatan gantung di atas tebing tinggi yang rapuh dan mengharuskan kita berhati-hati untuk melaluinya. Waktu juga lorong gelap yang mesti kita lewati untuk menuju cita-cita yang bercahaya. Waktu adalah jalan kehidupan yang bercabang banyak, terserah kita hendak menuju ke mana. Maka bijaksanalah dalam menyikapinya. Jangan karena merasa masih muda, dan hal itu menjadikanmu terlena.

Surat ini kutulis, karena kita sebagai sesama lelaki. Manusia yang harus mengambil peran lebih sebagai pemimpin, bukan sekadar pemimpi yang melankoli. Akan ada banyak tanggungjawab di pundak kita. Akan ada banyak halang-rintang yang menghadang langkah-langkah kita. Masa depan menantimu. Maka berjuanglah dari sekarang. Isilah kepalamu dengan pengetahuan yang luas. Isilah hatimu dengan cinta kasih kemanusiaan dan cahaya Ilahi. Teruslah tekun dalam ibadah, dengan sabardan iklas. Berbuat baiklah untuk dirimu dan sesamamu. Tetaplah dekat dengan keluarga dan saudara, jaga tali silaturahmi. Perluas jaringan pertemanan serta jaga persahabatan. Jaga juga kesehatan lahir dan batin. Jangan biarkan pikiran buruk menguasai, berpikirlah dengan jernih dalam setiap tindakan. Jaga emosi.

Bertaqwalah dengan suri tauladan Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Bijaksanalah selayaknya Sayidina Abu Bakar RA, beranilah dan rendah hati seperti Sayidina Umar bin Khatab RA, bekerjalah yang luarbiasa bagaikan Sayidina Ustman bin Affan RA, milikilah ilmu seluas samudera laksana Sayidina Ali bin Abi Thalib, dan “luculah” seperti Gusdur. Semoga Allah SWT senantiasa menolong dan memberkatimu. Aamiin!   (Irvan Mulyadie)

Komentar